Bos-bos Gafatar Dituntut Sepuluh dan 12 Tahun

Didakwa Menistakan Agama dan Makar

TERDAKWA MAKAR DAN PENISTAAN. Petinggi Gafatar Ahmad Musadeq (tengah) menjalani sidang lanjutan di PN Jaktim, Rabu (8/2). Ahmad dituntut 12 tahun penjara untuk dugaan makar dan penistaan agama. Imam Husein-Jawa Pos

eQuator.co.id – Jakarta. Abdussalam alias Ahmad Mussaddeq dan dua rekannya, Mahful Muis alias Mahful Muis Hawary dan Andry Cahya terancam lama di balik jeruji besi. Ketiga pentolan Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar) itu dituntut hukuman berat oleh jaksa penuntut umum (JPU), kemarin (8/2).

Surat tuntutan dibacakan dalam sidang di Pengadilan Negeri Jakarta Timur sekitar pukul 14.00. Jaksa A. Rauf menuntut terdakwa Mussaddeq dan Mahful Muis dengan hukuman pidana penjara 12 tahun dan 10 tahun pidana penjara pada Andry Cahya.

Ketiganya dituduh melakukan penistaan agama dan makar. Mereka didakwa melanggar pasal 156a huruf a kuhp jonta pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP jo pasal 64 ayat (1) KUHP tentang penistaa dan dugaan makar dalam pasal 110 ayat (1) KUHP jo pasal 107 ayat (2) KUHP jo Pasal 64 ayat (1) KUHP.

Jaksa Rauf mengungkapkan, tuntutan yang dijatuhkan dikuatkan oleh pernyataan saksi, saksi ahli dan bukti-bukti yang telah dihadirkan dalam persidangan sebelumnya. Ada sekitar 50 bukti yang menguatkan.

”Dari fakta-fakta yang terungkap sudah menguatkan,” ujarnya ditemui usai sidang.

Untuk tuduhan pemufakatan makar misalnya. Rauf mengungkap, ada bukti soal struktur pemerintahaan yang sudah dibentuk. Mulai dari presiden, wakil presiden, hingga gubernur. Seperti diketahui Andri Cahya dan Mahful Muis Tumanurung merupakan pimpinan wilayah negara kesatuan Negeri Karunia Tuan Semesta Alam Nusantara bentukan Gafatar.

Andri menjabat sebagai presiden dan Muis sebagai wakilnya. Sementara, Mussaddeq menjabat sebagai dewan penasehat.

Kendati begitu, tuntutan diajukan berbeda bagi ketiganya. Mussaddeq dan Muis Tumanurung mendapat tuntutan lebih berat 2 tahun dibanding Andri.

”Perbedaannya karena terdakwa 1 dan 2 (Muis Tumanurung dan Mussaddeq,red) merupakan residivis atau pernah melakukan tindak pidana,” jelasnya. Mussadeq sendiri memang sempat mendekam dibalik jeruji besi atas kasus yang sama, penodaan agama pada 2008 lalu.

Merespon tuntutan tersebut, Pengacara Mussaddeq, Pratiwi Febry menilai tuntutan JPU tidak masuk akal. Menurutnya, dalam 20 persidangan yang telah digelar, dakwaan JPU tidak terbukti sama sekali.

”Dakwaan tidak bisa dibuktikan dengan kuat dari fakta yang disampaikan dalam tuntutannya hari ini. Tuntutan 10 dan 12 tahun untuk terdakwa jelas kami tolak dan akan kami tuangkan dalam pledoi kami di minggu yg akan datang,” tegasnya.

Untuk kesiapannya sendiri, Pratiwi menyatakan sudah mulai dilakukan. Para terdakwa sudah menyusun pledoi.  Pihaknya juga sedang merangkum selruuh keterangan saksi dan ahli dalam persidangan sebelumnya.

”Dan jelas sekali, saksi kami hadirkan maupun  JPU hadirkan sama sekali menyatakan bahwa ini bukan penodaan agama,” ungkapnya.

Begitu pun untuk tuduhan percobaan makar. Menurutnya, tudingan itu tidak terpenuhi karena ketiga terdakwa tidak memiliki  kemampuan untuk menggulingkan pemerintahan yang berlaku.

”Kalau JPU konsisten dengan tuntutan makar, harusnya mereka bisa membuktikan di muka persidangan. Dan dalam fakta persidangan itu tidak pernah terungkap bahkan gagal terungkap,” tuturnya.

Dia pun merasa ada kejanggalan dalam tuntutan yang diungkap JPU. Sebab, pasal tentang makar baru muncul di tengah-tengah ini. Padahal, awal yang dilaporkan adalah soal penodaan agama.

”Tiba-tiba muncul pasal makar tanpa sepengetahuan sang pelapo. Surat panggilan pada terdakwa sejak jadi tersangka pun tidak ada pasal makar. cuma pasal penodaan agama,” jelasnya.

Terkait struktur negara yang disinggung JPU, dia menilai hal itu lumrah. Sebab, dalam struktur organisasi BEM dan Partai pun ada jabatan presiden tersebut.

”Jadi itu hal yang lumrah. Kalau mereka memang punya niatan untuk menggulingkan  pemerintahan, saat diusir kemarin kenapa mereka tidak melakukan serangan balik?” ungkapnya.

Berdasar pada fakta-fakta tersebut, Pratiwi mengaku kecewa. Dia menilai peradilan sesat  dan kriminalisasi bagi kemerdekaan beragama dan berkeyakinan di Indonesia. (Jawa Pos/JPG)