Impor Beras Resahkan Petani Sambas

Panen Raya Kesulitan Jual Gabah

#SAVE PETANI. Salah seorang petani di Desa Serunai Kecamatan Salatiga Kabupaten Sambas Armida menyampaikan pesan kepada pemerintah bahwa mereka menolak impor beras, Minggu (21/1). Warga for RK

eQuator.co.idSAMBAS-RK. Keputusan Kementerian Perdagangan untuk mengimpor beras membuat banyak petani kecewa. Rasa tidak puas itu diantaranya datang dari para petani di Kabupaten Sambas.

Armida, salah seorang petani di Desa Serunai Kecamatan Salatiga Kabupaten Sambas mengungkapkan, kebijakan pemerintah yang ingin mengimpor beras akan berefek buruk kepada petani. Ia dan rekan-rekannya resah.

“Pasti itu nanti berdampak kepada beras lokal kami,” ujarnya, Minggu (21/1).

Kekhawatirannya tentu saja sangat beralasan. Pasalnya, di desa mereka saat ini sedang panen raya.

“Untuk sekarang saja, kami kesusahan untuk menjual gabah,” ungkap Armida.

Dia berharap pemerintah mengurungkan niat untuk membeli beras dari luar negeri. Seharusnya, kata Armida, pemerintah membantu menaikkan harga beras lokal, sehingga lebih menguntungkan petani.

“Pikirkanlah juga nasib petani. Jangan sampai impor beras membuat hasil padi kami harganya bisa turun lagi dari yang sebelumnya,” pintanya.

Sementara itu, Sekretaris Generasi Penggerak Pertanian Kabupaten Sambas, Juliadi mengatakan, informasi tentang impor beras itu sudah terdengar oleh petani. Sudah tentu dapat dipastikan, para petani di Kabupaten Sambas sangat menolak kebijakan impor beras tersebut.

“Karena kebijakan tersebut bukan untuk mensejahterakan petani, tetapi malah merugikan petani,” jelasnya.

Mantan aktivis Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) ini  menuturkan, Kabupaten Sambas merupakan daerah lumbung pangan terbesar di Kalbar. Terlebih saat ini petani sedang melakukan panen raya. Tentunya berencana impor beras, pikirkan dulu petani dalam negeri. Bantu pemasarannya, jangan malah sibuk memikirkan mendatangkan beras dari negara lain.

“Negara kita yang kaya akan sumber daya alam ini, contohnya seperti hasil padi, karet, jagung dan hasil lainnya tidak di pertimbangkan oleh pemerintah membantu masalah harganya,” tutur Juliadi.

Ia menyarankan pemerintah daerah menolak kebijakan yang bukan pro rakyat ini. Karena di beberapa daerah secara tegas sudah menyatakan menolak impor beras dalam jumlah yang sangat besar tersebut.

YANG DIIMPOR SEGERA DATANG

Namun, rawe-rawe rantas malang-malang putung. Kendati banyak sorotan, rencana impor beras tak akan terbendung. Sudah di depan mata.

Padahal, versi para penolak impor beras menyebut stok beras di tanah air melimpah dan masih cukup dalam tempo dua bulan. Selain itu, impor beras tersebut bertepatan dengan momen panen para petani. Rencana impor pun dituding hanya menguntungkan kalangan importir.

Spekulan mengeruk untung di tengah kesulitan yang mencekik masyarakat. Impor beras dari Vietnam dan Thailand itu diklaim tidak cukup punya landasan kuat. Karena itu, impor besar khusus itu harus dibatalkan.

Hanya saja, pemerintah tetap bersikukuh kalau impor beras sebuah keniscayaan. Sebagai tindak lanjut keseriusan itu, Kementerian Perdagangan (Kemendag) menunjuk Perum Bulog untuk melakukan impor. Meski mendapat tentangan keras, impor beras 500 ribu ton, bakal mendarat di pengujung Januari ini.

Ketua Umum Koperasi Pasar Induk Beras Cipinang Zulkifly Rasyid mengambil posisi mendukung pemerintah. Mendukung penuh rencana pemerintah mendaratkan 500 ribu ton beras dari Thailand dan Vietnam. Pasalnya, harga beras terus membengkak. Berdasar harga eceran tertinggi (HET), beras medium ditetapkan sebesar Rp 9.450 per kg. Lalu, harga beras premium bertengger di kisaran Rp 12.800 per kg.

Tapi, yang tersaji di lapangan, harga berlaku di pasar-pasar bukan berdasar HET. Banderol beras baik medium dan premium terus merangkak naik. Harga beras medium ditransaksikan di levelRp 11 ribu per kg dan premium sekitar Rp 13.500 per kg.

”Ini berbahaya kalau tidak segera melakukan impor beras. Harga beras itu bisa mencapai Rp 15 ribu per kg,” tutur Zulkifly, ketika dihubungi INDOPOS (Jawa Pos Group) di Jakarta, pekan lalu.

Zulkifly melanjutkan, saat ini para pedagang tengah kelimpungan. Harga beras terus merangkak dipasaran. Betul bilang Zulkifly, pemerintah melakukan operasi pasar (OP). Namun, operasi pasar itu tidak menyelesaikan masalah. Yang paling menjengkelkan, saat operasi digelar, masyarakat disuguhi beras untuk orang miskin (raskin) dengan kualitas di bawah standar. ”Masa masyarakat diberi beras tidak layak untuk dikonsumsi,” ucapnya.

Sejatinya, kata Zulkifly, impor beras itu tidak merugikan masyarakat. Dengan catatan dilakukan pemerintah dalam hal ini adalah Bulog. Kalau Bulog yang melakukan tanpa melibatkan swasta, kemungkinan impor beras diselewengkan dan menuntungkan pihak-pihak tertentu tidak bakal terjadi.

”Makanya, biar pemerintah yang melakukan. Kalau Bulog yang bergerak pemerintah akan mendapat keuntungan,” ujarnya.

Idealnya, ia menyebut, impor beras dilakukan dua bulan sebelum masa panen. Itu penting saat, terjadi kelangkaan beras dipasaran, pemerintah bisa melakukan stabilisasi untuk menghindari harga beras menanjak menyusul stok beras menipis. Nah, yang terjadi saat ini, harga menanjak, sementara stok beras di gudang Bulog justru tidak ada.

”Data Kementerian Pertanian (Kementan) stok beras melimpah itu tidak benar. Buktinya, harga beras terus bergerak naik,” tukasnya.

Hanya sayangnya, saat ditanya soal stok beras di pasar induk Cipinang, Zulkifly tidak mau membeber data. Kemungkinan kekosongan pasokan beras hingga beberapa bulan ke depan, juga tidak bisa dijawab.

Namun, stok beras disebut-sebut tersedia 950 ribu ton. Stok beras itu diprediksi cukup untuk dua bulan ke depan.

”Pemerintah mengklaim begitu. Makanya, sebelum habis, impor beras dilakukan pemerintah,” tutur Mantan Kepala Bulog Rizal Ramli.

Sejatinya, Rizal bilang, impor itu bisa dibatalkan. Dengan catatan, Bulog secara  aktif melakukan manajemen stok beras dengan profesional. Namun, selama ini, Bulog telah gagal menjalankan tugas untuk menyerap gabah dari para petani. Tahun lalu, Bulog hanya sukses menyerap 58 persen dari total 2-2,5 juta ton beras.

”Tindakan semacam ini bisa merusak citra pemerintah. Makanya, para pembantu presiden harus bekerja dengan benar,” ucapnya.

Setelah beras, dalam waktu dekat, pemerintah akan mengimpor daging kerbau untuk menutupi kebutuhan nasional. Direktur Pengadaan Bulog, Adrianto Wahyu Adi mengatakan, rencana impor 100 ton daging kerbau dari India itu dikeluarkan dalam rakortas Kemenko Perekonomian pada 20 November 2017.

“Memang ada rencana (impor), tapi rekom dari kementerian belum terbit,” kata Adrianto kepada Jawa Pos kemarin (21/1).

Rekomendasi impor itu, lanjut dia, dikeluarkan Kemendag yang diteruskan pada Kementerian BUMN yang akan menugasi Perum Bulog. Impor akan dilakukan secara bertahap pada awal 2018. Tujuan impor adalah menghindari lonjakan harga daging. Per 19 Januari 2018, stok daging sapi di gudang Bulog masih 10.800 ton.

Dengan asumsi kebutuhan 6.000 ton per bulan, stok itu terbilang masih cukup. Namun menjelang Idul Fitri pada pertengahan tahun, stok dikhawatirkan menipis.

“Menjelang hari raya dikhawatirkan harga akan naik,” kata Adrianto. Dia menjamin pemerintah tidak akan melakukan impor daging sapi. Daging kerbau akan dilepas ke pasaran dengan harga Rp. 80 ribu per kilogram.

Tujuannya adalah menciptakan alternatif konsumsi daging bagi masyarakat. Memang peminatnya belum banyak. Tapi dia yakin bertahap masyarakat akan beralih.

“Secara otomatis nanti harga daging sapi ikut stabil, seberapa jauh masih kami teliti,” katanya.

Namun, rencana itu diprotes peternak. “Seperti tahun lalu, kebijakan impor daging kerbau terbukti banyak mudharatnya daripada manfaatnya,” kata Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Perhimpunan Peternak Sapi dan Kerbau Indonesia (PPSKI) Teguh Boediyana.

Menurut Teguh, mahalnya harga daging sapi lokal adalah kesalahan pemerintah sendiri. Pemerintah dinilai gagal mewujudkan swasembada daging sapi.

“Program swasembada daging sapi 2010 dan dilanjut 2014 telah gagal,” katanya.

Implikasinya adalah 50 persen pemenuhan daging sapi (setara 250 ribu ton) harus diimpor. Karena harus diimpor, harga daging dipengaruhi nilai tukar rupiah terhadap dolar dan harga internasional.

Menurut Teguh, sangatlah tidak adil kegagalan pemerintah sekarang ditimpakan kepada peternak sapi dan kerbau lokal, dengan cara mengimpor daging yang murah. Selain itu, kebijakan impor daging ruminansia dari negara atau zona yang  belum bebas Penyakit Mulut dan Kuku bertentangan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi.

“Kalau ngomong keadilan, kebijakan impor daging kerbau dengan alasan harga murah, maka kebijakan tersebut harus diterapkan pula untuk komoditas pertanian lain seperti beras, jagung  dan lain-lain yang harganya lebih murah dibandingkan dengan produksi dalam negeri,” paparnya.

Keputusan dibukanya keran impor ini, menurut pengamat pertanian, Said Didu, terlambat. Beras contohnya. Masa panen paling tidak akan terjadi bulan Februari. Beras baru akan masuk pasar pada Maret.

“Seharusnya diimpor sejak September tahun lalu,” katanya. Namun, karena pemerintah terlanjur berjanji untuk tidak impor beras pada tahun 2018, maka kebijakan impor terlambat diambil.

Kesalahan pemerintah paling mendasar, lanjut Said, adalah menetapkan indikator kesuksesan pengelolaan pangan dengan kondisi tanpa impor. Akibatnya, kondisi pasar sangat reaktif saat mendengar kebijakan impor.

“Nggak mungkin (tidak impor), pada suatu kondisi kita harus impor, itu hal yang biasa,” terang dia.

Seharusnya, ia melanjutkan, indikator keberhasilan pangan adalah kesejahteraan petani/peternak dan kestabilan harga. “Makanya kalau ada calon Presiden berjanji untuk tidak impor, saya nggak percaya,” tutur Said. Tambahnya, “Makanya, urusan pangan itu jangan dijadikan komoditas politik, akhirnya salah menentukan indikator”.

 

Laporan: Sairi, INDOPOS, Jawa Pos, JPG

Editor: Arman Hairiadi