eQuator.co.id – JAKARTA-RK. Serbuan mobil listrik direspons Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT). Mereka memutuskan untuk ’’bermain’’ pada teknologi baterai dan pengisian listrik (charging).
Di antaranya dengan bersiap menghadirkan perangkat quick charging. Deputi BPPT Bidang Teknologi Informasi Energi dan Material (TIEM) Eniya Listiani Dewi mengatakan, BPPT menyiapkan tiga unit pusat pengisian energi untuk mobil listrik.
“Rencananya dipasang Oktober nanti,’’ tuturnya setelah pembukaan seminar bertajuk Electric Car Future Transportation Technology di Jakarta kemarin (31/7).
Dia menjelaskan, salah satu perangkat pengisian listrik memiliki suplai listrik 52 KW. Sehingga alat pengisian yang bakal dipasang di kantor BPPJ Jakarta itu bisa mengisi tenaga mobil listrik sekelas Tesla dalam tempo kurang dari 20 menit. Sebagai perbandingan, standar pengisian di perumahan bisa sampai enam jam.
Sementara itu satu alat lagi bakal dipasang di kantor BPPT di Serpong dengan suplai listrik 32 KW. Karena suplai listriknya lebih kecil, durasi pengisiannya sekitar 2 jam.
Eniya mengatakan sumber energi alat pengisian mobil listrik di kantor BPPT nantinya tersambung dengan listrik PLN dan listrik dari solar cell. Komposisinya masih lebih didominasi listrik dari PLN. Sementara untuk perangkat serupa yang nantinya ditempatkan di Sumba, Nusa Tenggara Timur, seluruh sumber listriknya bakal menggunakan listrik dari solar cell.
Menurut Eniya pengisian energi cepat atau quick charging merupakan hasil riset BPPT dengan sejumlah perusahaan swasta. Pengisian listrik cepat itu juga dipengahuri dengan kesiapan baterainya. ’’Efeknya mungkin nanti panas saja di baterainya,’’ tutur dia.
Sementara itu Kepala BPPT Unggul Priyanto menuturkan BPPT bukan berkonsentrasi di unit mobil listriknya. ’’Tapi fokus pada baterai dan teknologi charging-nya,’’ katanya.
Unggul menuturkan persoalan besar mobil listrik selama ini ada di dua hal itu. Baterai mobil listrik di pasaran masih sangat mahal, meskipun sudah diproduksi dalam jumlah banyak. Kemudian juga lamanya pengisian tenaga listrik, juga menjadi persoalan sendiri.
Menurut Unggul penggunaan mobil listrik bisa menjadi tren dalam sepuluh sampai 15 tahun ke depan. Namun dia mengatakan listrik yang digunakan untuk tenaga mobil listrik masih bersumber dari batu bara. Artinya dari sumbernya masih menimbulkan persoalan polusi. Berbeda ketika sumber listrik yang digunakan dari nuklir atau energi terbarukan lainnya.
Menteri Perindustrian Airlangga Hartanto menyampaikan dukungannya terhadap keberadaan mobil listrik maupun motor listrik di Indonesia. Dalam paparannya dia menyampaikan pada 2020 nanti diharapkan persentase mobil listrik atau low carbon emission (LCE) dan motor listrik masing-masing mencapai 20 persen dari jumlah kendaraan yang ada. Kemudian meningkat menjadi 30 persen pada 2035 nanti.
Selain itu Airlangga juga berharap ada kebijakan soal pajak terkait masuknya mobil listrik. Diantaranya menghilangkan pajak bea masuk terhadpa mobil listrik. Saat ini rata-rata pajak bea masuk mobil listrik sebesar 30 persen. Dengan tidak adanya pajak bea masuk tersebut, mobil listrik diharapkan lebih terjangkau untuk masyarakat di Indonesia. ’’Volumenya juga bisa lebih banyak,’’ tuturnya. Kemudian berimbas pada keterlibatan industri dalam negeri terkati keberadaan mobil listrik tersebut. (Jawa Pos/JPG)