eQuator – Apa yang diisyaratkan Futurolog Amerika, Alvin Tofler, bahwa dunia saat ini sudah memasuki era komunikasi, benar adanya. Saat ini, kemajuan teknologi informasi sudah sampai pada taraf yang menakjubkan, yang tidak pernah dicapai manusia sebelumnya.
Teknologi informasi saat ini bisa didapat dengan begitu mudah dan murah. Tidak perlu lagi kabel penghantar seperti sebelumnya untuk mendapatkan informasi dari seluruh dunia.
Cukup sekali sentuhan, dengan seketika informasi bermunculan dari layar Telepon Selular (Ponsel). Dunia semakin kerdil, jarak dan waktu kian mengecil. Jejaring sosial pun bermunculan, mulai dari friendster, facebook, twitter dan banyak lagi macamnya.
Bersamaan dengan itu pula, hampir semua aspek kehidupan manusia pun bertahap mulai menyesuaikan. Orang dengan mudah berkomunikasi antara satu dan lainnya tanpa terhalang jarak dan waktu, meski di belahan dunia manapun.
Bahkan tidak hanya komunikasi dua orang, komunikasi massa pun bisa dilakukan. Para penjual tidak perlu lagi turun ke lapangan untuk memasarkan dagangan mereka. Cukup upload, selesai!
Dunia terbelah, yang maya dan yang nyata. Saat ini, mungkin saja manusia lebih banyak berkomunikasi di dunia maya. Batasan yang maya dan yang nyata pun kian bias.
Seseorang secara fisik bisa saja berkumpul di satu meja, namun tanpa berkomunikasi satu sama lain. Mereka malah sibuk berkomunikasi di dunia maya dengan Ponsel sebagai medianya. Manusia ‘terasing’ di tengah-tengah manusia lain.
Di sini teknologi seperti pisau bermata dua. Bisa memudahkan manusia berkomunikasi, tetapi satu sisi, ya seperti itu tadi, teralienasinya kesadaran terhadap lingkungan nyata sekelilingnya. ‘Tertutup’ di tengah keterbukaan.
Tentu saja kita tidak bisa serta merta menyalahkan perkembangan teknologi. Perubahan zaman, bagi saya, adalah suatu yang niscaya. Ia tidak bisa ditolak siapapun.
Boleh jadi ada yang sanggup menolak perubahan zaman, tetapi saya percaya itu tak akan lama. Tiongkok yang dulu dikenal tertutup, justru menjadi negara yang sangat terbuka saat ini. Bersikap tertutup saat ini, hanya akan memperburuk keadaan.
Terbuka tidak harus telanjang. Kepiawaian memilah sangat penting dimiliki di era dunia yang semakin terbuka ini. Sikap selektif, proporsional serta etika harus dikedepankan, terutama terhadap berbagai informasi yang didapat.
Saya sendiri cukup miris, jejaring sosial justru menjadi media antisosial. Fitnah, hasutan serta kata-kata kebencian, baik terhadap agama maupun penganut kepercayaan tertentu dengan mudahnya ditemukan di jejaring sosial.
Sementara jejaring sosial tidak ubahnya ruang publik, bisa dilihat, ditanggapi, dikritik atau dikecam. Tidak heran, tindak kekerasan atau perkelahian di dunia nyata, berawal dari perkelahian di dunia maya. Sekali lagi, batasan antara dunia maya dan dunia semakin bias.
Regulasi yang dikeluarkan pemerintah, baik berupa Undang-Undang IT, maupun yang terakhir Surat Edaran Kapolri soal ujaran kebencian (hate speech), merupakan respons terhadap kondisi yang ada.
Tetapi yang lebih penting dari itu, menurut saya adalah kedewasaan sikap ketika bersentuhan atau masuk dalam dunia maya. Setidaknya memaklumi perbedaan yang ada, tanpa harus mencaci atau menghakimi. Sebagaimana etika di dunia nyata, begitulah seharusnya diterapkan di dunia maya. (Kiram Akbar)