eQuator.co.id – SURABAYA-RK. Kasus prostitusi yang melibatkan artis papan atas terus bergulir. Masih ada 100 model, dan 45 artis lainnya yang terlibat dalam jejalin prostitusi via daring ini. Selain Endang Suhartini, dan Tantri polisi juga mengejar dua mucikari yang saat ini masih belum diketahui lokasinya.
Hampir sama seperti Endang dan Tantri, kedua mucikari ini memiliki tugas yang hampir sama. Yakni, menjalin komunikasi antara pria hidung belang, dan melakukan transaksi. Keduanya, juga berasal dari Jakarta. Sampai saat ini, keberadaan mereka masih tidak diketahui oleh polisi.
Salah satu anggota Ditreskrimsus Polda Jatim menjelaskan, bagaimana keduanya luput dari penangkapan polisi. Ketika dihubungi oleh Tantri via media sosial, handphone kedua perempuan yang masuk dalam daftar pencarian orang (DPO) polisi itu tidak aktif. Sehingga, pesan yang disampaikan pun tidak masuk ke handphone kedua pelaku lainnya. Alhasil, keberadaan mereka pun tidak bisa diketahui. ”Jadi kedua DPO ini masih kolega dengan tersangka yang kami tangkap, tapi kemungkinan masih di Jakarta saat ini,” jelas polisi yang enggan disebutkan namanya tersebut.
Keempat mucikari ini menjajakan perempuan-perempuan mereka melalui buah bibir. Masing-masing dari mereka memiliki koneksi dengan para pelanggan. Dalam beberapa kesempatan, mereka juga menggunakan jasa makelar untuk mencarikan pelanggan. Promosi dilakukan secara eksklusif. Sehingga, hanya beberapa orang saja yang memiliki katalog perempuan yang dijual oleh Endang dan Tantri. ”Tidak ada grupnya, mereka cuma memberi tahu antar kenalan saja. Jadi antar mulut ke mulut,” lanjut polisi tersebut.
Kemarin (7/1) Kapolda Jatim Irjen Pol Luki Hermawan juga memberikan pernyataan resmi terkait kasus ini. Vanessa Angel dan Apriella Shaqqila bukan lah satu-satunya artis yang terlibat dalam prostitusi via daring ini. Masih ada 100 model majalah dewasa, dan 45 artis lainnya yang terlibat. Daftar tersebut, saat ini sudah berada di genggaman polisi. Rencananya, mereka akan memanggil satu persatu seluruh korban, untuk dimintai keterangan. ”Jadi ke-100 model ini berasal dari majalah Popular, dan FHM. Tapi keterangan dari dua korban ini saja sebenarnya sudah cukup untuk memenjarakan kedua tersangka,” ucapnya.
Luki juga membenarkan, bahwa transaksi selama ini dilakukan melalui daring. Baik proses promosi ke para pria hidung belang, hingga melakukan transaksi. Karena mereka memiliki ketentuan untuk membayar 30 persen uang di awal. Tarif yang dikenakan oleh Endang dan Tantri memang cukup fantastis. Mulai dari Rp 25, 50, 80, hingga 100 Juta, untuk sekali kencan. ”Bedanya soal ketenaran, semakin terkenal semakin mahal pula tarifnya,” kata jenderal dengan dua bintang di pundak tersebut.
Tarif tersebut, merupakan tarif bersih, yang diberikan. Jadi pelanggan tidak perlu pusing, untuk mencari tempat. Sebab Endang dan Tantri akan menentukan, di mana mereka akan bercinta. Dalam kasus Vanessa, dan Avriella ini kedua mucikari memilih Hotel di Surabaya barat sebagai lokasinya. Vanessa, berkencan di kamar 2721, sedangkan Avriella di kamar 2720. ”Jadi pelanggannya bebas mau menentukan kencan di mana di seluruh Indonesia, bahkan kalau mau ke luar negeri ya bisa,” tutur Luki.
Ada berbagai alasan yang mendasarinya. Pelanggannya, biasanya berasal dari pengusaha-pengusaha yang tersebar di Indonesia. Demi keamanan, mereka biasanya meminta Endang dan Tantri untuk menyediakan jasanya di luar negeri. Berbagai tempat, pernah menjadi jujugan mereka. Seperti Singapura, dan Hongkong. Tarif yang ditetapkan pun, menyesuaikan ketenaran model atau artis dan fasilitas untuk bercinta.
Dari penangkapan Endang dan Tantri, berbagai barang bukti telah disita polisi. Meliputi, handphone milik masing-masing korban dan tersangka. Juga beberapa alat yang digunakan selama melakukan hubungan intim oleh Vanessa. Seperti sprei warna putih, kotak alat kontrasepsi, kacamata merk Tom Ford warna cokelat, dan satu celana dalam berwarna ungu.
Menurut Kasubdit V Siber Ditreskrimsus Polda Jatim AKBP Harissandi, dari transaksi Rp 80 Juta yang dilakukan,Vanessa tidak akan mendapatkan semuanya. Dia hanya dijanjikan Rp 35 Juta saja. Sisanya, akan masuk ke kantung Endang, yang bertindak sebagai perantara. Uang Rp 45 Juta itu, akan dibagi dengan Tantri, dan digunakan untuk membayar fasilitas bercinta. ”Ketika kami tangkap pihak pembeli jasa ini kan baru transfer 30 persen, jadi belum dibayar semua. Uang itu kini juga kami sita,” jelasnya.
Harissandi juga belum bisa menentukan penghasilan para mucikari ini dalam sebulan. Sebab, pesanan yang masuk kadang tak tentu. Dalam seminggu saja, mereka pernah tidak mendapatkan pesanan sama sekali. Meskipun dalam beberapa kesempatan, mereka juga kebanjiran order.
Perwira dengan dua melati di pundak itu menjelaskan, siapa pria hidung belang yang memesan jasa dari Endang dan Tantri. Dia merupakan seorang pria berumur 45 tahun bernama Rian. Setidaknya, nama itu lah yang sering dipakai untuk menyapanya. Dia adalah keturunan Tionghoa, yang berdomisili di Jakarta. Rian, atau menurut nama di KTP bernama Rudi Hastanto itu merupakan seorang pengusaha. ”Salah satu usahanya, berada di Lumajang,” tegas Harissandi.
Ini merupakan kali pertama Rian memesan prostitusi via daring. Setidaknya, itu lah yang dia katakan kepada korps Bhayangkara ketika dimintai keterangan. Sebagai seorang pengusaha, dia ingin mencoba prostitusi yang melibatkan artis kenamaan. Karena itu lah, pada Sabtu (5/1) yang lalu dia mencoba untuk memesan jasa Vanessa melalui Endang. ”Dia pilih di Surabaya karena kan yang paling deket, daripada ke Jakarta kan?,” celetuk Harissandi.
Di kalangan pemain tambang pasir Lumajang, inisial R atau nama Rian memang jarang-jarang diketahui. Tapi kalau pemain lama, tentu sudah tahu siapa itu R. bahkan, mungkin pernah terlibat masalah. Dikabarkan bahwa lelaki pemakai jasa Vanessa Angel ini sering terlibat tambang ilegal.
Sumber Jawa Pos Radar Semeru menyebutkan bahwa Rian mengenakan mobil mewah. Yakni Mitsubishi Pajero warna putih. Narasumber berumur 35 tahun ini mengatakan sampai sekarang Rian mengendarai mobil tersebut.
Hanya saja, bukan asli orang Lumajang. Dia tinggalnya di Sidoarjo karena rumahnya ada disana. Dia pernah mendatangi rumahnya sewaktu berurusan bisnis disana. “Tapi kalau urusan Stockpilenya, dia pemain top. Stockpile ada di Lempeni Kecamatan Tempeh. Sampai sekarang stockpilenya masih aktif,” katanya.
Pemain tambang pasir lainnya, Nanang Hanafi menjelaskan jika Rian bukanlah pengusaha penambang. Dia berani menyebutkan Rian adalah penambang ilegal. Yang kebiasaannya sering mengatasnamakan jenderal dan petinggi kepolisian. Itu sering dilakukan untuk menakut-nakuti aparat,” katanya.
Dia menguraikan, Rian pernah menambang di Tumpeng tahun 2018 lalu tanpa mengantongi izin. Sempat ketahuan warga lalu diprotes karena tidak berizin menambang. Habis itu berpindah di kawasan Sampit Desa Lempeni Kecamatan Tempeh. Area tambang ilegalnya di kawasan Kalipancing.
Nanang yang juga aktivis ini menyebutkan bahwa Rian jelas bukan penambang resmi. “Tapi penambang ilegal. Dan punya stockpile di kawasan Tempeh memang. Cuma kemungkinan diatasnamakan orang lain,” jelasnya.
Kalau ke Lumajang, Rian kata Nanang biasanya bermalam di hotel. Karena tidak punya rumah di Lumajang. “Jarang muncul kalau di Lumajang. Anak buahnya pun kalau bertemu ya di hotel. Pernah makelaran jalan tol juga,” katanya.
Yang bikin dia gak habis pikir sampai sekarang, Rian ini begitu mahir berkomunikasi dengan kepolisian. “Seringnya mengaku-ngaku saudara jenderal dan pejabat. Sering mengatasnamakan keponakan dan kerabat jenderal berbintang. Itu senjatanya dia,” jelasnya.
Dengan mencuatnya kasus ini, Nanang berharap nama Rian perlu dibeber oleh kepolisian. Biar adil. Sebab, selama ini yang dibeber hanya Vanessa Angel dan Apriella Shaqqila. Sementara nama lengkap Rian tidak dibeberkan detail. “Perlu dibeber juga. Kenapa artisnya dibuka, tapi penggunanya atau Rian ini tidak. Ada apa ini. Sebenarnya sama-sama sanksi sosial. Dan bahkan, Rian ini sering menyebut-nyebut kerabatnya jenderal,” pungkasnya.
Sementara itu, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Yohana Yambise mengatakan, kasus Vanessa telah menjadi perhatian jajarannya. Dia menilai, kasus tersebut tidak hanya dipandnag sebagai prostitusi, namun juga mengandung unsur eksploitasi terhadap perempuan.
Yohana menambahkan, salah satu hal yang akan menjadi fokusnya adalah bagaimana ke depannya, objek pidana tidak hanya menyarasar ke perempuan ataupun mucikarinya. Namun juga bisa ikut menjerat laki-laki hidung belang yang bertindak sebagai penyewa.
“Pelakunya harus dikenakan hukuman dong. Tidak boleh ada diskrimansi, eksploitasi terhadap perempuan,” ujarnya di Komplek Istana Kepresidenan, Jakarta, kemarin (7/12). Menurutnya, menjadi tidak adil, jika pria hidung belang sebagai pelaku eksploitasi tidak mendapatkan konsekuensi hukum yang sama.
Terkait payung hukumnya, Yohana menilai, ketentuan tersebut bisa masuk melalui Rancangannya Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS). Kebetulan, RUU tersebut menjadi konsen pihaknya bersama DPR. “Saya dari pihak pemerintah mendukung supaya secepatnya,” imbuhnya.
Selain RUU PKS, penjeratan terhadap pria hidung belang juga diupayakan melalui revisi KUHP. Menteri Yasonna Hukum dan HAMPIR Yasonna Laoly mengatakan, pihaknya sudah sejak lama mengusulkan pasal tersebut dalam RKUHP. Hanya saja, proses pembahasannya di DPR masih mandeg.
“Kita akan coba segerakanlah bicara dengan teman-teman DPR,” ujarnya. Namun, politisi PDIP itu belum bisa menjanjikan kapan akan segera dituntaskan.
Sementara Pakar Hukum Pidana Trisakti Abdul Ficar Hadjar mengatakan bahwa KUHP memiliki paradigma liberal yang berdampak pada perbuatan suka sama suka antara orang dewasa tidak termasuk pidana zina. Perbuatan itu baru masuk ke pidana zina, bila salah satu diantara keduanya memiliki ikatan keluarga. ”Itu pun harus dengan aduan dari istri atau suami dari pelaku, delik aduan,” paparnya.
Kalau tidak ada pengaduan, maka kepolisian tidak bisa untuk memproses hukum terhadap PSK dan penggunanya. Dia mengatakan bahwa biasanya PSK dan penggunanya itu bisa dijerat juga dengan peraturan daerah (Perda). ”Hukumannya denda atau kurungan,” jelasnya.
Sekarang ada perda yang progresif berupa perda syariah. Sehingga, bisa melarang dan memberi sanksi terhadap perbuatan yang salah dalam agama. ”Kalau dalam perda DKI Jakarta sudah ada, perda nomor 8/2007 tentang ketertiban umum pasal 42 (2) hukuman kurungan minimal 20 hari maksimal 90 hari. Atau denda Rp 30 juta hingga Rp 500 juta,” jelasnya. (Jawa Pos/JPG)