Perayaan Nyepi, Ada Ogoh-ogoh di Pontianak

Wajah Kebhinnekaan di Kalbar

OGOH-OGOH. Kebhinnekaan di Bumi Khatulistiwa ditampilkan umat Hindu di Kalbar dengan mengarak Ogoh-ogoh di Jalan Adisucipto, Kubu Raya, Senin (27/3), dalam rangka perayaan Nyepi. IGK Yudha Dharma-RK

Hujan deras yang mengguyur Kota Pontianak diiringi Guntur petir, tak menyurutkan umat Hindu menggelar parade Ogoh-ogoh, Senin (27/3), dalam rangka menyambut Hari Raya Nyepi. Sebagaimana juga naga dan barongsai, arakan Ogoh-ogoh menampilkan parade yang menarik masyarakat sepanjang jalan.

IGK Yudha Dharma (Pontianak), Kurnadi (Bengkayang)

eQuator.co.id – Ogoh-ogoh dalam kepercayaan umat Hindu menjadi simbol bagi segala hal buruk dan jahat. Maka dari itu Ogoh-ogoh ini akan dimusnahkan sebagai tanda pensucian diri dari hal-hal yang tidak baik sebelum memasuki Catur Brata penyepian dan Tahun Baru Saka 1939.

Patung Ogoh-ogoh yang sekilas mirip sosok monster berwarna merah ini dipikul oleh sejumlah pemuda Bali dari dalam area Pura Giri Pati Mulawarman di Jalan Adi Sucipto, Kubu Raya.

Berukuran besar, patung memang cukup berat sehingga harus diangkat oleh 12 orang yang terbagi di setiap sisi patung. Para pemuda ini rata-rata bertugas sebagai prajurit TNI maupun aparat Brimob Kalbar, tangan kekar mereka dengan santainya mengangkat bambu di bagian bawah patung.

Diiringi lantunan alat musik tradisional Bali, Ogoh-ogoh diarak hingga menuju ruas jalan Sungai Raya, tepatnya di depan Rumah Sakit Soedarso. Dengan irama yang teratur dan tegap, sesekali para pemikul Ogoh-ogoh berteriak, “yok!!!!”, tanda mulainya Ogoh-ogoh digoyangkan naik turun lalu berputar searah jarum jam.

Made Ari yang sehari-hari bertugas sebagai prajurit TNI di Pontianak tak ketinggalan untuk ikut memeriahkan Ogoh-ogoh ini, namun ia tak bertugas sebagai pemikul melainkan berperan sebagai penari topeng tua.

Sekilas ia memang mirip seorang kakek tua yang mengenakan pakaian tari Bali dan berjalan di depan Ogoh-ogoh. Ia terlihat bersemangat dan senang acara bisa berjalan lancar meskipun diguyur hujan. “Tadi di sepanjang jalan banyak yang ngajakin foto bareng, malah sampai masuk ke pure,” ujar Ari tersenyum.

Ogoh-ogoh ini tidak hanya dimainkan oleh orang dewasa, anak-anak juga ikut memeriahkan acara ini. Seperti salah satunya anak kecil yang terlihat berpakaian serba hitam dan memakai topeng bojok (topeng monyet).

Atma Gusatwika yang masih SMP kelas 7 ini terlihat lincah bergerak kemana-mana, terkadang ia jongkok lalu tiba-tiba meloncat layaknya monyet untuk mengawal perjalanan Ogoh-ogoh di depan.

Ia memang sejak awal sudah tertarik untuk ikut acara ini. Malah awalnya Atma ingin ikut mengangkat Ogoh-ogoh namun karena terlalu berat, ia pun akhirnya disuruh untuk menjadi topeng bojok yang mengawal Ogoh-ogoh, “seru sekali, sampai ndak berasa capek,” cerita Atma.

Tak pelak parade Ogoh-ogoh ini menarik perhatian warga sekitar dan pengendara yang melintas di sepanjang jalan Adi Sucipto. Meskipun sempat membuat macet jalanan arak-arakan ini berjalan lancar karena pihak kepolisian juga turut membantu mentertibkan jalan.

Ibu Mery yang tengah mengendong anaknya juga terlihat asyik memotret Ogoh-ogoh. Ia tertarik melihat patung ini karena bentuknya yang seram dan setahun sekali bisa melihat budaya seperti ini, tak hanya di Bali.

“Biar buang sial,” celetuk ibu Mery.

Deo yang duduk di bangku kelas enam SD juga terlihat senang mengikuti arak-arakan. Bersama kawan-kawannya ikut berjalan bersama meskipun diguyur gerimis.

“Mantap, seru liatnye,” ujar anak kecil itu.

Memang menjadi pemandangan yang cukup unik ketika sebuah kebudayaan dari Bali bisa hadir di Pontianak. Ida Sri Resi, Dukuh Putra Bandem Kepakisan menjelaskan bahwa Ogoh-ogoh menjadi simbol sifat negatif yang ada di dalam diri manusia.

Maka dari itu manusia harus mampu mengatasi sifat negatif tersebut lewat Catur Brata penyepian untuk kembali mensucikan diri, “Puasa bukan hanya tidak makan dan minum, tapi yang terpenting bagaimana kita mengendalikan hawa nafsu dalam diri kita”, ungkap Ida Sri.

Ogoh-ogoh yang tadi diarak memang tidak sembarangan diangkat. Sebelum diarak terlebih dahulu dilakukan Peralina atau pemanggilan kekuatan untuk merasuki patung. Setelah selesai pun juga dilakukan peralina lagi, yakni pengembaliannya ke tempat semula, barulah nanti akan dibasmi atau dibakar.

Masyarakat Bali memang dikenal sangat kental mempertahankan adat istiadat budayanya, meskipun yang berada di daerah manapun. Seperti halnya masyarakat Bali yang beragama Hindu di Kalbar yang tetap memperkenalkan budayanya.

Parade Ogoh-ogoh mendapatkan respons positif dari masyarakat atau umat beragama lain. Mereka menerima dengan terbuka bahkan tertarik dengan budaya yang bisa memberikan hiburan berbeda.

Tak hanya di Pontianak dan Kubu Raya, peringatan dan upacara menyambut Perayaan Nyepi juga dilaksanakan 75 umat Hindu di Dusun Ketiat, Desa Cipta Karya, Kecamatan Sungai Betung, Bengkayang, dengan menunaikan Catur Brata Penyepian mulai pukul 00.00, Selasa (28/3) hingga Rabu (29/3) pukul 00.00.

Hari Raya Nyepi Tahun 1939 Saka atau 28 Maret 2017, berlangsung khusuk si beberapa pura se Kalbar. Puluhan umat Hindu Bengkayang mulai melaksanakan ritual di Pura Giripenyanggar Ananiasanam, Senin (27/3) pukul 17.00-19.30.

Upacara diselenggarakan oleh Parisadha Hindu Dharma Indonesia Kabupaten Bengkayang yang dipimpin Putra Sentana yang disap Odeng Dan Bitun, tinggal tidak jauh dari pura. Perayaan Nyepi tahun ini mengambil tema, “Jadikan Catur Brata Penyepian Memperkuat Toleransi Kebhinnekaan Berbangsa Dan Bernegara Demi Keutuhan NKRI.”

Di Pura Giripenyanggar Ananisana Jalan Raya Bengkayang-Singkawang itu terlihat sepi, hanya ada bekas sajian upacara tadi malam. Pagar besi pura ditutup 24 jam dan umat Hindu berpuasa dan tidak melaksanakan aktivitas seperti biasanya.

Hal serupa terlihat di Pura Giri Purwa Dharma, Desa Kamuh, Kecamatan Sanggau Ledo Kabupaten Bengkayang.

“Proses perayaan Nyepi di Bengkayang tahun ini lancar. Di Pura Giripenyanggar Ananisana upacara berlangsung dua jam setengah,” kata Kabag Ops Polres Bengkayang Kompol Paino,S.Pd. (*)