Menelusuri Jejak ‘Tuyul’ dalam Transportasi Online

Laporan: Ocsya Ade CP dan Bangun Subekti

DEMO. Sejumlah driver GoJek melakukan aksi demonstrasi di kantor perwakilan GoJek, Jalan Uray Bawadi, Kecamatan Pontianak Kota, Selasa (7/8) sore--Bangun Subekti/RK
DEMO. Sejumlah driver GoJek melakukan aksi demonstrasi di kantor perwakilan GoJek, Jalan Uray Bawadi, Kecamatan Pontianak Kota, Selasa (7/8) sore--Bangun Subekti/RK

eQuator.co.id – Pontianak-RK. Semenjak taksi online (taksol) baik GrabCar maupun GoCar masuk ke Kota Pontianak, kawasan Jalan Ampera, Kecamatan Pontianak Kota, mendadak ramai. Mobil-mobil taksol berjejer memadati ruang atau lahan kosong. Di pinggir jalan, maupun di depan setiap ruko, kafe dan warkop. Seakan banyak showroom mobil di sana.

Usut punya usut, rupanya di Ampera dijadikan ‘lahan basah’ atau ‘surganya’ bagi sejumlah driver taksol untuk mendapat banyak orderan. Ya, orderan. Tapi fiktif. Berdasarkan penelusuran tim liputan, cara curang yang dilakukan driver taksol untuk mendapat banyak orderan fiktif dengan cara menggunakan aplikasi ‘tuyul’ dan ‘fake GPS’.

Hal ini dibenarkan Roli Baranto, pemilik RB Resto and Cafe, di Jalan Ampera. Menurut dia, driver taksol di sana mengenalnya dengan istilah ‘tembak’. Dan ini disebutnya bukan hal baru terjadi di sana.

“Jadi gini, beberapa sopir taksi online pada nongkrong, sementara ada salah satu teman si sopir membawa handphone yang ada aplikasinya dan membuat order fiktif, seakan si sopir ini lagi banyak orderan. GPS pun dinyalakan. Tapi aslinya teman si sopir ini hanya jalan-jalan. Nanti setelah teman si sopir ini pulang, giliran si sopir yang melakukan ‘tembak’ tadi,” cerita Roli saat ditemui Rakyat Kalbar, Senin (6/8).

Roli juga mengaku resah dengan keberadaan para oknum driver taksol yang sering memarkirkan mobilnya secara sembarangan. Di lain sisi, Roli juga pernah memergoki beberapa driver taksol melakukan tindakan tak terpuji. Seperti berciuman dengan wanita bukan pasangan resmi dalam mobil. Berkelahi dengan sesama driver dan beberapa tindakan lainnya.

“Sering saya lihat begitu. Sudah diingatkan masih saja membandel. Kebanyakan mereka ini nongkrong di kafe depan tempat usaha saya, tapi parkir mobilnya di sini. Di depan kafe saya,” keluhnya.

Bahkan, saking jengkelnya, ia pernah melintangkan kursi di halaman kafenya. Agar tak dijadikan lahan parkir bagi driver taksol. Rupanya, aksi itu memantik emosi dan sikap arogan para driver. Keributan pun terjadi. Roli beberapa waktu terakhir nyaris dikeroyok driver taksol ini. Termasuk jurnalis yang meliput keributan itu, juga nyaris dikeroyok.

Pria yang berprofesi sebagai tenaga pengajar etika profesi ini mengaku mendapatkan informasi soal kecurangan itu dari pengalaman murid-muridnya, yang pernah menjadi driver taksol. Salah satu karyawan Roli juga membenarkan hal tersebut. Karena dia pernah terjun dalam dunia transportasi online ini.

“Intinya sama dengan yang dijelaskan Pak Roli, bahwa ‘tembak’ itu adalah saat driver hanya duduk-duduk tanpa membawa penumpang, lalu dia minta temannya membawa handphone yang ada aplikasi untuk dibawa jalan. Setelah beberapa menit, nanti si driver itu tukaran. Dia yang jalan-jalan bawa handphone temannya. Intinya agar terlihat sedang membawa penumpang. Biasanya hanya jalan-jalan pakai motor,” terang karyawan Roli yang enggan namanya dikorankan.

Dari kalangan driver taksol, panggil saja namanya Bang Cebok, juga mengungkapkan mengenai adanya rekan sesama pengemudi yang berbuat curang. Menurutnya, di kalangan para driver, ‘fake GPS’ dikenal dengan istilah ‘ofik’. Ada pula yang menyebutkanya ‘tuyul’. Ofik sendiri merupakan kependekan dari order fiktif.

Kapada media ini, Bang Cebok menjelaskan cara kerja ‘fake GPS’ dan tuyul. Cara kerja fake GPS adalah memalsukan lokasi keberadaan driver yang tidak sesuai dengan lokasi pemesanan/konsumen yang order. Namun driver taksol tetap mengangkut penumpang.

“Kalau ‘fake GPS’, sebenarnya si driver masih kerja. Hanya bisa pindahkan titik peta. Tapi masih kerja jemput penumpang dan menguras bahan bakar. Misalnya begini, orang order di Podomoro, dia (driver) ada di Gajah Mada. Tapi walaupun orang order di Podomoro, tetap dia yang dapat,” bebernya.

Lalu, cara yang disebut tuyul, karena driver taksol seolah-olah mendapatkan penumpang, lalu mengantarkan sampai ke tempat tujuan. Padahal, driver taksol yang curang tersebut hanya berdiam diri di tempat. Tanpa membawa penumpang.

“Kalau ‘tuyul’ itu posisi driver bisa diubah-ubah. Plus bisa jalan sendiri. Misal driver di rumah, peta posisinya bisa jalan. Seolah dalam GPS seperti berjalan mobilnya. Itu tinggal sesuaikan orderan fiktif. Yang notabene pelaku order fiktif itu oknum driver itu sendiri. Jadi dia pakai dua handphone, bahkan lebih,” tutur dia.

Intinya, kalau pakai tuyul ini mereka benar-benar tidak kerja. Dalam aplikasi tuyul, para driver taksol menggunakan ponsel Routing Map (pengalihan lokasi, bluetooth dan navigator) dan aplikasi pendukung seperti zuper, magisk, xposed installer, disable service, root explorer, dan imei changer.

Maksud dilakukan hal itu untuk mencurangi atau mengelabui sistem aplikasi GrabCar atau GoCar (rute perjalanan) yang resmi. Sehingga para driver yang berbuat curang terlihat seolah-olah memperoleh penumpang untuk memenuhi target dan trip yang telah ditetapkan oleh pihak perusahaan.

Setelah mencapai target yang ditentukan, pihak perusahaan melalui sistemnya secara otomatis memberikan bonus kepada driver taksol. Nah, menurut Bang Cebok, di Ampera inilah ‘surganya’ orderan. Karena di sana, semua driver kompak melakukan hal yang sama.

Secara emosional, Bang Cebok menegaskan, penggunaan ‘fake GPS’ dan tuyul merupakan tindakan curang yang merugikan para driver yang bekerja dengan jujur.

“Ini yang merugikan bagi kami para driver. Karena begitu order fiktif itu masuk, pasti akan di-cancel ketika diterima. Padahal cancel dari penumpang menurunkan nilai prestasi kami dan menyakitkan,” ucap dia.

Tapi, menurut Bang Cebok, yang bergelut dalam kecurangan itu diperkirakan hanya 30 sampai 40 persen dari driver taksol yang ada. Banyak juga driver yang berlaku jujur. “Karena mereka tahu konsekuensinya dan hasil uangnya sebagian bilang haram. Saya kadang kalau perlu poin, saya minta ‘tembak’,” ujarnya sambil tertawa.

Bang Cebok mengakui, dia hanya sesekali mencoba untuk minta di-‘tembak’. Karena ia tahu, penggunaan ‘fake GPS’ dan aplikasi diluar dari aplikator baik GoCar atau GrabCar, biasanya cepat kena sanksi dari perusahaan. Terburuknya, bisa putus mitra.

“Saya tahu, ini fakta bukan hoaks. Tapi saya memang tak pernah mau gunakan ‘fake GPS’. Lagi pula pemasangan aplikasi ‘fake GPS’harus bayar. Jika aplikasi kadaluwarsa, harus di-upgrade dan bayar lagi. Tidak semua handphone bisa pula,” beber pria 32 tahun ini.

Menurut Bang Cebok, tak ada yang mengoordinasi hingga terbentuk perkumpulan ini. Perkumpulan para mitra taksol ini terbentuk begitu saja atas dasar kesamaan nasib.

“Saya tidak mau lagi cara seperti itu, karena itu nggak jujur dan saya kasihan dengan kawan-kawan yang mangkal. Nasibnya perlu diperhatikan juga,” ucapnya.

Awak media ini, sudah mendatang pihak manajemen GoCar/GoJek dan Grab. Namun pihak manajemen susah untuk dimintai tanggapan terkait order fiktif yang dilakukan sejumlah mitranya.

Senin (6/8), Rakyat Kalbar mencoba mengkonfirmasi pihak Grab di kantornya yang bertempat di Hotel Star, Jalan Gajah Mada. Lagi-lagi, pihak manajemen enggan mengomentari. “Grab tidak terkait dengan segala kasus yang dialami oleh driver. Terima kasih,” ucap perwakilan Grab.

Begitu juga dengan GoJek. Ditemui pada Selasa (7/8) di kantor perwakilannya, di Jalan Uray Bawadi, salah satu pegawai GoJek memohon maaf tidak bisa menerima awak media yang ingin mewawancarainya.

“Sudah ada aturan dari manajemen untuk tidak menerima wawancara. Bila ingin bertanya, silakan hubungi alamat email,” ucap pegawai GoJek yang langsung memberi alamat email bertuliskan [email protected]. Hingga saat ini, belum ada jawaban dari pesan yang dikirim ke email tersebut. (*)

 

Editor: Mohamad iQbaL