Usia 14 Tahun Disulap Jadi 18 Tahun

Testimoni Perempuan Penggugat UU Perkawinan

Ilustrasi.Net

eQuator.co.id – JAKARTA-RK.  Anak-anak yang dipaksa menikah sering tidak mendapatkan kebahagiaan. Endang, salah seorang penggugat UU Perkawinan, kemarin (15/12) menceritakan pengalaman kelamnya kepada Jawa Pos. Dia dipaksa menikah saat berusia 14 tahun. Kini dia dan korban lain berharap agar peraturan pengganti undang-undang perkawinan segera disusun dan disahkan.

Endang ingat betul saat usianya menginjak 14 tahun. Waktu itu dia masih kelas 1 SMP. Perempuan asli Indramayu itu dipaksa orang tuanya menikah. Padahal, dia tidak kenal dengan calon suaminya. ”Saya takut. Tidak kenal kok jadi suami saya,” ungkapnya.           Tidak seperti pengantin pada umumnya, tak ada rasa bahagia saat hari pernikahan tiba. Yang Endang rasakan hanya ketakutan dan rasa marah. Dia masih ingin belajar. Endang ingin bermain seperti teman-temannya yang lain. ”Tapi saya tidak bisa menolak. Tidak bisa protes,” ucapnya.

Saat menikah, usia Endang dituakan menjadi 18 tahun. Hal tersebut dilakukan untuk memperlancar urusan administrasi. UU Perkawinan memang mensyaratkan usia mempelai perempuan minimal 16 tahun. Yang mengatur penambahan umur Endang adalah keluarga calon suami dan perangkat desa setempat. ”Saya heran kenapa penghulu juga mau-mau saja,” ucapnya.

Kala itu, suami Endang adalah duda yang memiliki satu anak. Usianya sudah 37 tahun. Sebenarnya suaminya lebih pantas menjadi pamannya. Pernikahan yang dilakukan keluarga Endang mulanya karena situasi ekonomi. Keluarganya termasuk golongan kurang berada. Sedangkan suaminya adalah pengusaha es.

Hari-hari pasca pernikahan tidak membuatnya bahagia. Selain putus sekolah, Endang juga harus mengasuh anak tirinya. Endang tak bisa bermain lagi dengan teman-temannya. Untuk kebutuhan sehari-hari, dia perhari diberi uang Rp 20 ribu.

Untuk anak usia 14 tahun, tentu organ reproduksinya masih belum siap. Namun, dia harus tetap melayani suaminya. Itu menjadi pengalaman buruk bagi Endang. ”Akhirnya ibu saya pun menyesal telah menikahkan saya,” ungkapnya.

Endang tak ingin nasib buruk itu menimpa anak-anak lainnya. Ketika dia mengikuti seminar di desanya, dia terketuk untuk membantu. Dia dengan suka rela menjadi pihak yang menggugat UU Perkawinan. Ada dua orang lain selain Endang. ”Ini harus dihentikan,” ucapnya.

Putusan MK memang membawa angin segar. Sayangnya, waktu yang diberikan MK kepada DPR untuk mengubah UU Perkawinan terlalu lama, 3 tahun. Apalagi kini sedang musim pemilu. Dia khawatir penguasa tak menghiraukan keputusan MK. ”Kami juga menyusun (draft rancangan, Red) perppu yang sudah diserahkan ke presiden. Tapi belum mendapatkan respons,” tuturnya.

Program Manejer Plan Internasional Indonesia James Ballo mengatakan, pernikahan dini merupakan salah satu pintu kekerasan pada anak. Bahkan risiko eksploitasi seksual komersial juga menghantui mereka. Anak yang menikah dapat dipastikan putus sekolah. Sehingga, untuk mendapatkan kebutuhan hidup yang layak pun sulit. ”Akibatnya bisa masuk ke prostitusi,” ujarnya.

Deputi Perlindungan Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Sri Danti Anwa mengungkapkan hal senada. Dia menyatakan pernikahan anak berbahaya secara fisik. Sebab, organ reproduksi anak  belum siap. Selain itu, secara psikis pun anak belum siap, sehingga rawan perceraian dan kekerasan. ”Anak juga harus berhenti sekolah,” ujarnya.

Pernikahan usia anak memang sudah selayaknya tidak dilakukan. Pernikahan anak mengamputasi hak anak untuk berkembang. Majelis Ulama Indonesia (MUI) pun memberi perhatian akan hal tersebut.

Wakil Ketua MUI Zainut Tauhid Saadi menuturkan lembaganya akan mempelajari putusan MK tersebut secara mendalam. Sebab putusan tersebut berpotensi menimbulkan polemik. Karena menyangkut hal yang sangat sensitif.

’’MUI akan membentuk sebuah tim yang akan melakukan penelitian dan pengkajian,’’ jelasnya. Pada saatnya nanti MUI akan memberikan pendapat dan pandangan secara menyeluruh.

Zainut mengingatkan bahwa UU 1/1974 bagi umat Islam bukan sekedar normal hukum positif dalam kegiatan perkawinan. Tetapi juga mengatur sah dan tidaknya sebuah pernikahan menurut ajaran Islam. Bagi Zainut lahirnya UU itu memiliki nilai sejarah yang tinggi dan ikatan emosional kuat dengan umat Islam. Sehingga dia mengingatkan semua pihak untuk bersikap arif dan berhati-hati jika berniat untuk mengubahnya.

 

MUI khawatir ketika dibawa dalam meja DPR nanti, pasal-pasal dalam UU 1/1974 tersebut ikut dibongkar. Padahal MK mengamanatkan perubahan hanya untuk pasal 7 ayat satu saja. MUI khawatir jika putusan MK tersebut dijadikan pintu masuk untuk mengamandemen UU Perkawinan secara keseluruhan.

Zainut menegaskan meskipun UU Perwakinan itu usianya sudah tua, tetapi masih relevan. Masih cocok untuk tetap diberlakukan sampai saat ini. Sehingga tidak perlu ada revisi atau perubahan di luar amanat putusan MK.

Sementara itu Dirjen Bimas Islam Kemenag Muhammadiyah Amin menampik bahwa ada oknum petugas pencatatan nikah di KUA yangmarkup usia calon pengantin. Praktek markup itu dilakukan untuk membuat seolah-olah calon pengantin sudah berusia lebih dari 16 tahun untuk mempelai perempuan. Padahal dia masih anak-anak atau di bawah 16 tahun.

’’Tidak ada oknum KUA yang berani melakukan praktik menuakan usia calon pengantin. Baik (calon pengantin, Red) laki-laki maupun perempuan,’’ kata Amin kemarin. Dia menjelaskan bahkan KUAa berani menolak untuk memproses pernikahan di bawah usia ketentuan UU 1/1974 tentang Perwakinan. Yakni minimal 19 tahun untuk pengantin laki-laki dan 16 tahun bagi pengantin perempuan.

Amin menambahkan proses pencatatan nikah harus dipenuhi dengan komplit. Selain usia juga terkait dengan syarat mendapatkan persetujuan dari orangtua bagi mempelai yang usianya di bawah 21 tahun. Amin mengatakan petugas pencatatan nikah di KUA baru memproses pernikahan setelah semua persyaratan komplit.

Terkait dengan revisi UU 1/1974 dia mengatakan Kemenag menunggu DPR. Nantinya DPR akan membentuk tim perumus revisi UU yang baru saja dikoreksi oleh Mahkamah Konstitusi (MK) tersebut. ’’Kami (Kemenag, Red) menunggu saja,’’ jelasnya.

Wakil Ketua Komisi VIII DPR Sodik Mudjahid mengisaratkan pembahasan revisi UU Perwakinan tersebut tidak akan dilaksanakan dalam waktu dekat. Menurutnya masih banyak rancangan UU di Komisi VIII yang masih dibahas dan harus diselesaikan. Dia mengatakan selama belum keluar aturan baru, ketentuan batas usia pernikahan masih seperti sebelumnya. (Jawa Pos/JPG)