Tujuh Dekade Pasif, Kini Menjadi Proaktif

Menuju Negara Normal, Jepang Menginterpretasi Ulang Konstitusi (1)

Shinzo Abe. jawapos.com

Pasal 9 Konstitusi Jepang mengharamkan perang sebagai jalan keluar konflik internasional dalam suatu negara. Konstitusi itu mulai berlaku 3 Mei 1947, setelah Perang Dunia II. Kini, sepertinya bakal ada perubahan.
INDRIA PRAMUHAPSARI, Surabaya

eQuator.co.id – Selama tujuh dekade, tidak pernah ada yang mengubah konstitusi tersebut, sampai Perdana Menteri (PM) Shinzo Abe mewacanakan amandemen menjelang akhir tahun lalu. Bagaimana tanggapan para pakar dan pengamat politik?

Kamis (22/3), Mie Oba PhD, dosen hubungan internasional Tokyo University of Science, menyampaikan pandangannya kepada wartawan Jawa Pos, Indria Pramuhapsari. Surabaya menjadi kota kedua yang dia singgahi di Indonesia dalam sosialisasi kebijakan luar negeri Jepang di Asia Timur.

Abe melontarkan amandemen saat ketegangan di Semenanjung Korea memuncak pada akhir tahun lalu. Apakah perubahan konstitusi pasifisme itu memang ada hubungannya dengan Korea Utara (Korut)?

Kata Oba, bisa ya, bisa tidak. Jika ditilik dari waktunya, mungkin memang wacana itu sengaja dilemparkan saat Asia cemas menghadapi ketegangan di Semenanjung Korea. Dan, itu cukup berhasil meningkatkan dukungan dari rakyat. Tiga dasawarsa lalu, wacana amandemen sudah pasti akan langsung ditolak. Tapi, kini tidak demikian.

Belakangan, semakin banyak yang menganggap bahwa amandemen konstitusi itu adalah hal yang realistis. Sebab, dengan meningkatnya ancaman keamanan di kawasan ini (Asia), Jepang juga perlu melakukan antisipasi. Namun, tentu saja, gagasan untuk mengamandemen konsitusi itu tidak serta-merta muncul karena ketegangan di Semenanjung Korea saja. Dibutuhkan waktu panjang untuk merencanakannya. Bukan hanya satu atau dua hari.

Sebagai pengamat politik, Oba pribadi lebih suka menyebut amandemen itu sebagai interpretasi ulang konstitusi. Dari konstitusi pasifisme yang benar-benar pasif menjadi konstitusi pasifisme proaktif. Dengan demikian, Jepang menjadi lebih tanggap terhadap ancaman keamanan yang bisa datang dari mana saja.

Kira-kira, jika amandemen itu nanti gol, apa saja yang akan berubah dari Jepang? Apakah kebijakan luar negeri juga akan terpengaruh?

Yang jelas, Jepang masih akan tetap menganut pasifisme. Sejarah telah mengajarkan banyak hal kepada bangsa Jepang. Trauma Perang Dunia II, sepertinya, tidak akan bisa sepenuhnya hilang. Maka, menjaga perdamaian tetap menjadi fokus pemerintahan Jepang.

Konstitusi melarang Jepang terlibat aktif dalam konflik bersenjata. Tapi, Jepang tetap boleh membela diri. Sejak 1951 pun, Jepang bersekutu dengan Amerika Serikat dan melakukan banyak kerja sama dalam bidang keamanan. Tapi, memang pihaknya berusaha keras menghindari perang dan tidak terlibat di dalamnya.

Jika amandemen konstitusi terjadi, Oba merasa Jepang akan tetap menjadi negara yang tidak jauh beda dari sekarang. Sebab, amandemen itu tidak bertujuan menjadikan Jepang sebagai negara militer atau negara yang suka perang. Melainkan, menjadikan Jepang sebagai negara yang normal. Negara yang sama dengan tetangga-tetangganya di Asia. Punya hak dan kewajiban keamanan yang sama.

Bagaimana dengan anggaran pertahanan? Ada penambahan?

Hmm. Anggaran militer ya? Sebenarnya, tahun ini pun anggaran pertahanan Jepang meningkat. Setiap tahun memang demikian. Oba rasa, jika nanti memang terjadi perubahan konstitusi, anggaran pertahanan akan naik, tapi dalam porsi yang wajar. Sepertinya tidak akan jauh beda dengan kenaikan yang selama ini terjadi.

Meski ada sebagian legislator yang menginginkan kenaikan anggaran pertahanan dalam jumlah signifikan, pemerintah tidak akan dengan mudah meloloskannya. Sebagaimana diketahui bersama, Jepang adalah negara yang populasi lanjut usianya sangat besar. Itu menjadi masalah utama. Maka, alokasi anggaran terbesar akan tetap ke sana. Kalangan lanjut usia dan kesejahteraan masyarakat akan selalu menjadi prioritas pemerintah. (Jawa Pos/JPG/bersambung)