Masa Depan Siswa Harus di Atas Urusan Politik

Mengkaji Baik Buruknya Ujian Nasional

Ilustrasi : Denis

eQuator.co.id – Persiapan Ujian Nasional (Unas) 2017 benar-benar bising dibanding tahun sebelumnya. Sampai menjelang pergantian tahun, belum ada keputusan tentang ujian tahunan itu. Di tengah ragam pandangan yang keluar, pemerintah diminta fokus meletakkan kepentingan pendidikan nasional di atas segalanya.

Polemik penyelenggaraan Unas 2017 muncul setelah Mendikbud Muhahadjir Effendy menyampaikan hasil kajian internal mereka November lalu. Hasilnya cukup radikal, yakni menghentikan sementara (moratorium) penyelenggaraan unas. Penghentian itu diambil supaya Kemendikbud bisa berfokus untuk pembenahan standar pendidikan yang lainnya. Seperti kualitas fisik sekolah dan kompetensi guru.

Jika tidak ada perubahan, rencananya hari ini (19/12) rapat pamungkas tentang unas akan digelar dan dipimpin langsung oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi). Di dalam rapat ini, akan diputuskan apakah unas akan dilanjutkan atau dihentikan. Atau bisa juga unas tetap dijalankan tetapi dengan penyesuaian-penyesuaian yang baru.

Mantan Mendikbud Muhammad Nuh tetap menghargai apapun keputusan pemerintah. Dia juga menghargai upaya kajian penyelenggaraan unas yang dipimpin oleh Mendikbud Muhadjir. ’’Intinya urusan pendidikan nasional harus diletakkan di atas urusan politik,’’ katanya kemarin (18/12).

Nuh tidak ingin kebijakan pemerintah nantinya memaksakan penghapusan unas, lantaran untuk menjalankan Nawa Cita Presiden Jokowi. Sebab dalam turunan Nawa Cita Jokowi ada program penghapusan unas. Pertimbangan penghapusan unas adalah untuk meniadakan penyeragaman dalam sistem pendidikan nasional. Penghapusan unas juga diambil karena pertimbangan terjadinya kecurangan.

Mantan rektor ITS itu menjelaskan kalau ingin menghilangkan kecurangan di dalam penyelenggaraan unas, bukan unasnya yang dihapus. Melainkan praktik kecurangan yang diantisipasi. Dia lantas menganalogikan dengan praktik korupsi dalam proyek pembangunan jalan.

’’Dihapus saja itu proyek membangun jalan, supaya tidak ada korupsi,’’ paparnya.

Bapak satu anak itu mengatakan ujian dalam sebuah proses pendidikan adalah mutlak. Ujian atau evaluasi pendidikan bahkan menjadi salah satu dari  delapan satandar nasional pendidikan (SNP). Yang jadi persoalan saat ini, kata Nuh, ujian itu dilakukan di level kelas, sekolah, kecamatan atau rayon, kabupaten, kota, provinsi, atau nasional.

Nuh menceritakan ujian yang bersifat nasional, dengan beragam penyebutan, sudah dilakukan sejak sebelum Indonesia merdeka. Kemudian dilanjutkan di era kemerdekaan, orde baru, sampai era reformasi saat ini.

’’Di era Pak Harto, ujian yang bersifat nasional pernah dihentikan. Kemudian dipasrahkan ke sekolah,’’ jelasnya.

Namun setelah dievaluasi ternyata model seperti itu tidak menimbulkan kebaikan. Hasil penilaiannya tidak jelas. Kemudian diputuskan untuk digelar kembali ujian yang digelar pemerintah pusat atau nasional.

Jika nanti unas diserahkan ke guru atau sekolah, maka materi ujiannya disesuaikan dengan materi pembelajaran yang sudah dilakukan. Setiap sekolah memiliki acuan sendiri-sendiri, sesuai dengan proses yang berlangsung di sekolah masing-masing.

’’Kondisi seperti ini jelas tidak baik,’’ kata Nuh.

Sebab di dalam sistem pendidikan nasional, ditetapkan acuan ketuntasan belajar secara nasional pula. Dengan adanya ujian nasional, guru dituntut untuk mengejar acuan ketuntasan itu. Melalui cara ini, setiap lulusan di negeri ini memiliki standar ketuntasan belajar yang sama.

Nuh menegaskan, jika yang dipermasalahkan adalah tindak lanjut pembenahan setelah unas, maka itu harus dikejar. Pemerintah harus memacu pembenahan sekolah berbasis hasil unas. Pembenahan itu bisa dijalankan sambil lalu unas tetap digelar.

Tim ahli Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Jejen Musfah lebih sepakat unas dihentikan saja. Sebab baginya selama ini banyak sekali dampak negatif dari penyelenggaraan unas.

’’Bukan dihentikan selamanya. Nanti setelah beberapa tahun, bisa digelar unas kembali,’’ kata dia.

Dia khawatir Wakil Presiden Jusuf Kallah mendukung unas tetap lanjut karena tidak menerima laporan penyelenggaraan unas secara utuh. Dia mengatakan pernyataan bahwa unas bisa memicu siswa giat belajar itu tidak tepat. Bagi dosen UIN Syarif Hidayatullah itu, proses belajar harus berjalan setiap hari. Belajar harus jadi kebiasaan, bukan sekedar menyiapkan diri jelang unas.

Penyelenggaraan unas selama ini menurut Jejen juga menjadi pemicu nilai rapor tidak objektif. ’’Istilah para dosen, nilai rapor adalah nilai kasihan,’’ jelasnya.

Para guru memberikan nilai rapor rata-rata 7 poin dan 8 poin, untuk antisipasi seandainya nilai unas jeblok. Dengan nilai rapor yang cenderung tinggi-tinggi itu, siswa bisa aman meski nilai unasnya jelek.

Nah dengan dihentikannya unas, Jejen berharap sekolah bisa kembali objektif dalam memberikan nilai rapor. Nilai rapor yang objektif bisa menggambarkan konsistensi dengan proses belajar setiap siswa.

Ketika unas dihentikan sementara, sekolah bisa berfokus melaksanakan ujian akhir sekolah (UAS) seperti biasanya. Mata pelajaran yang diujikan di unas, dimunculkan ke dalam UAS.

Jejen juga mengkritisi keinginan Presiden Jokowi mengotonomikan pelaksanaan unas. Pelaksanaan unas diserahkan ke kabupaten/kota untuk jenjang SD dan SMP. Sementara untuk jenjang SMA dan SMK diserahkan ke provinsi. Jejen khawatir unas malah jadi kacau, karena keterbatasan SDM di daerah.

’’Mengotonomikan unas sama saja meminda masalah dari pusat ke daerah. Kalau berhenti, ya berhenti saja,’’ urainya.

Pengamat pendidikan dari Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Jimmy Paat mengatakan gagasan moratorium unas bukan suatu kesalahan. ’’Saya mendukungnya,’’ katanya. Alasannya adalah untuk menegakkan aturan undang-undang bahwa evaluasi itu ada di tangan guru.

Menurut Jimmy selama ini penyelenggaraan unas sudah gagal. Diantara pemicunya adalah terjadinya kecurangan. Baginya kecurangan dalam unas susah ditekan. Sebab murid dipaksa mengejarkan soal ujian, yang bisa jadi materinya belum diajarkan oleh gurunya.

Sedangkan jika ujian akhir dipasrahkan ke guru, soal ujiannya bisa disesuaikan. Kemudian guru yang ditugasi membuat soal ujian sendiri, kemungkinan kecil membuat bocoran kepada siswanya.

Berbeda, pengamat kurikulum Elin Driana menilai justru langkah untuk memberlakukan moratorium Unas merupakan langkah yang tepat. Pasalnya, fungsi dari Unas masih abu-abu. Dengan hilangnya fungsi Unas sebagai penentu kelulusan, saat ini Unas diakui pemerintah sebagai alat pemetaan kualitas pendidikan dan dasar seleksi ke pendidikan lebih lanjut. Namun, fungsi tersebut juga diakui tak baik.

Menurut dosen pascasarjana Universitas Muhammadiyah Prof Dr Hamka (Uhamka) itu, pendidikan wajib selama 12 tahun harusnya diperoleh secara adil. Karena itu, seleksi untuk jenjang SMP dan SMA dirasa tak perlu. Hal tersebut dirasa hanya bakal memperlebar jarak kesenjangan antara siswa mampu dengan yang kurang mampu.

’’Itu dibuktikan dengan hasil riset yang menyatakan bahwa hasil Unas dari siswa dengan latar belakang ekonomi mampu lebih tinggi dari siswa dari ekonomi rendah. Ini membuktikan kalau Unas pun bukan standar pendidikan yang adil dan setara,’’ jelasnya.

Dia mencontohkan sistem pendidikan Amerika Serikat (AS) yang menggunakan Scholastic Assessment Test (SAT). Ujian tersebut hanya ditujukan kepada siswa yang ingin melanjutkan ke kuliah. Sedangkan, siswa yang memilih untuk bekerja tidak diwajibkan untuk mengambil ujian tersebut.

’’Kalau sekarang, siswa merasa tertekan saat menghadapi Unas yang wajib. Dan perhatiannya tersita untuk berlatih soal Unas selama berbulan-bulan. Padahal, harusnya waktu tersebut dibuat untuk belajar sesuatu yang bermanfaat lagi,’’ jelasnya.

Pengamat pendidikan dari LIPI Titik Handayani mengungkapkan unas sebaiknya dihentikan sementara. Sudah waktunya pemerintah menggunakan hasil pemetaan dari unas sebelumnya untuk perbaikan input dunia pendidikan. Seperti perbaikan sarana prasarana, peningkatan kualitas guru, dan perbaikan kurikulum.

”Pemetaan sudah cukup. Saatnya perbaikan dulu. Sekarang masih jalan ditempat,” ujar dia kemarin (18/12).

Dia sebenarnya sependapat dengan Wakil Presiden Jusuf Kalla soal pentingnya unas sebagai salah satu tolak ukur standar mutu pendidikan nasional. Tapi, yang harus dicermati adalah input dunia pendidikan di Indonesi ini belum merata sepenuhnya. Yang masuk kategori input seperti sarana sekolah, guru, dan kurikulum. Bila input yang didapatkan siswa berbeda-beda tentu hasil output siswapun akan ada kesenjangan.

“Dari data pendidikan daerah kalau gurunya baik dan standartnya tinggi hasilnya unasnya juga bagus. Begitu pula sebaiknya,” ujar dia.

Menurut Titik dengan kacamata unas sebagai bentuk pemetaan, semestinya tidak dilakukan setiap tahun. Tapi dalam periode tertentu. Misalnya lima tahun sekali. Tapi, dengan catatan unas itu tidak dijadikan sebagai dasar penentu kelulusan siswa.

Dia dengan tegas mengkritik kemampuan siswa hanya ditentukan dalam beberapa jam saat ujian. Sedangkan proses belajar siswa selama tiga tahun misalnya seolah belum mendapatkan tempat.

Sebagai ganti unas, pemerintah bisa mempercayakan penilaian unas itu kepada guru dan sekolah. Tentu saja dengan tetap ada pengawasan agar sekolah bisa tetap fair memberikan penilaian untuk siswa.

”Kalau menyerahkan pada pemerintah daerah juga bukan tanpa masalah. Karena masih sedikit pemda yang mengalokasikan 20 persen APBDnya untuk pendidikan,” ungkapnya. (Jawa Pos/JPG)