Batas Usia Pernikahan Harus Lihat Keadilan Gender

Menteri PPPA Janji untuk Segera Membahas UU Perkawinan

Ilustrasi.Net

eQuator.co.id – JAKARTA –RK. Batas bawah usia pernikahan masih menjadi perhatian. Mahkamah Konstitusi (MK) telah mengamanatkan jika batas usia menikah harus diervisi. Kemarin (19/12) Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Yohana Yembise pun memiliki angka sendiri batas bawah pernikahan.

Yohana menuturkan sudah membandingkan usia pernikahan perempuan dan laki-laki di banyak negara. Dari hasil upaya tersebut, usia pernikahan rata-rata untuk perempuan 20 tahun. Sedangkan usia pernikahan laki-laki rata-rata 22 tahun. Tapi, dia menyebutkan bahwa yang perlu diselesaikan adalah masalah kesetaraan gender.

”Saya balik melihat masalah gender equality, yaitu jangan sampai terjadi ketidakadilan. Jadi bagusnya minimal 20 maksimal 22 untuk laki-laki dan perempuan,” ujar Yohana usai menyerahkan Anugerah Parahita Ekapraya di Istana Wakil Presiden.

Sesuai hasil putusan Mahkamah Konstitusi, ketentuan usia minimal 16 tahun perempuan untuk menikah telah dibatalkan dan dinyatakan inkonstitusional. Aturan yang tercantum pada Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan) itu harus direvisi. MK memberikan batasan paling lama tiga tahun untuk DPR agar merevisi undang-undang tersebut.

Lebih lanjut, Yohana menuturkan akan segera membahas masalah tersebut dengan anggota DPR. Kementerian PPPA sudah menyelenggarakan diskusi publik terkait usia pernikahan anak. Hasil diskusi publik itu salah satu yang akan dibawa ke DPR.

”Kita perlu kerja sama, pendekatan lagi dengan pihak DPR agar ada kesepakatan bersama. Yang jelas, undang-undang perlindungan anak minimal 18 tahun,” imbuh dia.

Selain itu, Kementerian PPPA perlu diskusi dengan berbagai institusi lain terkait masalah anak itu. Misalnya dengan Komisi Perlindungan Anak Indonesia, Komnas Perempuan, juga organisasi masyarakat.

”Jadi kita akan siapkan itu sebaik mungkin sehingga kesepakatan ini kita bisa bawakan nanti ke DPR agar dibicarakan,” ungkap Yohana.

Sementara itu Kepala Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Susanto menuturkan bahwa perkawinan memiliki berdampak jangka panjang bagi sumber daya manusia Indonesia. ”Umumnya yang menikah usia anak, pendidikannya rendah bahkan putus sekolah,” ungkapnya. Belum lagi kemiskinan sering menjadi dalih untuk menikahkan anak lebih cepat. Namun dengan pernikahan tersebut dapat menyebabkan kemiskinan berulang.

Dia mendukung bahwa seorang anak harus mendapatkan pendidikan tinggi. Setidaknya mengenyam pendidikan 12 tahun. ”Pada UU No 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak pasal 26 bahwa orangtua wajib mencegah terjadinya perkawina  usia anak. Dalam undang-undang yang sama, disebut anak jika usianya belum mencapai 18 tahun.

Kuasa hukum penggugat UU Perkawinan Dian Kartikasari menuturkan bahwa proses tiga tahun yang ditetapkan MK untuk mengubah pasal batas bawah usia pernikahan bagi perempuan dianggap terlalu lama. Dia pesimis pasal baru tersebut bisa jadi sebelum musim pemilu. Padahal semakin lama, maka korban perkawinan anak semakin banyak. ”Kami sudah mengajukan Perpu (peraturan pengganti undang-undang, Red) kepada presiden,” ucapnya. (Jawa Pos/JPG)