Hoax, Sudah Lama Dimainkan Orang Tak Bertanggung Jawab

Mencuatnya Rumor Sejumlah ‘Obat Warung’ Berbahaya

CARI PENYEMBUH. Warga membeli obat di salah satu apotek di Pontianak, Sabtu sore (24/9). IMAN SANTOSA

eQuator.co.id –  Isu larangan mengonsumsi obat kembali beredar di berbagai wilayah tanah air. Kali ini larangan mengonsumsi obat-obatan yang diperjualbelikan di warung maupun apotek.

 

Achmad Mundzirin dan Iman Santosa, Pontianak

 

Obat-obatan yang diisukan dilarang untuk dikonsumsi meliputi, Paramex, Inza, Inzana, Contrex dan Contrexyin, Hemaviton Energy Drink, Hemaviton Action, Bodrex dan Boderxyn, Natur E, Super Tetra, dan Stop Cold.

Alasan dilarangnya konsumsi obat-obatan tersebut karena jumlah prosentase PPA-nya lebih dari 15 persen. Dan telah terjadi bencana kematian sebanyak 13 orang di Cianjur, dua orang di Palangka Raya, 15 orang di Palu, dan 20 orang di Jayapura, karena mengonsumsi obat tersebut.

Walhasil, obat-obatan ini disebut mengandung racun yang amat berbahaya. Terutama terhadap produksi reproduksi tubuh manusia, dalam hal ini kualitas sperma dan sel telur.

Kemudian,l obat-obatan ini dinyatakan tidak bisa dikembalikan ke distributor/pabriknya apabila rusak, sementara obat tersebut sangat berbahaya bagi masyarakat yang mengonsumsinya. Masih dalam tataran rumor juga, obat-obatan tersebut diproduksi melalui proses yang tidak higienis di pabriknya.

Penasaran dengan isu yang mengatasnamakan Kepala BPOM RI tersebut, Rakyat Kalbar bertandang ke sejumlah apotek di Kota Pontianak. Di Apotek Pelangi yang berada di Jalan Mohammad Yamin, Kota Baru, obat-obat yang disebutkan tersebut masih tersedia.

Menurut Siska, salah seorang karyawati di apotek tersebut, ia tidak mengetahui kabar ini. Menurutnya jika memang obat-obat tersebut dilarang seharusnya akan ada sosialisasi dari pihak berwenang.

“Kalau memang resmi harusnya akan ada informasi resmi, ini nggak ada sejauh ini,” jelasnya, Sabtu (24/9).

Menurutnya obat-obat tersebut hanyalah obat pelengkap di apoteknya sehingga tidak termasuk dalam daftar obat wajib apotek. Selain itu, obat-obat tersebut dijual bebas di pasaran.

“Obat-obat yang disebutkan itu semuanya obat bebas, bisa didapatkan dengan mudah, kalau memang ditarik, seharusnya dari distributor lakukan,” tambahnya.

Kata dia, obat-obat tersebut termasuk obat bebas sehingga tidak dibutuhkan pengawasan apoteker untuk memperolehnya. “Di warung-warung juga ada kalau obat-obat bebas ini,” ungkap Siska.

Senada, penjaga Apotek Felicia di Jalan Mohammad Yamin, Agus Winarto. Ia pun belum mendengar informasi tersebut. Terkait penjualan, Agus tidak mengetahui secara pasti, namun menurutnya tidak ada perubahan berarti dalam beberapa waktu belakangan ini.

“Yang pasti obat-obat inikan hanya pelengkap, bukan obat wajib,” jelasnya.

Anto (33 tahun), warga yang sedang menebus obat di salah satu apotek tersebut merasa cukup familiar dan sering menggunakan obat tersebut. “Saya pakai paramex biasa, inzana juga,” ujarnya. Dan, hingga kini tak ada efek berbahaya terhadap diri dan keluarga Anto.

Meski begitu, ia mengaku khawatir jika benar obat-obat tersebut termasuk berbahaya. Menurutnya, pemerintah harus memberikan tindakan tegas pada perusahaan yang memproduksinya.

“Ya ditariklah kalau berbahaya, jangan sampai ada korban, harus dihukum,” ujarnya. Bagi Anto, isu ini meresahkan karena bisa membuat masyarakat menjadi ragu.

Dikonfirmasi, Kepala BPOM Pontianak, Qory Panjaitan dengan tegas menyatakan larangan mengonsumsi obat-obatan itu tidaklah benar. Hanya isu semata.

“Informasi itu hoax alias tidak benar. Bahkan sudah lama dimainkan oleh orang-orang yang tidak bertanggungjawab. Obat-obat yang disampaikan itu bagus, seperti Paramex,” jelasnya.

Qory menegaskan, jangan sampai ada yang mempercayai larangan tersebut. Jika itu benar, tentu BPOM terlebih dahulu mengumumkannya dan mengambil tindakan di lapangan. “Itu hanya isu, hoax. Jadi jangan dipercaya,” tegas dia.

Isu ini muncul bukan hanya sekali atau dua kali. Melainkan sering kali dimunculkan. Tidak hanya di Kalbar, tetapi di daerah Indonesia lainnya.

“Dan ini kita sampaikan, informasi atau surat keputusan itu tidak benar,” ungkap Qory. (*)