Pontianak Butuh Seratusan Bus

BRT yang Terintegrasi Solusi Atasi Macet

MERAYAP. Kemacetan panjang terjadi di Jalan Gajah Mada, Budi Karya dan Pahawan, belum lama ini. Sejumlah kendaraan merayap untuk bisa keluar dari kepadatan itu—Ocsya Ade CP

eQuator.co.idPONTIANAK-RK. Peningkatan jumlah kendaraan yang tak sebanding dengan kapasitas jalan di Kota Pontianak mengakibatkan persoalan kemacetan belum teratasi. Salah satu cara mengatasinya kemacetan dengan transportasi massal.

Akademisi Bidang Transpotasi Fakultas Teknik Universitas Tanjungpura (Untan) Pontianak, Ir. Akhmadali, M.Sc mengatakan, angkutan umum di Kota Pontianak harus dihidupkan kembali.

Bentuknya bukan lagi oplet, tetapi angkutan umum berupa bus. “BRT (Bus Rapid Transit) namanya itu,” ujarnya diwawancarai usai Focus Group Dicussion (FGD) di salah satu hotel di Pontianak, Kamis (27/9).

BRT sebuah sistem bus yang cepat, aman, nyaman dan tepat waktu. Dibangun terintegrasi mulai di terminal antarnegara Sungai Ambawang yang melayani rute ke Bandara Internasional Kubu Raya. Kemudian rute hingga Jalan Komyos Sudarso Kecamatan Pontianak Barat dan di sekitar Kota Pontianak lainnya. Harapannya, 40 persen dari pergerakan masyarakat bisa diangkut bus tersebut. Dengan demikian diharapkan kemacetan akan berkurang. “Keamanan serta kecelakaan lalu lintas berkurang, karena sebagian besar atau hampir separuh masyarakat sudah  diangkut dengan bus,” paparnya.

BRT tentu saja membutuhkan banyak bus. Menurut perhitungannya diperlukan seratusan lebih bus. Karena moda transpotasi ini meliputi tiga wilayah. Yaitu Kabupaten Mempawah, Kota Pontianak dan Kubu Raya. Maka ketiga pemerintah daerah ini harus bersinergi untuk bisa mewujudkannya.

Dia berharap, tiga tahun kedepan konsep ini sudah bisa dilaksanakan secara sekaligus. Bukan parsial. Artinya bus disiapkan terlebih dahulu. “Itu tidak efektif,” sebutnya.

Harus disiapkan sesuai rencana. Sehingga mengcover semua wilayah.

“Kalau bus cuma untuk satu trayek, yang ada lainnya belum itu juga tidak efektif. Oleh karena itu harus ada kebersamaan kita semua, pemerintah pusat maupun pemerintah daerah,” paparnya.

Dikatakannya, Undang-Undang memungkinkan untuk mensubsidi angkutan di perkotaan. Peluang ini harus diusahakan dan merupakan tugas pemerintah provinsi, karena mencakup tiga kabupaten/kota. Maka berada dalam domain ini tentu saja Dinas Perhubungan provinsi.

“Bagaimana bisa dikomunikasikan dengan pemerintah pusat, di daerah menyiapkan apa, di pusat menyiapkan apa, hingga secara keseluruhan bisa kita wujudkan,” tutup Akhmadali.

Semetara itu, Direktur Lalulintas Polda Kalbar, Kombes Pol Nanang Masbudi mengatakan dalam masalah lalulintas tidak terlepas dari moda transpotasi. Kedepan memang harus diantispasi. Salah satu cara menanggulangi permasalahan tersebut bagaimana menghadirkan transpotasi angkutan umum yang nyaman, tepat waktu dan ada kepastian.

“Permasalahan lalulintas yang diakibatkan kendaraan bermotor karena memang pertumbuhan ekonomi, tidak sebanding dengan kapasitas jalan. Maka salah satu solusinya adalah menyediakan angkutan umum yang nyaman, tepat waktu, bisa melayani kebutuhan masyarakat dan mobilitas,” terangnya.

Khusus Kota Pontianak jika tidak merencangkan moda transpotasi tersebut kedepannya, maka akan tertinggal dengan perkembangan zaman dan ekonomi. Sebab yang akan masuk ke Kota Pontianak bukan hanya warganya. Tetapi juga warga lain di Kalbar.

“Nah, itu harus kita desain kedepan bagaimana membuat moda transpotasi angkutan umum yang bisa memenuhi kebutuhan,” jelasnya.

Lanjutnya,  pemerintah daerah harus bisa berkorban dengan memberikan subsidi kepada masyarakat. “Supaya BRT itu bisa jalan, karena itu salah satu solusinya yang terbaik,” ucapnya.

Menurut Nanang, tidak bisa juga membatasi warga Pontianak untuk tidak membeli kendaran bermotor. Karena orang yang membeli kendaraan bermotor adalah bagian dari pertumbuhan ekonomi, hak asasi warga negara dan juga meningkatkan pendapatan daerah. “Saya informasikan 70 persen pajak di Kalbar berasal dari kendaraan bermotor,” tuntas Nanang.

Pakar Hukum Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta, Andi Sandi Antonius, T.T, SH,. LL.M mengatakan, membuat transpotasi massal banyak pilihannya. Paling pontensial adalah bus. Namun untuk menerapkan BRT harus melihat jumlah kendaraan dan kapasitasnya.

Sebagai perbandingan kata dia, di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, ada Trans Jogja. Busnya tidak sebesar bus Trans Jakarta, karena Jalan di Yogyakarta sempit.

“Kalau saya kenapa pilihan kajian teman-teman di Kalbar yang paling berpotensi adalah BRT, cuma memang BRT nya tidak bisa seperti di Jakarta, tapi harus disesuaikan dengan di sini,” ujarnya.

Andi menjelaskan, transportasi massal yang integriti dan nyaman tidak bisa serta merta dibuat. Tetapi memang harus ada kajian dan infrastruktur harus disiapkan.

“Apa gunanya ada BRT tetapi masyarakatnya tidak pindah. Orang kalau kemana gitu, inginnya on time (tepat waktu) dan murah,” ujarnya.

Menurut dia, kajian tentang BRT di Pontianak sudah lama dilakukan. Tidak ada di negara manapun infrastrukturnya memadai dan bisa menyediakan semuanya ideal. “Jadi kondisi infrastruktur sebagai salah satu landasan untuk menentukan kebijakan jenis yang akan digunakan,” imbuhnya.

Andi mengatakan Jogja yang jalan kecil dan ada gunung api saja berani menerapkan BRT. Apalagi Kota Pontianak yang jalannya besar.

“Bahkan sekarang rencana membangun train dan sub way. Sub way dibangun, gunungnya meletus gimana? Nah, itukan ada kajiannya,” sebutnya.

Menaikan pajak, tarif parkir dan pembatasan pembelian kendaraan ditegaskan dia bukanlah solusi. Malah menambah masalah jika tidak menyediakan transpotasi massal.

“Tiba-tiba naikan pajak kendaran, terus tarif parkir dinaikan, tapi transpotasi massal tidak disediakan, itu cari gara-gara,” demikian Andi.

 

Laporan: Ambrosius Junius

Editor: Arman Hairiadi