eQuator.co.id – PONTIANAK-RK. Komunitas pemuda-pemudi yang mengatasnamakan Pontianak Hitam menggelar aksi demontrasi di Digulis Untan Pontianak, Jumat sore (7/9). Aksi bertema “September Hitam” ini guna mengingatkan pemerintah agar menuntaskan kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) di massa lalu.
Aksi diikuti puluhan massa. Mereka memakai baju hitam dan seraya membentangkan sepanduk bertuliskan. “Negara adalah pelaku utama pelanggar HAM”. Satu persatu dari mereka berorasi dan menyampaikan pesan kepada pemerintah Jokowi. Mereka menilai tidak ada upaya yang dilakukan pemerintah mengungkap kasus HAM di massa lalu.
Ada lima tuntutan yang disampaikan. Pertama, ungkap tuntas pembunuhan Munir. Kedua, hentikan penggerusan berkedok investasi. Ketiga, hentikan ekspansi serta ekploitasi perkebunan dan pertambangan skala besar Kalbar. Keempat, bebaskan tanpa syarat seluruh penjuang agrarian dan tanah perang kelas yang di tangkap dan ditahan pihak kepolisian. Dan kelima, negara bertanggung jawab penuh atas seluruh pelanggaran HAM dan perampasan ruang hidup rakyat Indonesia.
Salah seorang peserta aksi, Bandi menutrukan, aksi September Hitam dilakukan untuk mengingatkan serta menyadarkan masyarakat bahwa hak asasi harus di junjung tinggi dan milik semua orang. “Aksi ini kita laksanakan secara nasional,” ujarnya kepada awak media.
Dikatakan dia, masih banyak permasalahan HAM yang belum dituntaskan negara. Misalnya saja kasus Munir. “Dan segala permasalahan pelanggaran HAM yang ada di sekitar kita yang masih terjadi,” katanya.
Dijelaskannya, September memilki makna sendiri bagi pergerakan rakyat Indonesia. Diantaranya, kasus pembantaian pada September 1965, kasus Tanjung Priok pada September 1984, kasus Semanggi II pada 24 September 1999, dan pembunuhan Munir pada 7 September 2004. Hampir semua kasus pelanggaran HAM berat di Indonesia terjadi dan melibatkan negara sebagai aktor utamanya. Seakan tidak ada perlindungan sejati atas HAM di Indonesia.
Kasus Munir merupakan salah satu contoh pelanggaran HAM yang belum mampu diungkap pemerintah secara terang benderang. Misalnya TPF Munir yang tidak dihilangkan.
“Sebenarnya kalau kita kaji bukan hanya pollycarpus pihak yang terlibat, masih banyak pihak yang lain yang terlibat,” ulasnya.
Pemerintah tidak bisa menutup mata dengan banyaknya permasalahan HAM yang terjadi di Indonesia. Dirinya menyayangkan janji Jokowi untuk mengungkap kasus HAM di masa lalu diawal pemerintahanya tidak terealisasi. Tapi hanya sekedar janji.
“Tidak ada upaya nyata pemerintahan Jokowi dalam memperjuangkan dan membuka kasus HAM di massa lalu. Pemerintah secara perlahan mulai melupakan dan seakan dia telah lupa dengan janjinya,” tutur Bandi.
Sementara Kordinator Aksi, Tama mengatakan, Pollycarpus sebenarnya bukanlah otak pembunuhan Munir. Dia hanyalah kambing hitam yang dijadikan alat untuk menutup siapa dalangnya. Data-data TPF sengaja dihilangkan. Hingga kini tidak dipublikasikan.
“Bahwasanya data itulah penting disebarluaskan untuk melihat siapa aktor atau dalang utama pembunuhan Munir,” lugasnya.
Secara objektif kata dia, negara sebenarnya tidak mau menyelesaikan kasus tersebut. Padahal diawal pemerintahannya, Jokowi melalui program nawacita secara tegas ingin mengungkap masalah HAM masa lalu. Tapi nyatanya, hingga kini tidak ada satupun kasus yang terungkap. “Malah justru kita melihat bertambahnya kasus-kasus pelanggaran HAM berat terjadi di Indonesia,” sebutnya.
Pemerintah bukannya menyelesaikan, tapi justru terus pelanggaran HAM diciptakannya. Pihaknya berharap aksi mereka dapat menarik banyak simpati masyarakat untuk terlibat mengkampanyekan persoalan ini. “Kita tidak berharap lebih dari aksi ini untuk pemerintah untuk tegas dalam menyelesaikan permasalahan HAM di Indonesia,” pungkas Tama.
Terpisah, perintah Kapolri Jenderal Tito Karnavian kepada Kabareskrim Irjen Arief Sulistyanto agar meneliti kasus Munir menjadi perhatian para pegiat HAM. Bertepatan 14 tahun terbunuhnya Munir kemarin (7/9), mereka kembali mengingatkan agar perintah itu bukan sekadar pepesan kosong.
”Segera tindaklanjuti (kasus Munir) dengan sungguh-sungguh, serius dan profesional,” tuntut Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Yati Andriyani. ”Kami berharap perintah Kapolri bukan lagi janji kosong atau hanya cara untuk meredam kekecewaan publik,” imbuh dia.
Yati pun menyarankan agar Kapolri segera membentuk tim khusus di internal Polri untuk penanganan kasus ini. Tim tersebut diharapkan dapat membuat penanganan ini lebih fokus dan efektif dengan melibatkan berbagai pihak yang profesional dan kredibel.
Setelah itu Kabareskrim dan tim menindaklanjuti hasil penyelidikan dan rekomendasi tim pencari fakta (TPF) Munir yang telah diserahkan kepada presiden. Berikutnya, melakukan pendalaman fakta-fakta persidangan yang muncul dalam berkas Pollycarpus. ”Baik berkas perkara Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, Kasasi hingga berkas PK (peninjauan kembali).”
Sementara itu, Ketua Umum Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah Dahnil Anzar Simanjuntak menuturkan seluruh kasus HAM itu tidak boleh hanya menjadi komoditas politik. Tapi, harus benar-benar dituntaskan.
“Dulu juga pak Jokowi juga menggunakan itu sebagai komoditas politik, dan akhirnya sampai detik ini tidak ada satu pun kasus ham yang teselesaikan,” ujar Dahnil usai bertemu Wakil Presiden Jusuf Kalla, kemarin (7/9).
Bahkan, malah ada kasus HAM baru. Misalnya penyiraman dengan air keras kepada penyidik KPK Novel Baswedan yang sampai sekarang belum juga terungkap pelakunya. Dia berharap kasus tersebut tentu akan menjadi catatan untuk capres dan cawapres yang akan berlaga dalam pilpres. “Misal ada yang berjanji mau nuntaskan kasus Novel kita enggak percaya seratus persen, lawannya pak Jokowi. Kita akan tagih terus dan ngawasin terus,” jelas dia.
Laporan: Andi Ridwansyah, Jawa Pos/JPG
Editor: Arman Hairiadi