eQuator.co.id – PONTIANAK-RK. Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 20 Tahun 2018 tentang Penggunaan Tenaga Kerja Asing (TKA) telah ditandatangani Joko Widodo pada 26 Maret 2018. Perpres tersebut memicu pro-kontra di masyarakat.
Pengamat Hukum Internasional Universitas Tanjungpura (Untan) Pontianak, Muhammad Rafi Darajati SH MH mengatakan, Perpres itu memang sebuah dilema. Sebab bisa membuat tenaga kerja lokal tidak mendapat kesempatan kerja di negerinya sendiri. “Seharusnya penerimaan TKA itu dibatasi,” lugasnya kepada Rakyat Kalbar ketika ditemui di Fakultas Hukum Untan, Rabu (11/4).
Misalnya kata dia, keterampilan TKA itu harus di atas rata-rata. Selain itu, setidaknya bisa berbahasa Indonesia. “Ketika diterima semua (TKA), tenaga kerja kita tidak kedapatan. Harus dibatasi, diterima boleh saja, tapi difilter, tidak asal diterima saja,” tuturnya.
Rafi mejelaskan, pemerintah Indonesia harus membuat peraturan atau regulasi. TKA yang akan diterima harus memenuhi syarat dan ketentuan. “Misalnya di bidang tertentu seperti apa kriteria atau standar orang asing itu yang bisa diterima,” imbuhnya.
Era globalisasi memang hampir tidak ada satu negara pun menutup diri dari negara lain. Negara yang sudah maju pesat akan berinvestasi di negara berkembang, termasuk ke Indonesia. Melalui investor luar negeri yang masuk akan menciptakan lapangan perkerjaan di sebuah negara. Maka, tak terelakan lagi di negara tersebut menjadi serbuan TKA.
Menurut Rafi, globalisasi dan investasi memberikan dampak posistif dan negatif. “Breakdown-nya, banyak orang berkerja ke luar negeri,” ujarnya.
Secara legal, banyak Warga Negara Indonesia (WNI) berkerja di luar negeri. Begitu juga sebaliknya, ada juga WNA yang berkerja di Indonesia. Hukum Internasional mengatur ketika seorang WNA masuk ke sebuah negara untuk berkerja harus ada perlindungan hukumnya. Gaji, perlindungan hukum, asuransi dan kontraknya harus jelas. Sehingga tidak ada diskriminasi antara WNA dengan warga negara tersebut. “Jadi, tidak ada lagi yang namanya perbudakan,” jelasnya.
Dosen Hukum Internasional Fakultas Hukum Untan ini menjelaskan, ketika TKA berkerja di suatu negara, juga dilindungi hukum nasional di negara setempat. Indonesia misalnya, ada Peraturan Menteri mengenai ketenagakerjaan. Selain itu kata dia, ada pendampingan dari Kedutaan Besar (Dubes), Konsulat Jenderal (Konjen) ketika TKA itu terjerat kasus hukum. “Sehingga TKA itu merasa ada safety (keamanan). Begitu juga TKI yang berkerja di luar negeri ketika divonis hukuman mati di negera tempatnya berkerja,” tuturnya.
Di tingkat regional saja kata dia, pada 2015 lalu Indonesia sudah memasuki Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA). Maka Indonesia harus siapkan Sumber Daya Manusia (SDM)-nya mulai tingkat paling bawah, yaitu pelajar. “Pemerintah Indonesia harus mempersiapkan SDM mudanya sehingga bisa bersaing secara global, minimal bisa berbahasa Inggris, tidak gaptek atau menguasai teknologi,” pungkasnya.
Menurutnya, dengan SDM yang handal dan keterampilan yang dimiliki, para SDM Indonesia tidak hanya dipakai di negaranya. “Tetapi juga dipakai oleh negara lain,” ucapnya.
SDM Indonesia kata Rafi, harus diubah. Sehingga tidak bakal kalah dengan TKA dengan skill (keterampilan) tinggi, tapi upahnya bisa murah. “Tetapi sebaliknya buruh kita cuma tamat SMA, gaji tinggi,” sebut Rafi.
Dia berpendapat, sah-sah saja ada TKA di sebuah negara. Karena memang ada investasi di negara itu. Hadirnya TKA di Indonesia, tidak perlu ditakuti. Tapi bisa sebagai pemancing tenaga kerja lokal untuk bersaing. “Bukannya takut, bukannya mencibir dan sebagainya. Tapi kita harus belajar lagi meningkatkan skill kita, biar kita ngak kalah,” demikian Rafi.
Terpisah, Ketua Korwil Konfederasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (KSBSI) Kalbar, Suherman dengan tegas menolak terbitnya Perpres Nomor 20 Tahun 2018 tentang Penggunaan TKA.
“Karena sangat bertentangan dengan semangat Undang-Undang Ketenagakerjaan,” tegasnya menjawab Rakyat Kalbar, Rabu (11/4).
Menurutnya, sejauh ini pemerintah memang tidak melarang TKA masuk ke Indonesia. Asalkan seluruh prosedur dipenuhi. “Kalau ada skill tentu tidak menolak, tapi yang benar-benar ahli. Itupun harus ada pendampingan,” tukasnya.
Dijelaskannya, jika 1 orang TKA yang benar-benar ahli sesuai dengan amanat Undang-Undang Ketenagakerjaan, maka harus didampingi sepuluh pekerja lokal. “Kalau 10 tenaga ahli berati 100 tenaga lokal. Dengan demikian tenaga lokal akan terserap,” pungkasnya.
Sedangkan di Kalbar kata Suherman, terdapat banyak kasus. Terakhir, terjadi di Kota Pontianak. Ironisnya, tenaga kerja lokal dipecat TKA. “Di Pontianak belum lama ini ada 4 TKA, salah satunya sebagai HRD yang memecat tenaga kerja kita. Ini sangat tidak boleh,” ungkapnya.
Ditegaskannya, sejauh TKA tersebut datang dengan dokumen lengkap dan sesuai keahlian sebagaimana ketentuan, bisa saja diterima. Tapi kalau tidak ada skill, mesti ditolak. “Usir, deportasi saja mereka. Intinya kita menolak karena akan menimbulkan banyak pengangguran,” sebut Suherman.
Laporan: Ambrosius Junius, Gusnadi
Editor: Arman Hairiadi