Bantu Penguatan Rupiah

BI Ajak Gunakan Produk Dalam Negeri

ilustrasi-net

eQuator.co.idPONTIANAK-RK. Sempat tembus Rp15 ribu per Dolar AS, Rupiah berangsur-angsur mulai menguat. Penguatan Rupiah harus terus dipertahankan.

Salah satu upaya agar Rupiah tidak anjlok dengan mendorong industri agar menghasilkan barang-barang substitusi impor. Ini perlu dilakukan agar tidak tergantung produk impor. “Sehingga dalam konteks strukturalnya perlu dilakukan dorongan,” ujar Kepala Bank Indonesia (BI) Kalbar, Prijono kepada Rakyat Kalbar, Sabtu (8/9).

Berangsur menguatnya Rupiah menunjukkan kondisi ekonomi Indonesia secara fundamental cukup kuat. Terlebih dengan beberapa kebijakan yang dikeluarkan pemerintah melalui BI.

“Insya Allah memberikan dampak positif. Seperti adanya kebijakan BI menaikkan suku bunga (BI 7 rate), intervensi di pasar,” terangnya.

Sejauh ini, kata dia, terkait apa-apa saja yang dapat mendorong terjadinya penurunan nilai tukar rupiah masih dalam tahap kajian. Akan tetapi yang perlu dicermati adalah pelaku usaha atau perusahaan yang bahan bakunya memiliki kandungan impor tinggi. Sementara dijual di domestik dalam jangka pendek. “Paling sederhana adalah mari kita menggunakan produk dalam negeri,” imbuhnya.

Kemudian dengan meningkatkan daya saing dan perbaikan infrastruktur dasar, seperti pasokan listrik di Kalbar. Selanjutnya kemudahan perizinan berusaha. “Serta menciptakan iklim usaha yang kondusif,” jelasnya.

Hilirisasi produk perlu dilakukan untuk menghasilkan nilai tambah agar jauh lebih tinggi. Kemudian pariwisata dengan menarik turis terutama wisman untuk stay longer dan spending agar lebih banyak. “Namun demikian untuk mewujudkan hal tersebut tentu semua pihak harus bersinergi, berjalan bersama dengan tujuan yang sama, ini juga sangat penting,” tutup Prijono.

Sementara itu, Institute for Development of Economics and Finance (Indef) menekankan perlunya pengurangan impor minyak mentah guna menekan defisit transaksi berjalan guna membantu penguatan Rupiah. Sebab, impor minyak mentah menjadi salah satu penyumbang terbesar kebutuhan Dolar AS.

Ekonom Indef, Bhima Yudistira mengatakan secara rata-rata Indonesia harus mengimpor minyak sebanyak 800 ribu barel per hari. “Jika harga minyak dunia diangka USD 75 per barel, lalu dikalikan maka kebutuhan Dolar untuk impor minyak mentah sebesar USD 60 juta per hari. Ini sangat menguras sekali valas (valuta asing) dalam negeri,” ujarnya, Sabtu (8/9).

Dia menyatakan program B20 atau pencampuran BBM (Bahan Bakar Minyak) dengan biodiesel sebesar 20 persen cukup bagus dalam mengurangi impor minyak mentah. Hanya saja, pemerintah menurutnya memang perlu memperhatikan kesiapan SPBU (Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum) maupun mesin kendaran non PSO (Public Service Obligation). Sebab, tidak dipungkiri biodiesel dari turunan minyak sawit memang memiliki kelemahan disuhu tertentu akan membeku.

Jika pemerintah memaksa kendaraan non PSO menggunakan B20 maka menurutnya juga diperlukan insentif. “Ketergantungan minyak harus dikurangi dengan mempercepat konversi gas dan percepat peningkatan energi baru terbarukan,” imbuhnya.

Pada akhir pekan lalu, nilai tukar Rupiah terhadap Dolar AS mampu menguat menjelang akhir pekan ini. Berdasarkan kurs referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor), Rupiah menguat tujuh poin ke posisi Rp 14.884 per USD pada 7 September 2018 dari periode Kamis 6 September 2018 dikisaran Rp 14.891 per USD. Rupiah pun bergerak dikisaran Rp 14.820 hingga Rp 14.907 per USD sepanjang Jumat pekan ini.

Di sisi lain, pemerintah juga terus meminta agar Pertamina segera mempercepat pembangunan kilang guna menekan impor BBM. Selain meningkatkan ketahanan energi nasional, pembangunan kilang juga akan memberikan nilai efisiensi cukup signifikan dari sisi cracking cost atau biaya pengolahancrude menjadi BBM yang mencapai hingga USD 13 per barel.

“Jika kita impor crude, menghindari impor BBM untuk diolah di kilang Pertamina. Maka, akan terdapat selisih harga antara impor crude dan BBM (cracking cost) biasanya sekitar USD 10 hingga USD 13 per barel,” ujar Wakil Menteri ESDM Arcandra Tahar.

Jika saat ini misalnya harga crude WTI atau Brent sebesar USD 70 per barel, maka per barel harga produk itu ditambahkan USD 10 hingga USD 13 sebagai biaya pengolahan crude menjadi produk BBM. Harga BBM pun akan mencapai USD 80 hingga USD 83 per barel.

“Biaya pengolahan crude menjadi BBM atau cracking cost itulah yang dapat diefisienkan jika kita impor crude dan mengolahnya di kilang Pertamina,” jelas Arcandra.

Pemerintah melalui PT Pertamina (Persero) berencana melaksanakan 4 proyek Kilang RDMP yaitu Kilang Cilacap, Balikpapan, Dumai dan Balongan. Untuk mempercepat rencana tersebut, Pemerintah telah menetapkan dukungan legalitas pembangunan kilang melalui Peraturan Presiden Nomor 146 Tahun 2015 tentang Pengembangan dan Pembangunan Kilang Dalam Negeri yang mengatur tentang skema pendanaan, pengadaan lahan, off taker product dan tax holiday.

 

Laporan: Nova Sari, Jawa Pos/JPG

Editor: Arman Hairiadi