Trump Cari Cara Stop Unjuk Rasa

Clinton Sebut FBI Faktor Kekalahannya

Donald Trump

eQuator.co.id – Gelombang unjuk rasa menolak kemenangan Donald Trump dalam pemilihan presiden (pilpres) AS 8 November lalu tak kunjung surut. Sebaliknya, jumlah massa yang tak mau mengakui taipan 70 tahun itu sebagai presiden mereka bertambah banyak. Kemarin (13/11) Trump terpaksa menggelar rapat terbatas dengan para penasihatnya.

Cara menghentikan unjuk rasa yang terus bergulir sejak Rabu (9/11) menjadi topik utama pertemuan penting pertama sang presiden terpilih di kediamannya, Trump Tower. Saat Trump dan orang-orang terdekatnya berdiskusi, massa anti-Trump berunjuk rasa di luar gedung pencakar langit tersebut. Tak hanya di Manhattan, ribuan orang juga berunjuk rasa di beberapa kota besar Amerika Serikat (AS) lainnya.

”Trump bukan presidenku,” teriak para demonstran yang melintasi Trump Tower kemarin. Mary Florin-McBride, salah seorang warga lanjut usia yang ikut berunjuk rasa, menyebut kemenangan Trump itu sebagai kerugian bagi Negeri Paman Sam. Menurut dia, suami Melania Knauss tersebut adalah sosok yang rasis, tak berkualitas, dan misogynist alias pria yang tidak bisa memperlakukan perempuan dengan hormat.

Media AS melaporkan, unjuk rasa di sekitar Trump Tower itu diikuti lebih kurang 10.000 orang. Unjuk rasa anti-Trump dengan jumlah massa yang sama besar juga pecah di Kota Los Angeles dan Kota Chicago. Seperti di New York, para demonstran memusatkan aksi di properti milik Trump. Sebagai raja properti, bapak lima anak itu punya beberapa gedung bertingkat di banyak kota besar AS.

Terkait unjuk rasa yang kian hari kian besar itu, Trump sempat kesal. Akhir pekan lalu dia menyebut aksi protes menolak kemenangannya tersebut unfair. Dalam cuitannya di Twitter, dia menyalahkan media yang dianggapnya memanas-manasi massa lewat laporan mereka. Baik dalam bentuk cetak, audio, maupun audio visual.

Namun, kemarin Trump mengubah sudut pandangnya terhadap unjuk rasa yang sudah berlangsung empat hari tersebut. Pengganti Presiden Barack Obama itu menyebut aksi protes yang menggelora di kota-kota besar AS tersebut sebagai passion negara demokrasi. ”Kita semua akan bekerja sama dan menjadi bangga!” tegasnya lewat Twitter.

Sejak menyandang predikat presiden terpilih, Trump terkesan berubah. Dia tidak lagi gampang berkomentar dan mengkritik segala sesuatu. Atas saran orang-orang dekatnya, Trump berusaha memperbaiki citranya di mata masyarakat. Terutama untuk memenangi dukungan 60,8 juta pemilih yang memberikan suara mereka bagi Hillary Clinton dalam pilpres 8 November.

Ya, suara yang memilih Clinton memang lebih banyak ketimbang Trump. Tapi, secara skor, pendiri Trump Foundation itulah yang unggul. Sebab, meski hanya mengantongi 60,3 juta suara, dia menang di seluruh swing states yang rata-rata punya skor besar dalam electoral votes. Itulah yang membuat host The Apprentice tersebut dinyatakan sebagai pemenang pilpres.

Sementara itu, Clinton yang mengaku legawa dengan kemenangan Trump menggelar pertemuan dengan para donatur politik Partai Demokrat pada Sabtu waktu setempat (12/11). Dalam konferensi yang dihadiri tokoh-tokoh partai itu, Clinton menyampaikan pidato penutupan yang diteruskan kepada para donatur partai lewat telepon. Dia menyebut FBI, tepatnya James Comey, sebagai faktor utama kekalahannya.

”Keputusan untuk membuka kembali kasus surat elektronik (e-mail) pada akhir Oktober lalu telah menghentikan momentum kita (untuk menang, Red),” ungkapnya seperti dilansir media AS. Kebijakan Comey itu, menurut Clinton, telah membukakan jalan kemenangan bagi Trump. Bahkan, ketika FBI akhirnya menyebut Clinton tak bersalah pun, Trump tetap diuntungkan.

”Ada banyak alasan yang membuat pilpres seperti ini tidak sukses. Tapi, analisis kami merujuk pada surat Comey sebagai perusak momentum,” tambah Clinton. Setelah pengumuman Comey pada 28 Oktober tersebut, dia mengaku shock. Apalagi, saat itu kubu Demokrat sedang berada di atas angin. Pengumuman FBI itu langsung membuat popularitas Clinton anjlok.

Meski pada 6 November keputusan FBI berpihak pada Clinton, mantan menteri luar negeri itu menyebut kebijakan tersebut tak banyak membantu. Sebaliknya, keputusan yang terkesan mendadak itu kembali membuat dukungan untuk Trump menguat. ”Itu justru seperti membenarkan klaim Trump bahwa capres Demokrat punya kekebalan yang lahir dari sistem yang tidak sehat,” keluhnya. (AFP/Reuters/CNN/BBC/hep/c10/fat)