eQuator.co.id – Jakarta-RK. Setiap tahun tidak kurang dari Rp 60 triliun uang negara tersedot untuk membayar tunjangan profesi guru (TPG). Namun secara nasional, belum berdampak pada peningkatan kualitas pendidikan yang signifikan. Itu tidak lepas dari proses pendidikan profesi guru (PPG) yang belum ideal atau sesuai ketentuan.
Dirjen Kelembagaan Iptek dan Pendidikan Tinggi Kemenristekdikti Patdono Suwignjo mengakui, PPG merupakan bagian dari proses pembelajaran di jenjang pendidikan tinggi. “Sehingga kitab saya adalah UU 12/2012 tentang pendidikan tinggi,” katanya kemarin.
Nah di dalam aturan UU itu dinyatakan, pendidikan profesi digarap perguruan tinggi dan berkolaborasi dengan organisasi profesi. “Sekarang PPG sudah jalan. Tapi belum ideal karena belum ada kolaborasi dengan organisasi profesi guru,” jelasnya.
Keberadaan organisasi profesi dalam sebuah proses pendidikan sangat penting. Sebab, organisasi profesi ini bisa memberikan masukan kurikulum pendidikan yang riil kepada perguruan tinggi. Patdono berharap, dalam waktu dekat sudah diputuskan ada organisasi profesi guru.
Terkait dengan organisasi yang ada sekarang seperti Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI), Ikatan Guru Indonesia (IGI), Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI), dan Persatuan Guru Nahdlatul Ulama (Pergunu), itu belum bisa dikatakan organisasi profesi. “Kalau perkumpulan, asosiasi, atau perhimpunan itu iya. Guru punya hak untuk berserikat,” tandasnya.
Patdono lantas mencontohkan pendidikan profesi guru yang melibatkan fakultas kedokteran dengan Ikatan Dokter Indonesia (IDI). Kemudian pendidikan profesi lainnya, juga melibatkan organisasi profesi masing-masing. Dia optimistis jika nanti sudah ada organisasi profesi guru, proses pendidikan profesi bisa ideal. Lalu guru yang lulus pendidikan, benar-benar profesional.
Dirjen Guru dan Tenaga Kependidikan (GTK) Kemendikbud Sumarna Surapranata mengakui, memang belum ada organisasi profesi guru sampai sekarang. “Bukan berarti saya mengerdilkan organisasi guru yang ada sekarang,” jelasnya. Dia mempersilakan guru untuk membuat organisasi atau berserikat. Tapi tidak lantas bisa ditetapkan sebagai organisasi profesi guru.
Kemendikbud, lanjut dia, sedang menggodok kriteria-kriteria organisasi profesi guru. Di antaranya adalah organisasi profesi semangatnya dari guru, oleh guru, dan untuk guru. Dia mencontohkan di IDI, semua pengurusnya mulai dari tingkat pusat sampai daerah adalah guru. “Tidak ada pengurus IDI yang bukan dokter. Misalnya kepala daerah atau profesi-profesi lain,” paparnya.
Pranata mengatakan pembenahan pendidikan profesi guru yang berjalan saat ini semata untuk peningkatan kualitas pendidikan. Dia mengakui anggaran negara yang tersedot untuk membayar TPG cukup besar. Sehingga ada tanggung jawab kepada masyarakat untuk menghadirkan proses pembelajaran yang baik.
Plt Ketua Umum PGRI Unifah Rosyidi mengatakan, organisasi profesi guru biarlah tumbuh dari kalangan guru sendiri. Tidak perlu ada intervensi pemerintah. Dia memahami posisinya sebagai dosen kerap menjadi sasaran tembak. Bagi Unifah, tidak perlu dipersoalkan apakah pengurus PGRI itu guru atau dosen. “Yang penting semangatnya mengawal perbaikan profesi guru,” tandasnya. (Jawa Pos/JPG)