Cuaca tak menentu tak hanya menghadang wisatawan, tapi juga menohok para nelayan pantai. Mereka yang sempat dikunjungi Presiden Jokowi, 15 Oktober 2016, pada peringatan Sail Selat Karimata, itu terpaksa gantung pukat.
Kamiriluddin, Sukadana
eQuator.co.id – Ombak Selat Karimata yang merangsek perairan Sukadana, Kabupaten Kayong Utara, setakat ini tengah tak bersahabat. Cuaca ektrim di selatan Kalbar, itu beberapa pekan lalu meminta korban jiwa wisatawan dari Pontianak. Asyik bermain kano di sekitar pantai bercuaca buruk, ombak pun menggila dan angin kencang menyapu kawasan itu.
Nelayan pantai Pulau Datok pun tak bisa melaut. Lantas apa yang bisa dilakukan di cuaca ekstrim yang selalu datang setiap awal tahun? Begini penuturan Burhanuddin, nelayan yang bermukim di sekitar pantai ketika disambangi Rakyat Kalbar, Selasa (17/1).
Sejak pergantian tahun 2016 hingga paroh Januari 2017, sudah beberapa kali Burhanuddin bersama belasan nelayan di pesisir pantai Pulau Datok batal mencari ikan. Gelombang tinggi menyapu perairan Sukadana. Kondisi ini memaksanya bersama kawan-kawan putar haluan selain melaut.
“Cuaca ekstrim seperti ini tidak bisa kita paksakan untuk kerja di laut, resikonya sangat tinggi. Untuk bertahan hidup, kita harus mencari mata pencaharian lainnya untuk memenuhi kebutuhan keluarga,” tutur Burhanuddin.
Sempat dua hari lalu bersama empat rekannya memberanikan diri melaut. Akhirnya terpaksa batal dan rekannya hanya beroperasi di sekitar bibir pantai. “Kita tidak bisa menangkap ikan jauh-jauh. Kalau pun berani paling jauh hanya sampai ke Pulau Juante, soalnya takut angin tiba-tiba datang menghempas ombak,” kisahnya.
Cuaca buruk yang ditandai dengan angin kencang disertai hujan deras datang secara tiba-tiba belakangan ini memaksa para nelayan pesisir hanya menyisir pantai Pulau Datok kalau tak ingin duduk mencangkung menunggu nasib.
“Kalau saya pribadi serabutan kerjanya, kalau sudah tidak melaut. Kadang ikut kawan nukang (kerja bangunan), kadang juga bantu masyarakat yang minta tolong membuatkan KTP, KK dan Akte,” kata Burhan yang juga ketua RT setempat.
Para nelayan yang tetap tak mau berpisah dengan laut dan menyisir pukat di area pantai, kata Burhanudin, hasil tangkapan yang tak seberapa itu pun tak bisa dinaikkan harganya.
“Kalau harga ikan sih tidak ada yang berubah. Soalnya kita biasanya menjual kepada masyarakat setempat yang sudah kenal semua, jadi tak enaklah kalau kita jual mahal-mahal. Sebab sudah jadi langganan kita,” ujarnya.
Nasib nelayan Indonesia umumnya juga tak jauh beda dengan di Kayong Utara. Sebut saja Madun, warga Dusun Siduk, Desa Simpang Tiga, Kecamatan Sukadana, terkendala dengan sarana tangkap yang masih menggunakan peralatan tradisional. Akibatnya, hasil tangkap rata-rata hanya berkisar 10 kilo per hari jika musim ikan dan cuaca bagus.
Musim paceklik sekarang ini menghasilkan 10 kg ikan bisa putih mata. Bahkan, tak jarang berhari-hari tidak memperoleh tangkapan. “Kalau musim ombak seperti sekarang, saya pun tak berani melaut, erpaksa ikut teman kerja bangunan,” ucapnya.
Kapal yang digunakan pun berkapasitas sekitar 40 kg karena nelayan umumnya masih menggunakan motor kecil. Malahan ada yang lebih kecil lagi berupa perahu atau sampan yang dipasang mesin sehingga nelayan mikir dua kali menangkap ikan hingga ke laut lepas. Itu sebabnya mereka hanya berkuat di sekitar pantai atau pulau tempat mereka bermukim.
Ia berharap ada bantuan pemerintah untuk mendongkrak pendapatan nelayan. Misalnya, bantuan kapal 7-10 gros ton (GT), agar produktivitas bisa meningkat lebih dari 50 persen. Sehingga, di musim cuaca buruk para nelayan tak semakin terpuruk.