Tapal Batas, Kawasan Ringgit dan Rupiah Berteman Dekat

LAYANAN KESEHATAN. Puskesmas Kecamatan Empanang, foto diambil beberapa waktu lalu. Inzet: Matius Rawing Andreas-RK

eQuator.co.id – 71 tahun bukan sembarang usia. Tapi, khalayak menyebut kemerdekaan rakyat Indonesia dalam umur setua itu masih tataran mimpi. Impian bersama akan kesejahteraan bagi semua maupun pemerataan pembangunan dalam berbagai aspek. Mau itu sosial, ekonomi, politik, hingga budaya.

Lihat saja kesejahteraan masyarakat yang hidup di tapal batas negara. Jauh panggang dari api. Ketergantungan barang berlabel Made in Malaysia selalu terjadi. Suplai barang negeri sendiri tidak mampu menembus hingga ke sana.

“Untuk makanan hari-hari seperti gula saja, kita kalau mengharapkan dari sini (Indonesia) mahal,” tutur Matius Rawing, warga Desa Bajau Andai, Kecamatan Empanang, ditemui di Putussibau, Kapuas Hulu, belum lama ini.

Masyarakat di kecamatan itu kebanyakan bekerja sebagai buruh kebun sawit. Kata Rawing, gajinya sehari cuma belasan ribu rupiah saja.

“Sedangkan untuk beli gula 1 kilo bisa mencapai Rp20 ribu. Kalau beli gula dari Malaysia paling Rp10 ribu perkilo,” bebernya.

Perekonomian Indonesia saat ini yang tengah morat-marit, lanjut dia, cukup menjadi alasan masyarakat perbatasan memilih bertahan hidup dengan cara apapun. Memenuhi kebutuhan keluarga, tak peduli apakah barang yang didapat bukan berasal dari negara sendiri.

Komoditi andalan masyarakat, seperti karet, yang dulunya pernah jaya kini meredup. Beruntung masyarakat di perbatasan masih alternatif lain: lada (sahang). Prospeknya cerah, itupun karena memasarkannya langsung ke negeri jiran.

Sebenarnya, menurut Rawing, masyarakat perbatasan sangat terbantu dengan kehadiran perkebunan kelapa sawit.

“Jadi, untuk menutup pengeluaran, masyarakat bekerja di kebun sawit dan karet. Tapi juga berusaha kebun sahang (Lada). Namun, tetap saja, ekonomi masyarakat masih lemah karena mayoritas petani karet yang harganya jauh menurun. Banyak yang nggak noreh (menyadap) lagi,” ungkapnya.

Selain itu, masyarakat perbatasan menjual hasil kreativitas mereka sebagai pengrajin. Barang-barang terbaik dijual ke Malaysia.

“Seperti anyaman, tenunan. Kalau untuk buah-buahan belum. Tapi peternakan, babi, langsung terima mata uang,” terangnya.

Ringgit dan rupiah di tapal batas memang berteman dekat. “Nggak sulit menukar ringgit, kita belanja menggunakan rupiah belanja di sana juga diterima mereka,”  ucap Rawing.

Kecamatan Empanang sendiri terbagi enam desa, untuk sampai ke Malaysia menggunakan sepeda motor hanya memakan waktu sekitar setengah jam. Disebutkan Rawing, jaman dulu ke Malaysia bisa ditempuh dengan berjalan kaki, namun sekarang tidak lagi.

Meski diwarnai keterbatasan, pembangunan di bidang kesehatan Kecamatan Empanang sudah membaik. Pembinaan cukup intens dari Dinas Teknis dengan ujung tombaknya, petugas Puskesmas. Mereka sering turun melakukan sosialisasi pencegahan penyakit dan tips-tips kesehatan lainnya.

“Bahkan kita antardesa kadang berlomba-lomba untuk menata pembangunan di bidang kesehatan, nanti ada tim penilainya,” ucap dia.

Demikian juga di bidang pendidikan. Pembangunan pendidikan di sana tengah digalakkan yang didukung seluruh komponen masyarakat. Kondisi guru mulai membaik, karena orangtua murid kritis.

“Tidak seperti dulu, kalau guru ndak ngajar dibiarkan, sekarang orangtua murid ndak mau. Kalau sampai datang dan pulang ndak diajar, benar-benar otomatis orangtua murid menegur,” imbuh Rawing.

Pihak desa pun, melalui ADD dan Dana Desa, sangat mendukung sarana pendidikan. Penganggaran dibuat secermat mungkin. Contohnya, pembangunan gedung PAUD di Desa Bajau Andai hampir rampung. Kemudian, di Empanang, juga rencananya akan dibangun SMA.

Dengan fasilitas pendidikan yang memadai, warga perbatasan bisa mengenyam pendidikan di negeri sendiri. “Kalau sekolah ke Malaysia ndak ada dari desa kita, kecuali orangtuanya bekerja di sana atau dia melahirkan di Malaysia, ya tetap sekolah di sana. Yang bekerja di perusahaan (Malaysia) banyak, pihak perusahaan menerapkan aturan mereka dengan baik soal gaji,” tutup Rawing.

Sementara itu, Badan Pengelola Perbatasan (BPP) Kapuas Hulu bersama petugas dari Asisten Deputi (Asdep) Batas Darat Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP) RI belum lama ini menyusuri kawasan perbatasan sejumlah kecamatan setempat.

Dari perjalanan selama tiga hari itu, tim  menyaksikan sendiri kesenjangan sosial, kondisi infrastruktur jalan, pelayanan publik, hingga keluhan-keluhan dari para Aparatur Sipil Negara (ASN) yang mengabdi di sana. Para ASN mengeluh gaji tanpa insentif dan tunjangan khusus perbatasan.

Menurut Serli, Sekretaris BPP Kapuas Hulu, untuk mengatasi kesenjangan sosial di tapal batas, sedikitnya ada tiga faktor yang harus diberdayakan. Pertama, dana. Perlu anggaran besar dari APBN untuk membangun infrastruktur. Tak cukup jalan dan jembatan, PLBN (pos lintas batas negara) juga harus ada.

Kemudian, pembangunan harus fokus pada pengelolaan ekonomi masyarakat, termasuk pelayanan listrik dan air. “Untuk potensi di perbatasan, umumnya berpijak pada perkebunan dan sedikit lahan sawah. Karena lahan yang tersedia merupakan lahan gambut, perbukitan, serta lembah,” tuturnya.

Dijelaskan dia, landasan hukum membangun kawasan perbatasan terdapat di Pasal 361 ayat (2) Undang Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. “Mari analisa pasal itu. Pengelolaan kawasan perbatasan merupakan kewenangan pemerintah pusat. Kewenangan yang berkaitan dengan rencana detail tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pembangunan sarana dan prasarana,” paparnya.

Maka, setiap BPP kabupaten/kota atau provinsi diatur dan ditetapkan sebagai kelembagaan pusat yang berada di daerah. Sehingga, BPP sebagai perpanjangan tangan kementerian/nonkementerian di perbatasan negara. Lembaga ini dipimpin pelaksana harian sekretaris jenderal atau sebutan lain yang merupakan pejabat tinggi pratama. Sebagai perekat dengan Pemda, Bupati/Walikota ex officio Kepala BPP.

“Kepala daerah bertanggung jawab kepada pengelola kawasan perbatasan,” beber Serli.

Mantan Camat Putussibau Selatan ini selanjutnya mengatakan, pendanaan dari APBN juga harus diarahkan untuk pemberdayaan kinerja ASN yang bertugas di kecamatan kawasan perbatasan. Karena mereka ujung tombak pembangunan perbatasan, juga para aparatur pemerintahan desanya.

“Kesejahteraan mereka mesti diperhatikan negara,” ujarnya.

Lanjut Serli, ASN yang bertugas di perbatasan gajinya sama dengan di daerah nonperbatasan. Tetapi, mereka dihadapkan serba keterbatasan fasilitas kerja, sarana kantor, biaya hidup yang tinggi, dan jauhnya jangkauan menuju Ibukota Kabupaten. Biaya transportasi antarkecamatan dan desa pun tinggi.

Karena itu, harus ada metode khusus sebagai langkah awal mencapai sasaran pembangunan. Akan tetapi, lantaran selalu mencari jurus jitu, maka metode tersebut kerap berubah-ubah. Padahal yang penting adalah kualitas implementasinya.

“Apalah artinya uang banyak, metode yang hebat, kalau tak dibarengi dengan para pelaksana yang berkualitas, kredibel dan akuntabel,” ulas Serli. (*)

Andreas, Putussibau