eQuator.co.id – Jakarta-RK. Pengusutan kasus pembuatan prototipe mobil listrik untuk keperluan APEC 2013 oleh Kejaksaan Agung (Kejagung) menjadi preseden buruk di kalangan peneliti. Perkara tersebut dianggap bisa membuat inovasi mati karena ketakutan.
Hal itu ditegaskan oleh ekonom Faisal Basri ketika menjadi pembicara dalam diskusi Melawan Kriminalisasi Kebijakan di MMD Initiative, Jumat (10/3). Menurut dia, penanganan kasus mobil listrik menunjukkan bahwa negara tidak memiliki visi riset.
“Negara ini memang visinya dagang. Itu yang membuat kita terus-terusan jadi bangsa konsumen, bukan produsen,” kata pria kelahiran Bandung tersebut.
Faisal menilai kebijakan pemerintah selama ini tidak pro terhadap inovasi dan produsen. Dia mencontohkan beberapa kasus. Misalnya tingginya pajak untuk mengimpor komponen tertentu. Padahal, komponen itu digunakan untuk kebutuhan riset atau industri dalam negeri.
“Ironisnya, pajak mengimpor komponen itu kadang lebih tinggi dari pajak impor barang yang sudah jadi,” katanya. Dengan kata lain, kebijakan seperti itu membuat industrialis dalam negeri kalah bersaing dengan importer.
Faisal melihat kasus mobil listrik yang menimpa Dasep Ahmadi, pembuat prototipe mobil listrik untuk APEC 2013, dan Dahlan Iskan, mantan menteri BUMN, sebagai sebuah bagian deindustrialisasi. “Ini namanya bentuk mematikan inovasi industri dalam negeri oleh pembelok hukum,” tegasnya.
Menurut dia, Presiden Jokowi semestinya peka terhadap hal itu. Apalagi, mantan gubernur DKI Jakarta dan wali kota Solo tersebut juga berangkat sebagai seorang industrialis (pengusaha mebel). “Kalau saya jadi Presiden Jokowi, sudah saya copot jaksa agung karena baunya sudah menyengat,” sindir pria yang pernah ditunjuk Jokowi sebagai ketua Tim Reformasi Tata Kelola Migas itu.
Jika pemerintah tak menghentikan upaya kriminalisasi terhadap kegiatan inovasi, Indonesia akan terus tertinggal. Saat ini saja berbagai data mengenai inovasi dan riset menunjukkan bahwa Indonesia masih tertinggal jauh dari banyak negara.
Data Global Innovation Index (GIL) misalnya. Ternyata, terjadi penurunan indeks Indonesia dari tahun ke tahun. Pada 2015 angkanya 29,19. Pada 2016 malah jeblok menjadi 29,07. Indeks itu menempatkan Indonesia di urutan ke-88 dari 128 negara. Menyedihkan, angka tersebut membuat Indonesia kalah oleh sejumlah negara tetangga. Termasuk Vietnam dan Filipina.
Faisal juga memaparkan data research and development expenditure dari Bank Dunia. Dalam data itu, posisi Indonesia juga tidak menggembirakan. Anggaran untuk riset ternyata hanya 0,08 dari gross domestic product (GDP) atau produk domestik bruto. “Jumlah ilmuwan dan engineer Indonesia juga rendah sekali,” katanya.
Karena data itu, Faisal sedih atas kasus hukum yang sedang membelit Dasep dan Dahlan. “Ngeri negara kalau seperti ini. Sudah jumlah penelitinya sedikit, ada yang berani melangkah malah dikriminalisasi,” ucap pria 57 tahun itu.
Faisal melihat bahwa hubungan Dasep dan Dahlan jauh dari sebuah bentuk korupsi. Dahlan sebenarnya hanya ingin menggugah kesadaran BUMN-BUMN untuk sedikit meneteskan dana bagi kegiatan riset. Apalagi, dalam kasus mobil listrik itu, Dahlan ingin menunjukkan kepada dunia bahwa sudah ada anak negeri yang bisa membuat prototipe mobil listrik.
Dasep memang ditunjuk tiga perusahaan BUMN (PT PGN, PT BRI, dan PT Pratama Mitra Sejati) sebagai pembuat prototipe mobil listrik untuk APEC 2013. Dasep mengerjakan mobil dan bus listrik untuk APEC dengan dana sponsorship. Wanprestasi yang terjadi dalam kerja sama antara Dasep dan tiga perusahaan BUMN itu lantas dianggap sebagai korupsi oleh Kejagung.
Selain Faisal, dalam diskusi itu juga hadir Prof Yazid Bindar. Dia merupakan ahli bidang teknologi industri. Menurut Yazid, yang dilakukan Dasep sebenarnya membuat sebuah prototipe. Sehingga penegak hukum seharusnya tidak bisa menyamakannya dengan sebuah pengadaan barang dan jasa biasa.
Yazid dalam presentasinya menjelaskan dengan panjang lebar konsep prototipe. Konsep prototipe sebenarnya telah diatur dalam tingkat kesiapan teknologi atau TKT oleh Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti).
TKT merupakan ukuran tingkat kesiapan teknologi yang diadopsi dari technology readiness levels (TRL) yang diterapkan NASA, lembaga penelitian luar angkasa Amerika Serikat.
“Pembuatan prototipe itu tidak bisa disamakan dengan pengadaan barang dan jasa biasa,” tegasnya. Dalam pengadaan barang dan jasa, tentu sudah ada barang versi komersialnya. Juga harus ada pemasoknya. “Di Indonesia, kan belum ada produk komersial mobil listrik seperti yang dibuat Dasep. Alur berpikir seperti ini yang harus dipahami penegak hukum,” ujarnya.
Yazid melihat, yang dilakukan Dahlan sebenarnya sebuah terobosan yang luar biasa. Dalam hal mobil listrik, Dahlan memulai sesuatu yang belum dilakukan di dalam negeri. Apa yang dilakukan Dahlan itu kemudian direspons positif oleh para peneliti. “Jadilah waktu itu sebuah gerakan. Kampus ramai-ramai membuat riset mobil listrik,” tutur dia.
Sementara itu, guru besar hukum dari Universitas Indonesia Prof Erman Rajagukguk menyatakan, yang terjadi dalam kasus mobil listrik disebabkan celah Undang-Undang Keuangan Negara. ”Undang-undang itu harus direvisi. Selama segala keuangan BUMN masih dianggap sebagai uang Negara, akan kacau,” katanya.
Celah itulah yang sering kali membuat direksi BUMN takut untuk mengambil kebijakan. Mereka takut disalahkan jika tindakan yang diambil menimbulkan kerugian. Sebab, penegak hukum sering menganggap segala kerugian BUMN yang berbentuk perseroan terbatas (PT) sebagai kerugian negara sehingga bisa menjadi pidana korupsi.
“Padahal, kerugian PT kan tidak bisa dihitung parsial. Perhitungannya dihitung selama setahun,” tegasnya. Kebanyakan kondisi seperti itu membuat BUMN sulit maju. Menurut Erman, di Amerika Serikat, Inggris, hingga Malaysia, keuangan BUMN sudah tidak lagi dianggap sebagai keuangan negara. (Jawa Pos/JPG)