Kawasan Uji Nasionalisme

Mengunjungi Temajok-Telok Melano, Tapal Batas Indonesia-Malaysia

UJUNG INDONESIA. Jalan menuju Kampung Telok Melano, Sarawak, Malaysia, dilihat dari Desa Temajuk, Sambas, Indonesia. Di belakang bukit sudah negara Malaysia, Rabu (16/8). Sairi-RK

Warga Indonesia yang tinggal di tapal batas dengan Malaysia hidup sungguh bersahaja. Selama puluhan tahun, minim perhatian dari pemerintah. Buktinya, jangankan listrik, akses jalan yang baik pun belum tentu ada. Namun, di sana lah nasionalisme diuji sepenuhnya.

Sairi, Sambas

eQuator.co.id – Ya, sebaiknya tak usah mengaku punya nasionalisme tinggi hanya karena mampu kibarkan Merah-Putih di halaman rumah. Atau pamer foto ikut upacara 17-an di Facebook pada hari kemerdekaan Indonesia. Apalagi, kalau tinggalnya di kawasan metropolitan seperti Pontianak yang segala fasilitasnya telah dibangun pemerintah.

Sebab, Anda akan ditertawakan saudara-saudara kita, sebangsa se-tanah air, yang berdiam di beranda Negara. Salah satu kawasan di tapal batas Indonesia-Malaysia yang kurang diperhatikan pemerintah tersebut adalah Desa Temajuk, Kecamatan Paloh, Kabupaten Sambas.

Desa itu di sebelah timurnya berbatasan langsung dengan Kampung Telok Melano, Sarawak, Malaysia. Di sebelah utaranya terbentang luas Laut Natuna.

Salah seorang warga Desa Temajuk, Arman menyebut, jika sering hujan, masyarakat di sana berbelanja ke Malaysia. “Warga di sini tergantung keadaan cuaca. Kalau cuaca kurang bagus, berbelanja beras, gula, dan minyak goreng di Kampung Teluk Melano. Untuk masyarakat di Temajuk sini ndak dilarang, kalau warga luar ndak boleh,” tuturnya kepada wartawan, Rabu (16/8).

Itu sebabnya dua mata uang digunakan di sana. “Ringgit boleh, Rupiah pun boleh kalau belanja di warung sana, boleh semua,” sambung pria berusia 50 tahun itu.

Timbal balik terjadi antara warga Desa Temajuk-Kampung Telok Melano. Tak hanya warga Temajuk yang berbelanja ke Telok Melano, ada pula warga jiran tersebut yang membeli mi instan atau kopi sachet di Temajuk.

Tapi, kalau cuaca bersahabat, warga Temajuk lebih memilih untuk shopping ke Ibu Kota Kecamatan Paloh. Padahal jarak tempuhnya sejauh 44 kilometer dengan kondisi jalan belum baik, sehingga jarak tersebut harus ditempuh dalam sekitar tiga jam perjalanan. Sebagai informasi tambahan, jarak Ibu Kota Kecamatan Paloh dengan Kota Sambas sekitar 40 kilometer.

“Untuk hasil bumi, kita termasuk jarang keluar ke Malaysia, lebih banyak malah dari hasil karet yang dijual ke Indonesia. Kalau kebun karet di Telok Melano sana punya mereka, tapi warga Indonesia yang bekerja ambil upah di sana, jualnya di Indonesia,” ujar Arman.

Petani lada itu sendiri mengaku belum mengecap hasil kemerdekaan seutuhnya. Pasalnya, sejumlah kebutuhan masyarakat setempat yang urgen tak kunjung dipenuhi sejak Indonesia tak lagi dijajah. Diantaranya air yang layak untuk digunakan, setrum dari PLN, dan infrastruktur jalan.

“Listrik belum merdeka, air bersih kami juga belum ada, dan yang terutama lagi adalah jalan yang belum sampai pembangunannya di sini. Jalan yang sekarang ini menurut kami yang paling sulit,” tuturnya.

Listrik di Temajuk hanya menyala di kala malam. Sebenarnya, sumber air untuk Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) sudah ada. Selama ini, sumber air itu dimanfaatkan warga perkampungan sebelah untuk listrik. Pun dengan catatan iklim memasuki musim penghujan.

“Kalau musim kemarau tidak ada listrik di kampung mereka, paling air saja yang mereka punya. Kalau ada yang mampu, mereka pakai listrik tenaga surya (solar cell). PLTA yang terbangun di sana pun swadaya masyarakat di sana,” ungkap Arman.

Dengan segala keterbatasan tersebut, ia tak segan mengatakan, tak akan menolak jika sewaktu-waktu pemerintah Malaysia menginginkan dirinya berpindah kewarganegaraan. “Kalau kami ditawarkan menjadi warga Malaysia, jelas-jelas mau lah, sebab ekonomi Malaysia lebih bagus dari pada kita di sini, masyarakatnya diperhatikan pemerintahnya, semua kena kasih, semua pun terjamin,” tegasnya.

Senada, warga Temajuk lainnya, Maulana. Ia dan masyarakat setempat lainnya sudah sejak lama mengidam-idamkan kehadiran listrik dari Negara dan infrastruktur jalan yang baik.

“Jalannya kan masih rusak, kami mau ke kampung sana (sebelah) jalan masih rusak. Kalau jalan bagus, kalau kami mau ke Pontianak kan enak, ke Singkawang enak, ke Sambas enak,” tuturnya.

Imbuh Maulana, ”Kalau listriknya ada, warga pun juga betah tinggal di sini, kalau siang ndak ada listrik bagaimana mau mengecas HP atau mau menonton berita di TV? Tidak bisa! Kalau cuaca panas seharian, warga yang punya panel tenaga surya bisa menyalakan TV, paling saat malam saja menonton berita”.

Pria asal Kota Singkawang ini baru dua tahun bermukim di Desa Temajuk. Meski begitu, ia menyatakan, dari beberapa warga Temajuk yang diajaknya bicara rata-rata punya keluhan serupa: merasa belum merdeka.

“Karena jaringan listrik baru ada sekitar lebih setahun terakhir, itu pun baru 50 persen saja. Warga Temajuk ingin juga merdeka seperti warga di kota, seperti di Singkawang, Pontianak dan Sambas, yang full seharian dialiri listrik, air, dan memiliki infrastruktur jalan yang bagus,” tegasnya.

Ia juga mengkritik kritisnya fasilitas kesehatan di Temajuk. Cuma ada 1 Puskesmas, itu pun terbatas ruangan dan pelayanannya.

“Dokternya satu, bidannya satu, mantrinya kalau ndak salah ada tiga, perawatnya bisa dihitung jari. Padahal, jumlah kepala keluarga (KK) di sini sekitar 570 lebih,” ungkap Maulana.

JALAN TIKUS TAK TERJAGA

Pria 38 tahun itu pun membeberkan, selain melalui Pos Lintas Batas Temajuk-Telok Melano, ada jalur lain yang tidak resmi. Bisa dilalui dengan berjalan kaki untuk menyeberang ke wilayah Malaysia.

“Banyak yang tidak ada penjagaannya. Banyak, cuma mobil ndak bisa masuk, kalau jalan kaki atau pakai motor bisa,” bebernya.

Ia menambahkan, tak jarang, orang dari luar daerah Sambas atau bahkan luar negeri datang berkunjung di Desa Temajuk. “Sering orang asing yang tidak dikenal masuk di wilayah sini. Semenjak ada vila-vila, orang China, Taiwan, Kuala Lumpur, dan Jakarta, pernah terlihat di sini,” pungkas Maulana.

MINTA HARGA BBM DITURUNKAN

Di sisi lain, sumber penghasilan warga Temajuk sebenarnya tak banyak. Hanya mengandalkan pemberian dari alam, angerah Tuhan yang Maha Kuasa. Sehingga hampir sebagian besar warga Temajuk merupakan petani dan nelayan. Ini dituturkan salah seorang pengrajin kapal nelayan di sana, Dedi.

“Sudah sejak muda dulu saya membuat kapal nelayan, sampai sekarang,” ujarnya.

Bagi pria berusia 50 tahun ini, membuat kapal sudah mendarah daging. Cuma butuh lima hari sebuah bahtera sepanjang 12 meter bisa dirampungkan.

“Saya juga dibantu adik laki-laki saya, jadi kami berdua mengerjakannya,” ungkap Dedi.

Memang, ketika Rakyat Kalbar mengunjungi galangan kecilnya, mereka sangat cekatan merakit kapal. Papan demi papan terpasang rapi ke rangka kapal.

“Kita sedang naik timbau (dinding kapal). Prinsipnya kapal harus lebih lebar saat hampir di haluan, ini akan menjaga kestabilan sehingga kapal tidak mudah karam meskipun dihantam ombak yang tinggi,” paparnya.

Kayu adalah material utama kapal tersebut. Dedi mendapatnya dari penjual kayu setempat. Papan panjang lebih dari 12 meter masih bisa didapat dengan mudah di Kecamatan Paloh.

“Biasa jenis kayu Meranti, jadi kita tinggal menghaluskan saja, mengetam, dan memasangnya menjadi timbau dan lepe-lepe (bagian atas dinding kapal),” terangnya.

Selanjutnya, ia memakali kapal. Sebuah kegiatan untuk menampal celah papan atau timbau kapal dengan resin kayu. Biasanya, usai dipakali, kapal segera dilapisi dengan cat antirayap.

“Ketahanan kapal bisa sampai lebih dari 6 tahun, tergantung perawatannya lagi, selama enam tahun tersebut lah nelayan perlahan menyisihkan uang untuk membeli lagi kapal yang baru,” ungkap Dedi.

Sepakat dengan Arman dan Maulana, tak banyak yang ia minta dari pemerintah dalam peringatan HUT ke-72 RI ini. “Saya berharap di Temajuk bisa ada listrik, karena saat saya bekerja ini menggunakan genset (generator set),” tukasnya.

Kemudian, ia berharap infrastruktur jalan ditingkatkan dan diperbaiki. “Selain itu, harga bahan bakar minyak (BBM) juga tinggi, saat nelayan melaut tidak jarang penghasilannya hanya bisa, bahkan tidak cukup menutupi kebutuhan minyak, ” tandas Dedi.

GARUDA (MASIH) DI DADA

Penuturan mereka ini berbanding terbalik dengan pernyataan sikap pengelola Pondok Wisata Teluk Atong Bahari di Temajuk, Atong. Ditegaskannya, memang beberapa waktu lalu sempat beredar kabar Dusun Camar Bulan, Desa Temajuk, dicaplok Malaysia. Namun, ia menyebut, dirinya bersama warga setempat tetap mempertahankan kedaulatan NKRI.

“Saya tetap memilih Indonesia. Saya sering menyatakan, NKRI harga mati, Merah-Putih dan Garuda di dada kita. Walaupun hidup kami di ujung negeri, tetap mengakui Indonesia merdeka,” tegasnya.

Menurut Atong, warga Temajuk-Teluk Melano telah berkomunikasi dengan baik sejak dahulu. Sampai-sampai ada momen unik yang setiap tahunnya terjadi di dua perkampungan yang terpisahkan pos lintas batas itu.

“Peringatan HUT Kemerdekaan RI di sini, sangat ditunggu-tunggu oleh masyarakat. Keunikan Temajuk itu, kalau di sini perayaan HUT Kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus, biasanya Kepala Desa Temajuk mengundang warga dari negara tetangga untuk hadir,” paparnya.

Pada 31 Agustus, lanjut dia, giliran warga Telok Melano yang mengundang masyarakat Temajuk untuk merayakan hari kemerdekaan Malaysia. “Jadi warga antar dua negara ini menunjukkan saling menghargai dan kekeluargaan yang serumpun. Menampilkan adat istiadat saat merayakan hari kemerdekaan negaranya masing-masing,” urai Atong.

Tak jauh dari Pondok Wisata Atong Bahari ini, hanya beberapa kilometer saja, terdapat pos lintas batas yang menghubungkan Temajuk-Telok Melano. “Jika warga ingin menyeberang, lapor dulu sama tentara di pos sini, tinggalkan KTP. Setelah berbelanja di Teluk Melano, balik lagi KTP-nya baru diambil. Seperti itu peraturannya di sini, di Teluk Melano tidak boleh lama, paling seharian,” tandasnya.

Nah, untuk memotivasi masyarakat di wilayah perbatasan, khususnya Desa Temajuk, Kecamatan Paloh, Sambas, ini, panitia Digahayu ke-72 Republik Indonesia setempat bekerja sama dengan Masyarakat Peduli Perbatasan Indonesia (MPPI) sejak tanggal 15 hingga 20 Agustus 2017. Mereka menggelar berbagai lomba di sana.

Kepala Desa Temajuk, Naziri mengapresiasi peran serta MPPI dalam mendukung dan memberikan semangat kepada warganya untuk tetap cinta Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). “Dan setiap tahunnya MPPI selalu ikut serta memeriahkan HUT RI di wilayah perbatasan sehingga HUT RI semarak dirasakan masyarakat,” tuturnya kepada wartawan.

Salah satu peran MPPI mendukung kemajuan wilayah perbatasan, ia menjelaskan, adalah pembangunan Gapura Pancasila yang berdiri kokoh di Dusun Sempadan, Desa Temajuk. Tepatnya di wilayah perbatasan dengan Kampung Telok Melano, Sarawak.

“Sebelumnya MPPI telah memberikan bantuan Bendera Merah Putih, alat bidan, peralatan olahraga, baju kaos, dan setiap tahun ikut serta Apel HUT RI di Temajuk, ” jelas Naziri.

Tentu saja, ia juga berterima kasih atas kehadiran TNI/Polri yang bertugas di wilayah perbatasan. “Kami selalu berupaya melaksanakan upacara peringatan 17 Agustus di desa kami, dan berharap mendapat dukungan dari semua pihak, ” tuturnya.

Upacara HUT RI di wilayah perbatasan, menurut dia, merupakan momentum mewujudkan rasa cinta tanah air dan bangsa. Sebagai upaya menanamkan jiwa nasionalisme di sana. Agar meriah, berbagai pertandingan olahraga dan permainan tradisional yang jamak diadakan setiap peringatan kemerdekaan pun dihelat.

Bagi Ketua MPPI Kabupaten Sambas, Zefri, kerawanan keutuhan wilayah NKRI merupakan permasalahan yang krusial. Sehingga, perlu komitmen bersama menjaganya.

Ia mencontohkan kasus pembangunan suar oleh pihak Malaysia di Tanjung Dato’ 2014 lalu. “Juga didapati patok F210 di Kecamatan Entikong yang berada di tengah lapangan golf resor Hotel Borneo Highland milik pengusaha Malaysia,” jelasnya.

Dengan momentum peringatan HUT RI, Zefri melanjutkan, masyarakat perbatasan diajak berperan menjaga patok batas negara bersama-sama aparat keamanan. Untuk itu, diperlukan kegiatan yang dapat menumbuhkan semangat nasionalisme dan memupuk rasa persatuan dan kesatuan. Serta mencari bibit sumber daya manusia (SDM) masa depan masyarakat Desa Temajuk. “Khususnya dalam bidang pendidikan, olahraga, dan kesenian,” tandas dia. (*)

 

Editor: Mohamad iQbaL