Sebuah pulau dalam kawasan Desa Betok Jaya, Kecamatan Kepulauan Karimata, Kabupaten Kayong Utara, dijuluki sebagai pulau setengah tahun. Namanya Buloh Kecil. Ada 16 rumah dan 19 kepala keluarga di pulau yang terdata sebagai RT 06/RW 02 ini.
Ocsya Ade CP, Kepulauan Karimata
Semua warga di pulau ini berasal dari Makassar, Sulawesi Selatan. Demi hidup, mereka berlayar dan merantau mencari tempat untuk mengail ikan. Di daerah asal, sulit mencari nafkah. Mereka menemukan Pulau Buloh Kecil yang dianggap layak, karena kekayaan lautnya melimpah, untuk dijadikan tempat tinggal sejak tahun 1972.
Aris, Ketua RT setempat, salah seorang contoh. Pria berusia 60 tahun ini merupakan generasi pertama yang tinggal di pulau itu. Sejak berumur 14 tahun, dia bersama 18 rekan lainnya dari Sulsel merantau dan menempati Pulau Buloh Kecil. Kini, hanya dia yang tersisa dari generasinya.
“Saya sejak bujangan sudah tinggal di pulau ini. Sejak itulah budaya sini kita ikuti, baik budaya hidup dan makan. Teman-teman saya lainnya sudah meninggal,” cerita Aris saat rumah bertiang tingginya didatangi peserta Journalist Trip Explore Karimata 2015.
Apa alasannya Pulau Buloh Kecil dijuluki pulau setengah tahun? Jawaban Aris, karena penduduknya yang menggantungkan hidup sebagai nelayan nomaden atau berpindah-pindah tergantung musim dalam menangkap ikan di laut.
“Kalau musim angin selatan selama enam bulan, kami tinggal di pulau ini untuk hidup dan mencari ikan, karena gelombang tidak terlalu tinggi sehingga memudahkan kami untuk turun ke laut mencari ikan,” paparnya.
Memang, rata-rata kapal nelayan di pulau itu berukuran kecil sehingga tidak bisa digunakan melaut kalau ketinggian gelombang di atas dua hingga tiga meter. Kondisi laut yang “kalem” itu memang membuat tangkapan ikan mereka melimpah.
Sementara, ketika angin barat datang yang menyebabkan laut menjadi “ganas”, mereka pindah ke Pasir Cina dan Tanjung Ruh, Desa Padang, Kepulauan Karimata. Migrasi itu dilakukan selain untuk berlindung dari tingginya gelombang laut, juga untuk memudahkan mencari ikan karena ombak besar dibendung deretan pulau di Kepulauan Karimata.
Alhasil, jadilah dalam setahun warga Pulau Buloh Kecil bermukim di dua tempat. Setiap warga pun memiliki dua buah rumah.
“Kalau pindah, rumah di sini kami tinggalkan dalam keadaan kosong, sementara berbagai peralatan untuk melaut dan perabotan rumah tangga dibawa ke tempat yang pindahan,” ungkap Aris.
Belakangan diketahui, Pulau Buloh Kecil itu rupanya milik Pak Malak, seorang warga Pontianak. Mereka tidak gratis tinggal di pulau yang dikelilingi panorama keindahan laut itu. Semua nelayan membayar pajak sebesar Rp100 per kilogram hasil tangkapan. Kabarnya, mereka mau pindah ke Desa Betok Jaya di Pulau Maya yang penduduknya lebih ramai asal dibuatkan penjemur ikan.
Kepala Desa Betok Jaya, Hasanudin, menyatakan ada 261 kepala keluarga di desa yang ia pimpin. Dan, ada 16 pulau yang jaraknya bisa ditempuh dengan kapal motor ukuran kecil. Baru 30 persen dari pulau-pulau tersebut yang berpenghuni.
Dalam menangkap ikan, warga Pulau Buloh Kecil mengandalkan 7 bagan. Satu bagan terdiri lima hingga enam nelayan.
Sayang, setakat ini, ikan di kawasan itu mulai berkurang seiring pertumbuhan jumlah nelayan setempat dan banyak kapal-kapal luar yang datang mencari ikan di sana. Sekarang untuk mendapat empat hingga sepuluh keranjang ikan saja sudah sulit. Asumsinya, satu keranjang seberat 70 kilogram dan harga jual Rp1.700 per kilogramnya.
“Hasil tangkapan kami jual di Ketapang. Pulangnya bawa barang kebutuhan pokok yang beli di sana,” tutur Aris.
Meski hidup nomaden, anak-anak di sana rata-rata berpendidikan. Aris sendiri memiliki tujuh anak. Sulung dan anak kedua sudah menikah. Sementara, empat lainnya masih sekolah. Bahkan, seorang anak gadisnya yang manis kini kuliah di Universitas Kebidanan Bandung. (*/bersambung)