Media Sosial Bukan Media Pers

Safari Jurnalistik Dewan Pers-PWI 2017

PELATIHAN JURNALISTIK. Wartawan cetak, online, televisi dan radio serta pers kampus mengikuti pelatihan jurnalistik yang diselenggarakan Dewan Pers-PWI di Hotel Aston Pontianak, Senin (16/10). RIZKA NANDA

eQuator.co.idPontianak-RK. Dewan Pers Indonesia dan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) menggelar Safari Jurnalistik 2017 sesi II. Pelatihan diikuti wartawan media cetak, online, televisi dan radio serta pers kampus. Tujuannya meningkatkan kualitas dan profesionalitas wartawan.

Ketua Bidang Pendidikan PWI Marah Sakti Siregar mengatakan, PWI pusat memiliki banyak program berbasis pendidikan. “Maka kami bersungguh-sungguh (memberikan pendidikan). Karena kebanyakan kantor media jarang sekali mengadakan pendidikan untuk SDM,” ujarnya di Hotel Aston, Senin (16/10).

Menurut Marah Sakti, perkembangan teknologi dan informasi serta perkembangan sosial terus berpacu. Sehingga penyampai informasi publik tidak sepenuhnya dikuasai wartawan. Semua bisa dilakukan siapa saja, asalkan dia punya gadget dan media sosial.

Situasi seperti ini, perkembangan media sosial menjamur. Masyarakat malah dibingungkan dengan banyaknya informasi.

“Jadi yang mana informasi yang patut dipercayai dan mana yang tidak, membuat masyarakat bingung. Itulah tantangan wartawan jaman sekarang,” ungkapnya.

Dia menegaskan, media sosial bukan media pers, karena tidak dilindungi undang-undang Pers. Sedangkan media pers dilindungi karena harus tunduk dan patuh pada kode etik serta kaidah jurnalistik.

“Wartawan sekarang ada yang abal-abal dan amatir. Nah, kami sekarang ingin mengangkat dan memperkenalkan wartawan yang profesional,” tutur Marah Sakti.

Di tempat yang sama, Ketua Komisi Bidang Pendidikan Anggota Dewan Pers Indonesia Hendry Ch Bangun menuturkan, pelatihan ini merupakan satu diantara konstribusi dari Dewan Pers. Tujuannya meningkatkan kualitas wartawan di Indonesia. “Agar tahu apa itu cetak, online, televisi atau radio semakin lama semakin meningkat,” kata Hendry.

Pelatihan ini dikhususkan kepada wartawan yang tergabung dalam organisasi profesi wartawan yang terdata di Dewan Pers. Selain PWI, konstribusi serupa juga diberikan kepada Aliasi Jurnalis Indonesia (AJI), Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) dan oraganisasi profesi wartawan lainnya.

“Selain itu, Dewan Pers juga akan melakukan verifikasi media yang ada pada Desember 2018 nanti. Supaya masyarakat mendapat informasi jelas sesuai kode etik dan kaidah jurnalistik,” tegasnya.

Hendry juga menegaskan, verifikasi faktual perusahaan pers sangat penting. Verifikasi faktual perusahaan guna menjamin masyarakat mendapat informasi berkualitas dari perusahaan pers kredibel.

“Ibaratnya kalau mau makan itu enak dan aman. Jadi nanti masyarakat bebas memilih. Kalau dia mau pilih perusahaan pers terverifikasi boleh. Kalau mau berhubungan dengan yang tidak terverifikasi juga sah-sah saja. Tapi tanggung sendiri akibatnya,” ungkapnya.

Kendati demikian, Hendry memastikan perusahaan pers terverifikasi punya nilai lebih dibandingkan yang tidak terverifikasi. Beberapa nilai lebih itu diantaranya media terverifikasi dipermudah menjalin kerjasama dengan lembaga pemerintah dan swasta.

“Wartawan media terverifikasi diprioritaskan untuk mendapat akses informasi. Selain itu, media terverifikasi dilayani dalam kasus sengketa pers yang ditangani Dewan Pers,” jelas dia.

Hendry memaparkan empat poin pertimbangan yang harus dipenuhi oleh perusahaan pers saat verifikasi faktual. Jika keempat poin ini dipenuhi, otomatis perusahaan pers lolos dan terverifikasi. Beberapa poin pertimbangan verifikasi faktual, pertama: status perusahaan pers harus berbadan hukum Indonesia. Tidak boleh lagi CV namun PT, Yayasan dan Koperasi.

“Perusahaan pers berbentuk PT sangat dianjurkan. Penanggungjawab wartawan utama. Dia juga mencantumkan nama alamat dan penanggungjawab,” katanya.

Alamat jelas sangat penting, sehingga ketika masyarakat mau komplain, masyarakat tahu dan tidak kesulitan menyampaikan pengaduan.

“Dari sekian ribu perusahaan pers, baru 78 media yang terverifikasi. Verifikasi pernah dimulai ketika ada Piagam Palembang saat peringatan Hari Pers Nasional (HPN) tahun 2010. Namun macet karena sesuatu hal,” ujar Hendry.

Kedua, kode etik. Media wajib taat pada kode etik. Misalnya tidak menerima suap. Peraturan perusahaan harus menegaskan pengelolaan sesuai kode etik. Ketiga, standar perlindungan wartawan. Wartawan bekerja dilindung Undang-Undang Pers.

“Pemilik media tidak boleh mengintervensi pemberitaan dan harus bebas kepentingan. Ada undang-undangnya itu. Bisa dipelajari. Pemilik media tidak boleh mengatur atau menahan news room,” tegasnya.

Keempat standar kompetensi, yakni Uji Kompetensi Wartawan (UKW). Sertifikat kompetensi ada tingkatan diantaranya Utama bagi Redaktur Pelaksana ke atas, Madya bagi redaktur dan Muda bagi reporter. Sumber Daya Manusia wartawan harus berkualitas, karena media punya kemampuan mempengaruhi dan membentuk opini publik.

“Jadi, semua harus profesional. Baik dari perusahaan pers, wartawan, pemilik dan berbagai poin lainnya,” tegas Hendry.

Laporan: Rizka Nanda
Editor: Hamka Saptono