eQuator.co.id – Sebagai wartawan olahraga, Kholili Indro sangat dekat dengan banyak atlet. Kedekatan itu pula yang membuat mereka begitu kehilangan ketika Kholili tutup usia.
Bugiarso, mantan petinju juara kelas superbantam PABA (Pan Asia Boxing Association), punya kenangan yang tidak bisa dilupakan dengan Kholili Indro. Pada awal 1990-an, belum banyak wartawan yang berkunjung ke Sasana Akas Probo¬linggo, tempat bernaung Bugiarso. Namun, seingat Bugi, sapaan Bugiarso, Kholili termasuk yang sering menemuinya seusai latihan.
Tidak hanya menjalankan tugas sebagai wartawan, Kholili, di mata Bugi, adalah sosok yang juga bisa menjadi teman. “Orangnya menyenangkan dan enak diajak ngobrol. Saya sering minta bocoran calon lawan kepada Mas Kholili,” kata Bugi, Minggu (24/7).
Kesan mendalam juga dirasakan Andrian Kaspari, mantan juara kelas bantam IBF (International Boxing Federation). Kholili adalah satu-satunya wartawan Indonesia yang mendampingi Andrian saat menantang juara dunia Tim Austin pada 30 Mei 1998 di Las Vegas, Amerika Serikat (AS). Sayang, perjuangan Andrian merebut sabuk juara dunia kandas. Dia kalah TKO pada ronde ketiga.
“Mas Kholili sering kasih motivasi kepada saya,” kenangnya. Andrian pun mengingat pertemuan terakhir dengan Kholili sekitar empat bulan lalu. Mereka bertemu setelah salat Jumat di masjid dekat kediaman Kholili di kawasan Jambangan, Surabaya. “Saat bertemu, beliau masih tetap semangat meski terus menjalani kemoterapi,” ungkap mantan petinju yang kini berusia 44 tahun itu.
Selain dekat dengan kalangan tinju, Pak KO –sapaan akrab Kholili di redaksi Jawa Pos —istimewa di mata komunitas sepak bola nasional. “Pembawaannya yang ramah dan murah senyum belum tergantikan. Dia tidak pernah berhenti memberitakan Persebaya. Tulisannya bisa memberikan energi ekstra saat spirit pemain sedang down karena kalah,” kata Maura Hally, mantan pemain Persebaya Surabaya.
Subangkit yang juga mantan pemain Persebaya menyebut Kholili sebagai wartawan istimewa. Terutama dalam hal pendekatan kepada pemain. “Jawa Pos dan Kholili adalah satu kesatuan. Pembawaannya yang tenang membuat para pemain kalau diwawancarai selalu nyaman. Gaya tulisannya tidak ada duanya,” kata pria yang kini menjadi pelatih Mitra Kutai Kartanegara (Kukar) itu.
Sebagai wartawan olahraga, karir Kholili sudah lengkap. Selain menunaikan ibadah haji yang sesungguhnya, Pak KO telah “berhaji” dari sisi wartawan olahraga. Yakni meliput langsung Piala Dunia 2002 di Korsel dan Jepang. Selain itu, bapak dua anak tersebut berpengalaman meliput event-event besar olahraga. Di antaranya adalah Olimpiade Sydney 2000, Asian Games Qatar 2006, dan SEA Games Laos 2009.
Meski basic skill-nya adalah wartawan tulis, Kholili juga piawai menjadi jurnalis foto. Karya fotografinya tidak kalah dengan fotografer. Bahkan, dia beberapa kali mendapatkan penghargaan. Salah satunya adalah Piala Prapanca 1994 dari PWI Jatim. Ketika menjadi redaktur, penggemar klub Inggris Arsenal itu sering mengingatkan para wartawan olahraga Jawa Pos untuk selalu membawa kamera saat melakukan tugas peliputan. Kholili juga tidak segan berbagi ilmu fotografi kepada siapa saja.
Pada medio 2010, Kholili mengungkapkan kabar mengejutkan. Dia terserang kanker kelenjar getah bening. Penyakit ganas itu dengan cepat melucuti kekuatan pria kelahiran Desa Indrodelik, Kecamatan Bungah, Kabupaten Gresik, tersebut. Namun, Kholili tidak menyerah begitu saja. Di tengah perjuangannya menjalani kemoterapi, dia tetap bersemangat menunaikan tugas jurnalistik. Kholili dipercaya sebagai penanggung jawab rubrik sepak bola nasional di halaman Sportainment.
Meski kondisinya terus menurun, semangat Kholili tidak pernah kendur. Dia tetap menjalankan tugas dengan penuh tanggung jawab. Kebetulan, Pak KO adalah kru paling senior di kompartemen Sportainment. Perbedaan usia yang cukup jauh dengan rekan kerja dan wartawan tidak membuat Kholili menjauh. Dia tetap dekat. Celetukan-celetukannya ketika mengomentari pertandingan bola di layar kaca begitu menyegarkan. Dia juga aktif memberikan ide saat berdiskusi di grup WhatsApp.
Suatu ketika, setelah menjalani kemo yang ke-35, Kholili berseloroh telah mengukir rekor. Sebab, tidak ada yang bertahan menjalani kemo sebanyak itu. Ya, Kholili memang sosok yang tangguh. Dia melakoni kemoterapi sampai lebih dari 40 kali. Dan Sabtu malam itu (23/7), Kholili akhirnya mengembuskan napas terakhir di RS Husada Utama Surabaya pada usia 53 tahun.
Kabar meninggalnya Kholili mengejutkan insan olahraga. “Sebagai pemain yang dibesarkan Jawa Pos, saya sangat terpukul atas meninggalnya Kholili. Dia adalah wartawan sekaligus kawan dekat saya,” kata Mustaqim, mantan penyerang Persebaya dan timnas Indonesia. ”Kehilangan besar. Kholili adalah contoh wartawan yang bisa menjadi panutan bagi wartawan lain,” ujar Subodro, mantan pelatih Green Force, julukan Persebaya.
“Mas Kholili adalah saksi dan peliput setia Petro sejak Liga Indonesia I. Dia juga yang memberi Petro gelar sebagai tim juara tanpa mahkota. Saya berduka sedalam-dalamnya,” kata Widodo Cahyono Putro, eks penyerang Petrokimia Putra Gresik dan timnas yang kini menjadi pelatih Sriwijaya FC Palembang.
Tidak hanya menjadi wartawan yang menghasilkan karya-karya hebat, Kholili juga pribadi yang ramah dengan siapa pun. Termasuk dengan narasumber. Dondo Sugiarto, putra mantan promotor tinju (almarhum) Herry “Aseng” Sugiarto, sangat mengenal sosok Kholili. “Pak Kholili punya dokumentasi foto yang sangat lengkap soal petinju-petinju almarhum bapak,” ucapnya.
Kenangan indah akan Kholili juga dirasakan Fifi Laksono, putri promotor legendaris mendiang Setijadi Laksono. Menurut Fifi, hampir tiap hari Kholili mengunjungi Sasana Sawunggaling. “Pak Kholili baik banget. Beliau tahu banyak tentang sejarah Sawunggaling. Terakhir aku masih kontak-kontakan dengan beliau lewat Facebook,” kata Fifi. (*)
Jawa Pos, JPG