Beredarnya Lambang Palu-Arit ke Kalbar, Ada Tangan Elitis di Kalender Komunis

ALMANAK PALU ARIT. Polisi menunjukkan gambar palu arit dalam kalender Tiongkok yang gampang dibongkar pasang, di Polres Singkawang, Kamis (30/6). SUHENDRA-RK

eQuator.co.id – Pontianak-RK. Ditemukannya kalender berlambang palu-arit di Kota Singakawang dan Sekadau baru-baru ini, mengusik sebagian besar rasa ke-Indonesia-an masyarakat Kalbar secara khusus.

Alasannya jelas, karena negara berlambang burung garuda ini punya kenangan buruk terhadap logo yang menjadi lambang internasional partai komunis tersebut. Kemudian tidak mengizinkan sejengkal tanahnya untuk ideologi komunis bisa hidup lagi di Indonesia.

Guru Besar juga Pengamat Hukum dan Politik Universitas Tanjungura (Untan) Pontianak, Dr. Firdaus, SH, M.Si mengatakan, persoalan ini tidak bisa dianggap remeh dan dipandang dari satu sisi saja. Terlepas disengaja atau tidak, masuknya kalender impor itu ke Singkawang, terdapat satu potensi masalah besar yang selama ini memang sudah ada. Yakni upaya melakukan dominasi etnis Cina di sana.

Dalam konteks yang lebih luas, Firdaus menilai terdapat tangan-tangan oknum elit atau tokoh-tokoh Cina di Singkawang yang selama ini mencoba “menggeser” kepentingan politik nasionalis, menjadi kepentingan politik kelompok.

Belakangan ini, dia memandang perkembangan kebudayaan Cina di Singkawang cukup luar biasa. Bahkan sejak beberapa tahun silam. Hal ini tentu dianggap positif, jika masih dalam batas-batas kewajaran. Apalagi Indonesia sangat memberikan ruang untuk itu.

Sejak zaman orde baru, selesai pecah tragedi kemanusiaan tahun 1965, atau yang dikenal dengan insiden pemberontakan Gerakan 30 Sepember Partai Komunis Indonesia (G30S-PKI), Soeharto mengeluarkan program asimilasi di Indonesia, diperuntukkan bagi warga negara luar tinggal di Indonesia. Kemudian berlanjut lagi pascareformasi dengan nama dan bentuk yang berbeda.

“Dulu orang-orang Cina pada masa orde baru diusahakan untuk diasimilasikan. Dalam artian, mereka masuk ke dalam tubuh bangsa Indonesia. Setelah reformasi, dari asimilasi kemudian menjadi integrasi. Kesukuan mereka diakui, huruf-huruf aksara Cina dapat diedarkan,” kata Firdaus kepada Rakyat Kalbar, Sabtu (2/7), di Gedung Fakultas Paska Sarjana Hukum Untan Pontianak, Jalan Imam Bonjol Pontianak.

Namun seiring berjalannya waktu, adanya oknum elitis yang tidak puas. Sengaja mendorong agar etnik dapat lebih dominan dengan tujuan kepentingan praktis? Dalam konteks global, kata Firdaus, orientasi budaya yang tumbuh dan kemudian diorbitkan, dengan cara menghimpun diri, yang pada gilirannya seolah terpisah dari bangsa Indonesia.

“Kenapa setiap perayaan Imlek, yang harus dibangun adalah Tembok Besar. Dimana kebanggaan terhadap Indonesia misalnya, kenapa tidak bangun saja Borobudur? Kenapa harus Tembok Besar? Jadi orientasi budayanya diarahkan ke sana (Cina). Siapa yang mengarahkan? Elit-elit masyarakatnya. Untuk apa? Untuk kepentingan politik,” katanya.

“Makanya, pemilihan walikota pun bergeser, dari pemilihan individu menjadi pemilihan ke antaretnik. Seharusnya basis dukungan yang diberikan, lebih melihat kualitas individu bukan kesukuannya,” sambung Firdaus.

Lagi pula menurutnya, sulit mencari alasan mendasar bahwa etnis Cina harus lebih berkiblat ke Republik Rakyat Tiongkok (RRT) ketimbang Indonesia. Karena lebih dari yang diberikan, warga etnis Cina tak hanya telah diakui kewarganegaraannya di Indonesia, tapi juga mendapatkan hak-hak yang sama dengan warga pribumi, seperti kepemilikan tanah dan lainnya, termasuk juga hak politik.

“Kalau dikatakan tidak sengaja, iya. Tapi lambang itu (palu-arit) dilarang juga iya. Oke, kalau masalah kesukuan itu ‘terberikan’, artinya dia tidak bisa memilih, tapi ketika masuk menjadi warga negara Indonesia, rubahlah orientasi. Dimulai dari budaya, jangan terlalu eksesif. Karena ini juga yang dilakukan oleh Perancis. Kenapa orang Islam di sana tidak boleh mengenakan kerudung, karena mereka diangggap eksesif, karena dianggap seolah memisahkan diri dengan orang Perancis,” jelas Firdaus.

Secara teori, pola dasar warga kebangsaan Cina dikenal dengan sebutan cosmopotalisme atau warga dunia. Dengan kata lain, dimana saja negara, mereka bisa hidup, dengan tetap memiliki ikatan yang kuat terhadap leluhurnya. Dalam konteks hubungan kewarganegaraan asing dan orientasi terhadap leluhur itulah, menurut Firdaus, yang berpotensi menjadi sumbu konflik di Indonesia. Karena rentan disusupi dengan bumbu ‘legitimasi’ sejarah G30S-PKI.

“Itu problemanya. Ini harus menjadi perhatian oleh elit,” tegasnya.

Dia khawatir, jika yang tadinya hanya sebatas pada persoalan orientasi kesukuan, namun kemudian dimafaatkan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab—baik dari dalam maupun luar negeri—dengan tujuan merusak persatuan dan kesatauan antarwarga Negara. Misalnya dengan cara mengembuskan issu keterkaitan antara etnis tertentu dengan ideologi tertentu. Maka perpecahan hanya tinggal menunggu waktu.

“Jangan membesar-besarkan perbedaan etnik, itu bisa menjadi bom waktu, yang suatu saat bisa meledak. Kasihan masyarakat kecil yang tidak tau apa-apa, yang petani misalnya, mereka yang tidak mengerti politik,” ungkapnya.

Terkait dengan keberadaan kalender berlambang palu-arit yang menjadi pertanyaan banyak pihak. Kenapa penanggalan 12 bulan tersebut harus diimpor dari Cina? Kenapa tidak menggunakan kalender berbahasa Indonesia, atau sekurang-kurangnya gunakan kalender aksara Cina, namun tetap dengan terjemahan bahasa Indonesia.

“Undang-Undang tantang Bahasa mengharuskan, bahwa setiap transaksi harus menggunakan bahasa Indonesia. Ini yang harus pemuka-pemuka etnis Cina sadari, ada orientasi yang salah yang dimaksudkan di sini,” ujar Firdaus.

Solusi benang merah dari pandangan Firdaus ini, elit harus menggiring dan menjaga sekuat tenaga masyarakatnya, agar tetap pada rel pemahaman dan ideologi Pancasila. Dimana status kewarganegaraan yang dilekatkan, pada dasarnya menunjukkan status hubungan hukum mengenai hak dan kewajiban antara warga dengan negara. Dalam artian, satu sisi negara memiliki kewajiban melindungi dengan memberikan hak yang sama, namun disisi lain, yang diberikan hak pula, mempunyai kewajiban untuk setia kepada negara.

“Kalau Anda mengakui sebagai warga negara Indonesia, Anda harus rela mati demi Indonesia. Tapi kalau kebanggaan terhadap negara tidak ada, bagaimana dia bisa setia mati buat negara? Ini masalah orientasi budaya. Jangan hanya menuntut persamaan hak, tapi pada dimensi hubungan emosional terhadap negara itu yang seharusnya dibangun. Nah, sayangnya elit-elitnya tidak mengarahkan mereka seperti itu,” kata Firdaus.

Secara umum, menurut Firdaus, terdapat dua Pekerjaan Rumah (PR) yang harus dikakukan ke depan, bagi pemerintah daerah. Bagaimana nilai-nilai kebangsaan dapat dikuatkan di tengah masyarakat. Kemudian peran elit sendiri agar bagaimana orientasi budaya yang terlalu berlebihan atau eksesif tersebut bisa direm.

“Saya berharap kasus ini tidak membesar. Tinggal bagaimana elit-elit ini berperan menanamkan ke-Indonesia-an kepada masyarakatnya. Mulailah dari rumah tempat tinggal, gunakan kalender berbahasa Indoneaia, pasang lambang negara Indonesia atau simpanlah gambar-gambar yang melambangkan ke-Indonesia-an. Biasakan dalam kehidupan sehari-hari menggunakan bahasa Indonesia. Karena berapa banyak orang Cina di Singkawang, misalnya yang tidak tahu berbahasa Indonesia? Bagaimana kalau seandainya ada kasus imigran gelap—yang dia tidak juga pandai bahasa Indonesia—masuk ke sana? Mungkin akan dianggap biasa,” ungkap Firdaus.

 

Laporan: Fikri Akbar

Editor: Hamka Saptono