Rupiah Tembus 15.182 per USD

Sri Mulyani: Pemerintah Merespons

eQuator.co.idJakarta-RK. Tidak menutup kemungkinan pemerintah akan mengeluarkan kebijakan baru. Melalui langkah tersebut, diharapkan goncangan terhadap perekonomian dalam negeri dapat diredam. Apalagi, dalam lima hari terakhir ini, nilai tukar rupiah terdepresiasi terhadap dolar Amerika Serikat (AS).

Pada Jumat (5/10), kurs tengah Bank Indonesia (BI) mencatat rupiah berada di level 15.182 per USD. Sebelumnya, Kamis (4/10), berdasarkan data Jakarta Interbank Spot Dollar Rate atau Jisdor, kurs tengah rupiah di level 15.133 per dollar AS. Atau melemah 45 poin dibanding Rabu (3/10) yang berada di posisi Rp15.088.

“Pemerintah akan terus menjaga fleksibilitas, dan bersikap untuk terus mau berubah, dan mau terus memperbaiki formula kebijakan, karena memang kalau kondisi global terus bergerak kita harus juga merespons dan bahkan memperkuat perekonomian kita,” kata Menteri Keuangan Sri Mulyani di Gedung Dhanapala, Kementerian Keuangan, Jakarta, Jumat (5/10).

Dia menjelaskan, dampak perekonomian global secara tidak langsung juga akan memberi pengaruh negatif terhadap defisit neraca pembayaran nasional. Oleh karena itu, pemerintah bersama Bank Indonesia (BI) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) akan terus melihat semua aspek perekonomian khususnya dalam bauran kebijakan.

“Kita juga akan melihat semua aspek perekonomian kita apakah mereka mampu mengabsorb (menyerap) dan mengelola perubahan dinamika yang terjadi ini, baik itu dari sisi nilai tukar, capital flow, dan kemudian dari masing-masing neraca di lembaga keuangan, di korporasi, di pemerintah sendiri, APBN akan kita jaga dan dari sisi moneter dan sektor riil lainnya,” paparnya.

Jadi, lanjut dia, secara umum pemerintah akan terus. “Karena kita hidup di dalam era di mana perubahan dunia itu begitu sangat cepat dan sangat signifikan dan pengaruhnya sangat besar terhadap seluruh dunia termasuk Indonesia,” tandas Sri Mulyani.

Analis Forex Time Lukman Otunuga menjelaskan, depresiasi Rupiah dipicu oleh ketegangan dagang AS-Tiongkok yang memburuk. Prospek kenaikan suku bunga AS berpotensi mempercepat arus keluar modal dari pasar berkembang, sehingga Rupiah tetap rentan mengalami kejutan negatif.

“Rupiah kembali mencatatkan rekor terendah hari ini, merosot ke level yang tak pernah tersentuh sejak krisis finansial 1998 yaitu 15.178,” ujarnya Jumat (5/10).

Menurutnya, ekspektasi akan semakin besar bahwa Bank Indonesia akan kembali meningkatkan suku bunga untuk menolong Rupiah, namun ini sepertinya tak dapat membantu banyak untuk membatasi penurunan nilai Rupiah.

“Asumsi ini berdasarkan fakta bahwa Rupiah tetap terperosok walaupun Bank Indonesia telah meningkatkan suku bunga sebanyak lima kali sejak Mei tahun ini,” tuturnya.

Lukman menambahkan, arus pergerakan rupiah sangat dipengaruhi oleh faktor eksternal sehingga prospek jangka pendek hingga menengah tetap bearish. “Dari aspek teknis, USDIDR tetap sangat bullish di grafik harian. Penutupan harian di atas 15.000 dapat memicu kenaikan menuju 15.300 bahkan lebih,” tandasnya.

Sementara itu, indeks bursa saham (indeks harga saham gabungan/IHSG) sulit bertahan di level 6.000 poin. Ekonom Yanuar Rizky menyebut karena teknikal pasar keuangan dan fundamental ekonomi.

“Fundamental Ekonomi, postur neraca perdagangan kita kan memang rapuh, cenderung defisit. Tapi, itu tertutupi kalau uang beredar di pasar keuangan dalam posisi inflow, sehingga kurs rupiah kuat dan sisi daya beli impor juga bagus. Tapi, kalau teknikal uang beredarnya dalam posisi outflow, ya penyakitnya muncul,” ujarnya dalam siaran persnya, Jumat (5/10).

Menurutnya, kondisi Rupiah dan IHSG mungkin sifatnya fluktuatif dan bisa bersifat jangka pendek. Namun, jika ditilik ke belakang, nyatanya Rupiah terus tergerus (Januari-September 2018/year to date). Begitu juga dengan IHSG, yang sulit duduk manis di atas level 6.000. Linier dengan hal tersebut, cadangan devisa pun semakin terkuras.

Jika dibiarkan terlalu lama, Yanuar menilai, psikologi pasar juga tertekan dan mempertanyakan kemampuan para pemangku kebijakan ekonomi dalam mengatasi tekanan yang bertubi-tubi. Bahkan, bisa mengungkit isu reshuffle kabinet tim ekonomi yang sempat santer di akhir 2017.

“Harus ada terobosan mikro dalam kebijakan makro. Kalau kata saya, perlu orang yang mengerti dalam detail-detail, sehingga tidak retorika,” imbuhnya.

Yanuar mencontohkan, mantan Gubernur Bank Sentral Amerika Serikat Ben Bernanke merupakan seorang monetaris aliran makro. Namun, kebijakan Quantitative Easing (QE) adalah mikro inisiatif.

Sekadar diketahui, QE adalah salah satu instrumen moneter yang bisa dilakukan oleh bank sentral suatu negara. Tujuannya guna meningkatkan jumlah uang beredar (money supply) di pasar. Dalam hal ini, baik Menko Perekonomian Darmin Nasution maupun Menkeu Sri Mulyani adalah orang gaek dalam hal makro. Dan bisa memberikan rekomendasi kepada Bank Indonesia.

“Jadi, kritik saya di tim ekonomi ini perlu ada perubahan gaya bermain,” tandasnya.

Pengamat Ekonomi dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Ahmad Heri Firdaus, mengatakan hal itu berkelanjutan secara gradual. Pemicu utamanya kata dia adalah faktor global. Seperti kenaikan suku bunga oleh The Fed.

”Aliran modal dalam bentuk dollar balik lagi ke negara asal. Pemicunya itu. Namun begitu itu sebenarnya bisa di eleminir kalau ketahanan fundamental ekonomini  kita kuat,” ujar Heri.

Walaupun pelemahan rupiah, bertahap, namun kalau ditotal sepanjang tahun sudah diatas 10 persen. Menurutnya, Thailand pelemahan nilai tukarnya tidak terlalu parah.

”Itu karena Thailand, dia mempersiapkan fundamental ekonomi lebih baik. Transaksi berjalan dia surplus. Ekspor barang jasa, dan pengembalian investasi. Itu bisa surplus, sehingga bisa menyiapkan  buat cadev. Kalau kita kan defisit. Kalau surplus Harusnya bisa ditutupi dengan itu permintaan dollar yang tinggi,” jelas Heri.

Menurutnya, tidak ada capital outflow saja, permintaan dollar sudah tinggi. Seperti untuk impor dan sebagainya. “Selain itu, ketergantungan dana asing masih tinggi. Yang parkir sementara, dalam bentuk portofolio,” ucapnya.

Solusinya, kata dia, pemerintah harus terus mendorong ekspor. Serta industri manufaktur lebih kuat “Yang dilakukam pemerintah, masih bersifat reaktif aja. Bukan mempersiapkan fundamental ekonomi  yang kuat. Beda dengan Thailand, tahun 1998 dia pemicu kiris. Sekarang dia kuat.  Itu tadi, surplus transaksi berjalannya. Punya devisa,” ujar Heri.

Ia menambahkan walaupun rupiah secara bertahap melemah, namun ia meyakini tidak akan krisis. Negara maju tidak akan membiarkan itu.

“Kita tidak akan dibiarkan krisis, kalau kita krisis mereka rugi. Karena itu depresiasinya sengaja, dibuat gradual Tidak seperti 1998 yang rupiah langsung terdepresiasi sangat tinggi,”  jelasnya.

Ia menambahkan, untuk mendorong ekspor, kedutaan di luar negeri juga harus ikut ambil bagian. ” Minta bantuan kedutaan di luar negri untuk  buka pasar menggenjot ekspor,” tandas Heri.  (Jawa Pos/JPG)