eQuator.co.id – Jakarta-RK. Lokasi sidang kasus dugaan penistaan agama masih tawar menawar kendati Pengadilan Negeri Jakarta Utara (PN Jakut) telah menetapkan lokasi sidang di gedung PN Jakut, Jalan Gajah Mada. Polri meminta agar lokasi sidang tersebut diganti.
Korps Bhayangkara mengusulkan dua lokasi alternatif, yakni Pekan Raya Jakarta (PRJ) Kemayoran serta Bumi Perkemahan dan Graha Wisata Pramuka (BPGWP), Cibubur. Kepala Biro Penerangan Masyarakat (Karopenmas) Divhumas Mabes Polri Kombespol Rikwanto mengatakan bahwa Pekan Raya Jakarta (PRJ) Kemayoran dan BGPWP Cibubur, tepatnya di Gedung Serbaguna itu memang menjadi pertimbangan untuk lokasi sidang kasus penistaan agama tersebut.
”Ini terkait pengamanan,” terangnya ditemui di kantor Divhumas Mabes Polri kemarin.
Pertimbangan keamanan tersebut, diantaranya prediksi banyaknya jumlah orang yang ingin mengikuti proses sidang kasus dugaan penistaan agama tersebut. Kasus ini memang disorot banyak orang, tentu yang ingin melihat proses sidang menjadi banyak.
”Apalagi, soal kemungkinan adanya demonstrasi saat proses sidang tersebut,” tuturnya.
Apabila lokasi sidang kasus dugaan penistaan agama telah ditetapkan, tentu Polri akan membuat rencana pengamanan yang terbaik. Hal tersebut perlu dilakukan agar sidang berjalan tanpa tekanan atau intervensi dari pihak manapun.
”Jadi, secara umum Polri memastikan lokasi sidang belum diputuskan,” terangnya.
Rikwanto menuturkan, untuk jumlah personil yang dikerahkan hingga saat ini masih dalam pembahasan. Yang pasti, penentuan itu berdasar pada ancaman yang muncul. Misalnya, dari data intelijen diprediksi jumlah massa yang datang berapa.
”Harus diketahui dari mana saja masyarakat yang datang, siapa, lalu sampai kapan rencananya mengikuti sidang. Barulah, setelah itu ditentukan personil pengamanannya dan konsep pengamanannya,” paparnya.
Sementara Humas Pengadilan Negeri Jakarta Utara (PN Jakut) Hasoloan Sianturi menuturkan bahwa sebenarnya PN Jakut telah menetapkan lokasi sidang di gedung PN Jakut di Jalan Gajah Mada. Gedung tersebut merupakan gedung bekas PN Jakarta Pusat yang akan digunakan secara sementara oleh PN Jakut.
”Gedung PN Jakut saat ini direnovasi,” paparnya.
Tapi, usulan untuk perpindahan lokasi sidang tentu dengan pertimbangan yang baik. Menurutnya, mekanisme perpindahan lokasi itu seharusnya dilakukan oleh Ketua PN Jakarta Utara ke Mahkamah Agung (MA). Kewenangan perpindahan lokasi itu ada pada MA.
”Harus dapat izin MA semua itu,” jelasnya.
Apakah sudah ada usulan perpindahan lokasi secara resmi? Hasoloan mengaku belum mengetahuinya. Namun, sisi keamanan tentu perlu menjadi pertimbangan.
”Belum diketahui apa sudah ada usulan resmi,” paparnya.
Di sisi lain, Jaksa Agung Muda Pidana Umum (Jampidum) Noor Rachmad mengatakan, untuk kemungkinan perpindahan lokasi sidang tentunya tidak tertutup. Kalau berdasar lokasi kejadian dugaan penistaan, tentunya di PN Jakut.
”Tapi, bisa jadi dipindah,” ujarnya.
Ada beberapa pertimbangan untuk perpindahan itu. Namun, Noor tidak menjelaskan dengan detil apa saja pertimbangan tersebut.
”Nanti dululah ya,” ujar mantan Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara (Jamdatun) tersebut.
Perlu diketahui, PN Jakut telah menunjuk lima hakim untuk memimpin sidang controversial kasus dugaan penisataan agama yang menjerat Basuki Tjahaja Purnama. Yakni, dengan Hakim Ketua Dwiarso Budi Santiarto. Dwiarso juga merupakan Ketua PN Jakut. Empat hakim lainnya, yaitu Abdul Rosyad, Jupriadi, Joseph V Rahantoknam dan I Wayan Wijarna. Rencananya sidang akan digelar Selasa (13/12) pukul 09.00.
Sementara itu, Kepala Biro Hukum dan Humas Mahkamah Agung (MA) Ridwan Mansyur mengatakan bahwa pemindahan lokasi persidangan kasus penistaan agama dengan terdakwa Ahok dapat dilakukan. Hal itu apabila sudah ada permintaan atau rekomendasi pemindahan lokasi persidangan dari pihak Kejaksaan atau Polri kepada Ketua Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Utara yang menyidangkan kasus Ahok.
“Nah, kemudian Ketua PN Jakarta Utara menyampaikan permintaan pemindahan lokasi tersebut kepada Ketua MA disertai dengan alasan-alasan. Ketua MA nanti yang akan menentukan boleh tidaknya pemindahan tersebut,” kata Ridwan dihubungi Jawa Pos, kemarin.
Ridwan menjelaskan bahwa Kejaksaan atau Polri harus memiliki alasan yang relevan tekait pemindahan lokasi persidangan Ahok tersebut. “Misal alasan keamanan atau seperti pada Peninjauan Kembali (PK) Abu Bakar Baasyir di PN Cilacap karena alasan keamanan juga karena sudah diajak dalam perjalanan jauh karena sudah renta,” tuturnya.
Selain masalah keamanan dan kesehatan dari terdakwa, permohonan pemindahan lokasi persidangan juga dapat disebabkan hal lainnya, seperti ruang sidang yang sempit. Menurut Ridwan, persidangan kasus Ahok akan menyita perhatian banyak orang sehingga mengajukan ruang persidangan yang lebih luas dapat menjadi pertimbangan.
Dia juga menjelaskan bahwa meski lokasi persidangan dipindah ke tempat selain ruang sidang biasanya, pihak pengadilan harus memenuhi standar persidangan, seperti membuat ruang sidang dan kelengkapannya sama persis dengan ruang sidang pada umumnya.
“Protap ruang sidang harus tetap ada seperi bendera, meja hakim, dan sebagainya. Semua harus ada. Jadi tidak bisa menggelar sidang begitu saja,” ujarnya.
Meski telah banyak pihak yang mulai mengusulkan lokasi persidangan kasus Ahok di PN Jakarta Utara dipindah, Ridwan mengaku belum mengetahui adanya permohonan yang masuk ke MA tentang hal tersebut dari Ketua PN Jakarta Utara. “Belum ada, kalau pun sudah ada pasti akan langsung ditindaklanjuti karena sidang Ahok ini sangat disorot oleh masyarakat,” imbuhnya.
Koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) Petrus Selestinus mengatakan bahwa Jaksa Agung dan Ketua MA harus mempertimbangkan alternatif pemindahan loksi persidangan kasus Ahok ke pengadilan lain yang lebih netral dan aman dari jangkauan kelompok massa penekan. Hal itu sesuai dengan ketentuan yang ada di dalam Pasal 85 Undang-Undang (UU) Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Ketua PN Jakarta Utara dan Kepala Kejaksaan Negeri (Kejari) Jakarta Utara sebagai pihak yang akan menyelengarakan persidangan perkara atas nama terdakwa Ahok, juga diimbau mempertimbangkan penerapan-penerapan pasal tersebut. Dia menerangkan, pemindahan lokasi tersebut perlu jadi pertimbangan karena potensi persidangan dilakukan di bawah tekanan massa sangat mungkin terjadi.
“Mengingat ketika perkara ini sedang dalam proses pemeriksaan tahap penyelidikan dan penyidikan bahkan hingga perkara ini dinyatakan P21 oleh Kejagung pun, baik Kepolisian maupun Kejaksaan terus menerus menghadapi tekanan massa dalam jumlah yang sangat besar,” kata Petrus yang jga merupakan advokat Peradi tersebut.
Karena alasan tersebut, Kejaksaan maupun Ketua PN Jakarta Utara tidak boleh terlambat mengantisipasi perpindahan lokasi persidangan terdakwa Ahok, yakni dari PN Jakarta Utara ke PN lainnya di luar wilayah hukum PN Jakarta Utara. “Apakah di Denpasar, Papua atau NTT sebagai wilayah yang relatif lebih aman selama penyelenggaraan persidangan Ahok,” sarannya.
Selama ini, lanjutnya, pihak Kejaksaan, pengadilan, MA, dan Menteri Hukum dan HAM (Menkum HAM) sering memindahkan persidangan sebuah perkara pidana di luar yurisdiksi atau wilayah hukum PN yang seharusnya menyidangkan seorang terdakwanya atas alasan keamanan.
Seperti misalnya pemindahan lokasi persidangan terhadap kasus korupsi dengan terdakwa Soemarno Hadi Saputra, Walikota Semarang dari PN Semarang ke PN Jakarta Pusat pada Mei 2012 silam atas alasan keamanan, dan juga terhadap sidang kasus korupsi atas nama terdakwa Darius Lungguk Sitorus dari PN Padang Sidempuan ke PN Jakarta Pusat atas permintaan Jaksa Agung dengan alasan keamanan.
Dari Komisi Yudisial (KY), Juru Bicara KY Farid Wadji mengatakan bahwa KY menghimbau kepada seluruh pihak agar menjaga ketertiban persidangan dan menyampaikan apapun aspirasinya secara proporsional dan terukur.
Apapun hasil putusannya, Farid mengatakan bahwa jika ada pihak-pihak yang berperkara di dalam persidangan kasus penistaan agama tersebut merasa tidak puas, maka masih ada jalur yang telah diatur yakni, banding, kasasi, atau bahkan PK. Sementara jika diduga terdapat pelanggaran kode etik yang dilakukan hakim, maka gunakan mekanisme pelaporan yang berlaku baik di KY maupun MA.
Dia menjelaskan, berdasarkan kewenangan yg diberikan kepada KY melalui UU 18/2011, mengenai tindakan hukum dan tindakan lainnya, KY melakukan pengawalan terhadap kasus tersebut, pemantauan baik secara terbuka maupun tertutup.
“Namun demi menjaga kehormatan dan kemandirian persidangan maka apapun temuannya akan diproses setelah semua proses hukum selesai,” terang Farid.
“Sekali lagi, kepada seluruh pihak, hormati peradilan kita, komentari secara proper dan tanpa menyerang individu, serta tempuh apapun upayanya sesuai aturan. Berbagai tindakan di luar pakem tadi berpotensi menciderai tujuan penegakan hukum itu sendiri,” imbuh dia. (Jawa Pos/JPG)