eQuator.co.id – Putussibau-RK. Harga jual getah pohon karet yang kembali anjlok lagi-lagi menyusahkan para petaninya. Para penoreh yang menggantungkan hidup itu mau tak mau banting stir. Mulai dari menanam komoditas lain, kerja serabutan, hingga jualan senapan spiritus.
Selasa (13/6) pagi, cuaca sedikit mendung. Rintik-rintik air mengiringi perjalanan Rakyat Kalbar ke kampung Baong, Kelurahan Kedamin Hulu, Kecamatan Putussibau Selatan. Kampung yang berada di pesisir Sungai Kapuas ini hanya dihuni 18 KK (Kepala Keluarga) dengan jumlah jiwa 76 orang. Sehingga, di sana cuma terdapat satu RT yakni Rt008/RW003.
Baong dari ibukota kecamatan berjarak sekitar 9 kilometer, kemudian ke ibukota kabupaten Kapuas Hulu, Putussibau, sekitar 15 kilometer dengan kondisi jalan rabat beton yang cukup memadai dilintasi.
Sesampai di kampung Baong, awak koran ini langsung singgah ke rumah pertama. Terdapat warung kecil. Itu rumah milik Syahrun. Lelaki berusia 58 tahun itu tinggal bersama sang istri, Nurbaya. Mereka tampak sedang berbincang di depan rumahnya. Maklum, sedang gerimis, belum bisa beraktivitas ke kebun.
Kedatangan Rakyat Kalbar disambut ramah oleh Syarun dan sang istri yang berusia 55 tahun itu. Juga ada seorang pemuda sedang berkumpul dengan mereka. Sesampai di kediamannya kami saling menanyakan kabar meski belum saling kenal.
Setelah beberapa menit berbincang, Syahrun menceritakan kehidupan mereka yang memang mengandalkan komoditas getah karet sebagai mata pencaharian utama. Itu, kata Syahrun, kala harga karet belum anjlok. Sejak harga semakin meredup beberapa tahun terakhir, masyarakat yang dulunya sebagian besar petani karet perlahan meninggalkannya.
“Saya punya getah karet masih di pokok (pohon) belum diambil. Karena harga sekarang hanya Rp8.000,” ujar Nurbaya.
Jangankan untuk kebutuhan lainnya, untuk membeli bahan pokok sudah tak cukup. Realita tersebut diungkapkan Nurbaya yang mengaku sejak usia 15 tahun menjadi penyadap pohon karet.
“Untuk beli gula sekilo ndak cukup. Bukannya harga barang turun, malah naik terus. Sementara karet semakin turun. Memang beberapa bulan lalu sempat naik sampai Rp10.000, tapi sekarang turun lagi,” ungkapnya. Kegetiran sangat terasa.
Kalau tidak ada usaha lain, Nurbaya mengatakan, masyarakat setempat nyaris melarat. Usaha lain yang dia maksud adalah berkebun tanaman Purik atau Kratom. Dari Kratom yang terjual, ia mengaku lumayan membantu membeli kebutuhan keluarga.
Setakat ini, mereka juga menggeluti usaha menjual minuman kolang-kaling. Sebab, di bulan Ramadan, permintaan masyarakat meningkat akan produk berbahan baku pohon Aren itu.
“Padahal, dulu, waktu harga karet mahal, kita ndak terlalu susah kayak gini. Memang sekarang ada purik, tapi prosesnya lama, juga tidak semua nanam. Tapi kalau karet, merata yang punya,” beber Nurbaya.
Syahrun dan istrinya ini masih beruntung punya warung. Sehingga perekonomian mereka sedikit terbantu. Sebelumnya, mereka mampu menghasilkan 15 kilogram karet dalam beberapa jam. Sistem masyarakat di sana menyadap karet, biasanya berangkat jam 5–pulang jam 8. Sehingga waktu yang tersisa setiap harinya bisa untuk mengerjakan yang lain.
“Memang sekarang terasa sulit, waktu itu kami timbang 13 karung karet, kira ada lah jutaan harga. Tapi sangat tidak sesuai. Kami mohon kepada pemerintah supaya harga karet ini diperhatikan, terlebih seperti kami yang mau merayakan lebaran. Kalau harganya (karet) belasan ribu lumayan lah, setidaknya mengimbangi harga barang (pokok),” ungkap Syahrun.
Mirisnya, untuk Idul Fitri tahun ini yang tinggal sepekan lebih, Syahrun mengungkap, dirinya belum ada persiapan apa–apa. Jangankan berpikir membeli baju baru, perabot baru, bahkan sekedar menyiapkan kue lebaran pun mereka harus berpikir ulang. Harga tak seimbang dengan pendapatan mereka sebagai petani karet.
“Kita lihat memang semenjak karet turun, setiap hari raya lain suasana. Karena untuk membeli kebutuhan itu sangat sulit,” tutur Syahrun.
Anjloknya harga karet ini terjadi merata di seluruh Kalbar. Di Landak misalnya, petani karet banyak yang beralih pekerjaan lain. Alasannya serupa: harga jual getah karet tidak sebanding dengan harga bahan-bahan pokok.
Salah seorang warga Kuala Behe penoreh karet, Ijos, mengaku selama beberapa bulan ini dia memilih pekerjaan lain. “Harga karet yang turun sekarang menyebabkan pekerjaan petani karet merasa kesulitan. Sebab penghasilan noreh tidak mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari,” ujar Ijos di Ngabang, Landak, Selasa (13/4).
Sekarang harga karet kalau di kampungnya berkisar Rp6.000-7.000. Sedangkan bahan pokok lainnya mahal. Kalau pendapatan noreh perhari hanya 7-8 kilogram, tentu tidak mencukupi.
“Tapi, kalau harga karet mencapai belasan ribu, petani masih merasa lega, karena hasil cukup,” tuturnya.
Ia mengakui, untuk sementara ini terpaksa bekerja serabutan. “Biarlah bekerja di tempat lain dulu, sebagai karyawan sawit atau kerja lain, yang penting hasilnya bisa mencukupi kebutuhan keluarga,” aku Ijos.
Senada, M. Een. Ia ditemui ketika datang menanyakan level harga karet di penampung di Pasar Ngabang, toko Usaha Abadi. “Saya menanyakan harga karet sekarang ini, kalau harga masih tinggi dan sesuai akan menjual. Tapi, kalau harga masih turun, maka karetnya akan ditampung dulu,” ungkapnya.
Menurut Een, karet yang akan dijual itu separuh hasil torehan sendiri dan ada juga yang dibelinya. “Jadi, harus menunggu harga yang sesuai untung menjualnya supaya ada untung dan jangan sampai tekor,” terang dia.
Pemilik toko Usaha Abadi, Akong, mengakui harga jual getah karet memang sangat menentukan perekonomian masyarakat di Landak. Jika harga karet naik, daya beli atau perekonomian masyarakat tentu akan membaik, demikian juga sebaliknya.
“Harga karet untuk di pasar kota Ngabang berkisar Rp7.000-7.500 perkilogram. Harga ini jauh turun dari harga sebelumnya pada bulan Maret lalu. Sebelum bulan Maret, harga karet masih belasan ribu rupiah perkilogram,” ungkapnya.
Dikatakan dia, sebenarnya harga karet masih bervariasi. Tergantung mutu karet itu sendiri.
“Jika mutu karet yang bagus harganya masih tinggi. Cuma karet yang kita beli ini semua dalam bentuk masih basah dan tebal atau yang terkenal dengan nama getah balok,” ujar Akong.
Menurut dia, harga karet yang dijual dengan harga Rp7.000 itu sudah termasuk mahal. Sebab karetnya masih basah dan tebal, sehingga mutu karet itu rendah.
“Coba kalau dibuat ukuran yang tipis dan kering, harganya masih mahal. Cuma para petani karet tidak mau membuat ukuran yang tipis dan kering,” tuturnya.
Dijelaskannya, harga karet turun, tapi harga bahan makanan lainnya juga bervariasi. Ada yang bertahan, ada yang naik sedikit, tapi tidak terlalu signifikan.
“Kita tetap berharap harga stabil dan bahan makanan pokok lainnya juga standar. Sebab masyarakat tentu ingin harga standar dan terjangkau,” pungkas Akong.
Anjloknya harga jual getah karet di dekat lebaran tahun ini juga menyebabkan petaninya harus kreatif. Seperti dilakukan Jailani Nera, petani karet di Melawi. Untuk sementara ini, ia beralih jualan meriam spiritus.
Meriam bambu yang bisa berbunyi karena campuran karbit dan air, yang kerap jadi “sahabat” saat puasa dan lebaran di Kalbar, seiring waktu mulai dimodifikasi. Meskipun tidak ditinggalkan. Jailanu membuat meriam paralon menggunakan spiritus sebagai bahan membunyikannya. Meriam ini pun bentuknya diupdate menjadi berbagai model senapan.
“Dalam seminggu itu hanya tiga unit saja yang jadi. Modal yang harus dikeluarkan Rp250 ribu per tiga unit tersebut. Saya menjual senapan spiritus tersebut perunitnya bisa mencapai Rp350 ribu sampai Rp400,” tutur Jailani ditemui saat keliling menjual senapan spiritusnya, Senin (12/6).
Kata dia, bahan-bahan membuat senapan spiritus tersebut ada yang harus dibelinya di toko bangunan, yaitu paralon. Yang lain bisa didapat dari mencari atau membeli. Diantaranya kaleng sarden dan kayu hutan untuk gagang senapannya. Tak lupa pemantik gas.
“Memang tak banyak bahan, namun membuat modelnya ini cukup sulit. Makanya jualnya agak mahal,” ungkapnya.
Jailani mengatakan, dengan berjualan senapan spiritus tersebut, ia bisa menopang ekonomi keluarga di bulan puasa. “Meskipun berjualan senapan ini hanya musiman, namun ekonomi bisa tertopang,” ungkap pria asal Tanjung Lay, Nanga Pinoh, tersebut.
Dalam sehari, senapan spiritus bisa terjual tiga unit. Untung dari jualannya disimpan untuk membeli persiapan lebaran. “Untungnya masih bisa jualan begini. Karena saya kan petani karet, jadi kalau mengharapkan hasil ngaret, saat ini sedang sulit. Harga masih anjlok,” paparnya.
Meski masih bisa hidup, Jailani tetap berharap harga karet bisa naik menyesuaikan harga bahan pokok. “Setidaknya bisa seperti harga gula perkilogramnya. Rp15 ribu,” harap dia.
Laporan: Andreas, Antonius, Dedi Irawan
Editor: Mohamad iQbaL