Rela Makan Tak Pakai Lauk, Asal Uang Kuliah Tercukupi

Kisah Penyandang Tunanetra Berusaha Jadikan Anaknya Sarjana

CITA-CITA. Khairani memiliki cita-cita agar agar anaknya jadi sarjana. SUTRISNO/Radar Banjarmasin
CITA-CITA. Khairani memiliki cita-cita agar agar anaknya jadi sarjana. SUTRISNO/Radar Banjarmasin

Meski memiliki keterbatasan, Khairani punya keinginan tinggi untuk menyukseskan anaknya. Sebagai tuna netra, pria 54 tahun ini hanya memiliki keahlian sebagai tukang pijat. Kini sedang berusaha menguliahkan anak semata wayangnya di Universitas Airlangga, Surabaya.

SUTRISNO, Banjarbaru

eQuator.co.id – Wartawan koran ini, baru-baru tadi bertemu dengan Khairani di Rumah Disabilitas Netra, di Jalan Trikora. Saat itu, dia datang bersama puluhan penyandang tunanetra lainnya untuk menerima bantuan rumah dari Pemko Banjarbaru di kompleks tersebut.

Dia mengaku bersyukur, akhirnya memiliki tempat tinggal tanpa harus membayar sewa. Sebab, selama ini dirinya mengontrak di Jalan Garuda, Landasan Ulin, dengan biaya sewa Rp450 ribu perbulan. “Kalau saya sudah tidak bayar kontrakan, uang yang saya kirim ke anak bisa lebih banyak,” katanya.

Setiap pekan, dirinya harus mengirim uang ke anaknya Muliana, 18, yang kini sedang kuliah di Universitas Airlangga, Surabaya jurusan hukum. Dia bersama istrinya Jamiah, 54, rela makan tanpa lauk asalkan keperluan putrinya tercukupi. “Untungnya, dia tinggal di asrama yang dibiayai pak walikota. Jadi, uang yang kami kirim hanya untuk makan dan bayar kuliah,” ungkap Khairani.

Ditambahkannya, jumlah uang yang dia kirimkan pun bervariasi setiap pekannya. Kadang sedikit, ada kalanya banyak. Sesuai dengan penghasilan yang dia dapatkan sebagai tukang pijat.

“Dalam sehari rata-rata saya mendapatkan satu orang pasien pijat. Ada yang ngasih saya Rp50 ribu, ada juga Rp70 ribu. Berapa pun yang saya dapatkan, saya hanya mengambilnya Rp20 ribu untuk belanja. Sisanya saya kirim untuk anak,” tambahnya.

Selain memiliki keahlian memijat, Khairani juga punya kemampuan memperbaiki alat elektronik. Seperti televisi dan kulkas. Melalui, kebisaannya itu dirinya bisa mendapatkan penghasilan tambahan. “Tapi jarang ada yang mau service, jadi pendapatan yang bisa diandalkan hanya dari pijat,” tuturnya.

Khairani sendiri sudah menjadi tukang pijat sejak berusia 20 tahun. Keahlian itu dia dapatkan dari orangtuanya. “Walau pendapatannya kecil, tapi selama ini cukup untuk menghidupi keluarga saya,” kata pria kelahiran Rantau, Kabupaten Tapin ini.

Melihat kondisinya saat ini, dirinya sebenarnya tidak yakin dapat menguliahkan anaknya hingga lulus. Apalagi anaknya baru kuliah semester empat. Namun, lantaran keinginannya melihat buah hatinya sukses sangat besar. Maka rasa pesimis itu dia singkirkan. “Yang penting usaha dulu, apapun hasilnya kita lihat nanti,” pungkasnya. (*/Radar Banjarmasin)