Suu Kyi Memang Bukan Nelson Mandela

DEMO ROHINGYA. Masyarakat Profesional Bagi Kemanusiaan Rohingya gelar aksi di depan Kedubes Myanmar, di Jakarta, Sabtu (2/9). Mereka memprotes pembantaian terhadap kaum Rohingya di Myanmar dan mendesak Aung San Suu Kyi menghentikan kekerasan dan pembantaian terhadap kaum Rohingya. Miftahulhayat-Jawa Pos

Saat ribuan warga Rohingya jadi korban persekusi tiada henti, Aung San Suu Kyi malah menyoroti biskuit bantuan kemanusiaan. Sikap dan tindakannya bertolak belakang dengan pidatonya saat menerima Nobel Perdamaian.

***

eQuator.co.id – BUKAN main cemasnya Brenda Mazibuko. Apartheid memang telah berakhir. Tapi, kebencian dan kesalingcurigaan antara kulit hitam dan putih di Afrika Selatan (Afsel) masih sangat tinggi.

Dalam kondisi gesekan fisik setiap saat bisa terjadi, sang presiden baru, Nelson Mandela, malah menunjukkan dukungan terbuka kepada tim rugbi Afsel. Padahal, Springbooks, demikian julukan tim tersebut, selama ini jadi simbol supremasi kulit putih.

”Anda mempertaruhkan modal politik Anda. Anda mempertaruhkan masa depan Anda sebagai pemimpin,” kata Mazibuko yang bertindak sebagai kepala staf memperingatkan.

Tapi, seperti bisa disaksikan di film Invictus, Mandela merespons kekhawatiran tersebut dengan tenang. ”Hari ketika saya merasa cemas terhadap apa yang kamu katakan itu adalah hari di mana saya tak pantas lagi menjadi pemimpin.”

Di hari-hari ketika puluhan ribu etnis Rohingya harus mengungsi karena tak tahan terus-menerus jadi korban kekerasan di kampung halaman sendiri, semua sadar kini, Aung San Suu Kyi ternyata memang bukan Nelson Mandela. Penasihat negara Myanmar itu ternyata bukan pemimpin yang berani mengambil risiko demi kepentingan yang jauh lebih agung. Untuk bangsanya. Untuk kemanusiaan.

Padahal, sudah lebih dari 400 orang tewas akibat kebrutalan militer Myanmar kepada etnis Rohingya di Negara Bagian Rakhine sejak 25 Agustus. Itu versi pemerintah. Angka sebenarnya di lapangan bisa jauh lebih tinggi lagi.

Itu belum korban pemerkosaan, pembakaran rumah, dan yang harus mengungsi. Itu baru di tahun ini. Belum termasuk korban kekerasan serupa pada 2012. Belum di era 1990-an. Atau 1980-an. Atau 1970-an…

Begitu panjang jejak kekerasan kepada Rohingya, etnis muslim yang turut memperjuangkan kemerdekaan Myanmar, sebuah negara yang sebagian besar penduduknya memeluk Buddha, itu. Tak heran kalau PBB menyebut kaum tanpa kewarganegaraan tersebut sebagai kalangan minoritas yang paling sering jadi korban persekusi.

Dan, apa yang dilakukan Daw Suu, si mantan aktivis prodemokrasi itu, di hadapan kekerasan tiada henti tersebut? Diam. Atau, kalaupun bersuara, yang dia persoalkan justru biskuit dari World Food Programme untuk mereka yang terdampak tragedi kemanusiaan tersebut.

”Staf-staf INGO (international non-governmental organization atau organisasi non-pemerintah internasional) membantu teroris yang bersembunyi di Desa Taungbazar, Rakhine. Biskuit World Food Programme (WFP) kami temukan di sana,” tulisnya di akun Facebook State Counsellor Office of Information Committee itu.

Yang terjadi kemudian, pemerintah Myanmar menghentikan distribusi biskuit berenergi dari WFP. Akibatnya, sekitar 800.000 balita kurang gizi yang selama ini menjadi sasaran utama biskuit tersebut terpaksa mengonsumsi makanan seadanya.

Bukan hanya itu, sejak akhir pekan ini, seluruh bantuan makanan untuk korban aksi sektarian di Rakhine juga distop. Total 250.000 orang terancam kelaparan.

Padahal, masih terngiang benar kata-kata indah perempuan 72 tahun itu di penganugerahan Nobel 2012. ”Di mana ada penderitaan yang diabaikan, di sana akan tumbuh bibit-bibit konflik. Sebab, penderitaan selalu melahirkan amarah, kebencian, dan kehancuran.”

Masih terngiang pula lirik menyentuh U2 dalam Walk On yang ditujukan kepada Suu Kyi semasa masih menjadi tahanan rumah junta militer. Ketika keinginan Suu Kyi menjadikan Myanmar sebagai rumah terus-menerus ditampik pihak penguasa.

Home, hard to know what it is if you’ve never had one//Home, I can’t say where it is but I know I’m going home.

Kini, ketika kekuasaan sudah di tangan, ditandai dengan kemenangan gemilang partainya (Liga Nasional untuk Demokrasi) pada Pemilu 2015, dan kursi penasihat negara, jabatan yang lebih tinggi daripada presiden, mengapa dia melakukan kekejaman yang sama dengan junta dulu? Dengan menolak memberikan ”rumah” kepada Rohingya?

“Dia tak perlu bersuara. Sikapnya sudah jelas, anti-Rohingya,” kata Matthew Smith, juru bicara Fortify Rights, kelompok pemerhati hak asasi manusia yang berbasis di Asia Tenggara.

Menurut Smith, beberapa foto dan status yang diunggahnya melalui Facebook pada Minggu (27/8) jadi bukti. Semuanya berupa pembelaan terhadap kebijakan pemerintah di Rakhine.

”Sentimen negatif terhadap para staf PBB yang bergerak di bidang kemanusiaan itu memperkeruh situasi (Myanmar, Red) yang sudah parah,” kata Smith.

Lalu, apa yang melatari sikap Suu Kyi dalam perkara Rohingya? Kekhawatiran atas tekanan dari mayoritas yang bisa membuat suara partainya amblas? Mungkin. Ketakutan atas ketidakstabilan Myanmar jika dia memihak minoritas? Bisa jadi.

Apa pun itu, di hadapan tragedi kemanusiaan, diam semestinya bukan opsi. Sebab, di atas segalanya adalah kemanusiaan. Dan, kemanusiaan semestinya melampaui sekat etnisitas, agama, apalagi kepentingan politik.

Sayang, memang Suu Kyi bukan Mandela yang memilih menyatukan bangsanya, apa pun risikonya. Suu Kyi memilih bersembunyi di ”rumah” yang telah ditemukannya. Tanpa peduli darah terus mengucur di halaman. Nyaman di rumah yang justru, mengutip lanjutan lirik U2 dalam Walk On, where the hurt is!

Semoga Ibu Saya

Masih Selamat

Sementara itu, tak ada lagi kiriman foto dan video untuk Hussein Johar dari kampung halaman. Bahkan, sekadar kabar pun nihil. Maklum, Maungdaw, kampung halaman pria Rohingya itu yang terletak di Negara Bagian Rakhine, Myanmar, tengah diblokade ketat militer. Ketahuan berkomunikasi dengan telepon seluler, risikonya bisa fatal sekali.

’’Biasanya saya kirim foto dan pesan lewat WhatsApp,” tutur pria 31 tahun yang berstatus pengungsi dan menempati Apartemen Sederhana Puspa Agro, Sidoarjo, Jawa Timur, itu kemarin (2/9).

Yang biasa dikontak Hussein adalah adiknya, Mohamad Juhar, 22, dan ibunya, Halima, 55. Dia berkomunikasi minimal seminggu sekali. Entah itu sekadar mengirim pesan ataupun menelepon. ”Semoga ibu saya masih selamat. Sampai sekarang saya coba hubungi, tapi tidak bisa,” lanjutnya.

Sebelum putus hubungan dengan keluarga, Hussein sempat mendapatkan video dan foto yang menggambarkan tragedi di kampung halaman. Rumah-rumah dibakar. Dan, banyak warga harus mengungsi.

Bahkan, dalam salah satu video berdurasi tiga menit yang dia tunjukkan kepada Jawa Pos, terdengar berondongan peluru yang akhirnya membuat warga suatu kampung berlarian ke luar rumah. Menuju ke pematang sawah dan masuk menuju semak belukar yang dipenuhi pepohonan.

Ada 13 pria Rohingya yang berada di Aparna Puspa Agro dan mengantongi kartu pengungsi dari United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR). Mereka sudah berada di tempat tersebut lebih dari tiga tahun.

Hidup di pengungsian dan tak bisa berkirim kabar dengan keluarga di rumah yang tengah dalam tekanan penguasa tentu saja sangat membuat hati mereka berkecamuk. ”Dulu rumah kami diambil, motor kami diambil, orang-orang dipukuli, dan sekarang orang-orang mulai ditembaki dan dibunuh. Kami salah apa?” kata Mohammad Suaib, rekan sesama pengungsi Hussein.

Suaib mengaku putus komunikasi dengan keluarganya di Maungdaw sejak 25 Agustus lalu. Menurut dia, yang terjadi saat ini di Rakhine merupakan peristiwa terparah sejak dia meninggalkan Myanmar pada 2005.

Baik Hussein maupun Suaib mengaku sangat kecewa dengan sikap Penasihat Negara Aung San Suu Kyi yang seolah menutup mata atas penindasan kepada etnis Rohingya. Padahal, dahulu, Nobelis Perdamaian itu begitu getol menyuarakan hak warga negara dan demokrasi. Khususnya terhadap etnis mayoritas di Myanmar yang tertindas.

”Sekarang sudah dapat Nobel, dia malah diam. Semua orang di sini (pengungsi di Aparna Puspa Agro) dan di rumah saya kecewa,” ungkapnya.

Ketika Suu Kyi diangkat menjadi penasihat negara, kekerasan memang sempat mereda. Tapi, tak berselang lama, kebrutalan terhadap etnis Rohingya kembali memuncak. Bahkan, untuk pergi ke luar sekolah dan keluar dari kota, mereka harus mengantongi surat dari pemerintah setempat. ’’Tuara zaogoi iyan tuarar desh no (Kalian pergi sana, ini bukan negara kalian, Red),” kata Suaib ketika mengingat umpatan yang pernah dia terima dari pemerintah setempat.

Mereka berharap dunia segera bergerak bersama untuk menolong warga Rohingya. Mereka juga masih menyimpan mimpi bisa pulang lagi ke kampung halaman. Tentu dalam kondisi yang sudah kondusif. ’’Kami salah apa? Kami makan di tanah yang sama, punya mata dan warna kulit yang sama,” kata Suaib. (Jawa Pos/JPG)