eQuator.co.id – JAKARTA –RK. PT Pertamina (persero) akhirnya menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) nonsubsidi menyusul melonjaknya harga minyak mentah dunia. Meski terbilang tinggi, kenaikan harga untuk pertamax dan dex series tersebut dinilai wajar. Juga, relatif lebih rendah jika dibandingkan dengan badan usaha lain.
Direktur Eksekutif Center of Energy and Resources Indonesia (CERI) Yusri Usman menyatakan, dibandingkan dengan produk BBM RON 92 milik badan usaha lain seperti Shell, Total, maupun AKR, harga jual pertamax masih lebih rendah. ”Kondisi keuangan Pertamina saat ini sangat memprihatinkan. Pemerintah Jokowi dan JK tidak boleh berdiam diri. Jangan hanya menjaga citra politik Jokowi sehingga mengorbankan kondisi kesehatan keuangan Pertamina,” ucapnya kemarin (2/7).
AKR Corporindo, Total, dan Shell memang menaikkan harga BBM sebelum Lebaran. Sedangkan Pertamina baru mengubah harga BBM RON 92 ke atas hampir dua pekan setelah Lebaran.
Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian ESDM Djoko Siswanto mengungkapkan, Pertamina telah meminta persetujuan pemerintah untuk menaikkan harga pertamax dan dex series. Pengajuan kenaikan harga yang dilakukan Pertamina hanya mencakup pertamax dan dex series. Tidak termasuk pertalite. ”Pertalite tidak diajukan (kenaikan harga),” terangnya.
Kenaikan harga pertamax dan dex series wajar dilakukan Pertamina untuk mengompensasi dikuncinya harga solar bersubsidi dan premium hingga akhir 2018 oleh pemerintah. Sebab, selisih harga jual BBM tersebut akan ditanggung Pertamina. Selain itu, Pertamina harus mendapat penugasan tambahan berupa kewajiban penyaluran premium di Jawa, Madura, dan Bali.
Kementerian ESDM juga baru saja mengeluarkan Peraturan Menteri ESDM Nomor 34 Tahun 2018 tentang Perhitungan Harga Jual Eceran BBM. Aturan itu merevisi Permen No 21 Tahun 2018. Dalam aturan baru tersebut, badan usaha hanya wajib melaporkan kepada menteri mengenai harga jual eceran BBM nonsubsidi. Aturan itu berlaku sejak diundangkan pada 22 Juni 2018. Menteri dapat memberikan persetujuan dengan pertimbangan situasi perekonomian, daya beli masyarakat, ekonomi riil, dan sosial masyarakat. Meski demikian, jika perubahan harga yang ditetapkan badan usaha tidak sesuai dengan aturan, menteri dapat mengintervensi dengan menetapkan harga jual eceran.
Anggota Komisi VII DPR Rofi’ Munawar memandang, saat ini masyarakat dihadapkan pada pilihan konsumsi BBM yang cukup berat. Sebab, secara faktual, alokasi BBM jenis premium semakin terbatas dan BBM nonsubsidi terus merangkak naik. ’’Jika kondisi ini terus berlangsung dalam kurun waktu tertentu, bukan tidak mungkin akan memicu inflasi dan mengakibatkan kenaikan sejumlah harga bahan pokok. Inflasi tidak langsung berupa kenaikan tarif transportasi dan logistik yang berdampak pada naiknya harga barang,’’ tuturnya. (Jawa Pos/JPG)