eQuator.co.id – Jakarta-RK. Rencana pemerintah untuk membentuk induk usaha atau holding di bidang minyak dan gas (Migas) masih menuai suara pro dan kontra.
Ada anggapan bahwa tidak tepat PT Pertamina menjadi induk dengan memasukkan PGN ke dalamnya. Apalagi, konsepnya yang masih belum jelas. “Draft peraturan pemerintah (PP) sudah sampai di Setneg. Mumpung ada Wantimpres, jangan sampai (presiden) neken kalau belum firm betul,” ujar ekonom Faisal Basri di diskusi yang diselenggarakan Majelis Nasional KAHMI, Jakarta, kemarin.
Dia mengaku tidak paham dengan keinginan Kementerian BUMN. Alasan mantan ketua Tim Reformasi Tata Kelola Migas (RTKM) itu sederhana, permasalahan yang sedang dihadapi saat ini terkait dengan minyak. Produksi minyak dan gas ke depan akan terus menurun. Sebelumnya, SKK Migas juga sudah mengeluarkan data yang memprediksi melorotnya produksi minyak Indonesia sampai 2040.
“Tantangannya minyak. Tapi, itu urusin konsep di hilir. Syahwat Pertamina besar ingin menguasai PGN,” tegasnya.
Bukan tanpa sebab Faisal mengatakan seperti itu, sebab sektor bisnis keduanya disebut beda. Untuk PGN, bermain di sektor utilitas. Sedangkan Pertamina, menghasilkan barang atau produksi. Lebih lanjut dia menjelaskan, ada alternatif daripada memaksakan pembentukan holding. Yakni, membenahi terlebih dahulu Pertamina yang ingin dijadikan induk. Terutama, soal memperkecil gap antara kebutuhan energi yang mencapai 1,6 juta barel per hari (bph) dengan kemampuan produksi nasional sebesar 803 ribu bph.
Dia makin khawatir, kalau terus dipaksakan rencana itu justru membuat kinerja masing-masing perseroan jadi tidak maksimal. Fakta lain yang dia pakai untuk tidak sejalan dengan pembentukan holding energi adalah data produksi migas. Cadangan minyak dari 2005 sampai akhir 2015 turun dari 4,2 miliar barel menjadi 3,6 miliar barel.
Sedangkan cadangan gas, naik di periode yang sama. Dari 2,5 triliun kaki kubik menjadi 2,8 triliun kaki kubik. Konsep holding yang memasukkan PGN ke Pertamina, mengesankan pembentukannya hanya untuk masalah gas. “Masalah bangsa ini lebih kepada minyak, bukan soal gas,” tegas Faisal.
Di tempat yang sama, Ketua Dewan Pertimbangan Presiden Sri Adiningsih tidak mau terlalu menanggapi kritikan Faisal Basri. Dia mengatakan, presiden punya perhatian besar terhadap industri Migas, karena posisinya sangat strategis. Malah, dulu pendapatan negara hampir semuanya dari migas.
Posisi Indonesia di Asean soal minyak masih besar meski cadangan terbuktinya di dunia tergolong kecil. Pemerintah menyadari, cadangan gas Indonesia masih sangat besar. Namun, belum bisa memanfaatkan potensi dengan maksimal karena belum terbangunnya infrastruktus gas yang merata. “Seharusnya harga bisa murah. Tapi di industri dan daerah masih mahal,” ujar Sri. (jpg)