Umur Ratusan Tahun, Tinta Alquran Masih Jelas

Dijaga Sejak Jaman Pangeran Diponegoro

AWET. Alquran di Masjid Langgar Agung, Menoreh, Salaman, Magelang, hasil tulis tangan Mbah Abdul Aziz yang dikenal sebagai pengikut Pangeran Diponegoro. Radar Jogja/JPG

eQuator.co.id – Di lereng Perbukitan Menoreh, Desa Menoreh, Salaman, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah ada sebuah masjid yang punya kaitan dengan Pangeran Diponegoro. Namanya Masjid Langgar Agung, yang masih menyimpan peninggalan berharga tokoh penting dalam Perang Jawa itu.

MASJID Langgar Agung merupakan saksi bisu atas perjuangan Pangeran Diponegoro dalam melawan penjajahan Belanda. Salah satu barang yang masih tersisa hingga kini adalah kitab suci Alquran tulisan tangan pengikut Diponegoro.
Alquran dengan tebal sekitar 12 sentimeter itu terdiri dari 400 halaman. Sampulnya terbuat dari bahan kulit hewan.
Namun, kondisi bagian sampulnya sudah patah dan disambung dengan perekat. Sampul Alquran ini kemungkinan dari kulit kerbau atau sapi.
Alquran dengan berat sekitar 1,5 kilogram itu ditulis oleh penderek (pengikut) Diponegoro. ”Pembuatannya secara langsung dari tangan Mbah Abdul Aziz, teman seperjuangan Pangeran Diponegoro,” kata KH Achmad Nurshodiq, imam Masjid Langgar Agung kepada Radar Jogja (Jawa Pos Group).
Achmad menuturkan, Alquran itu dibuat sebelum masa perjuangan Diponegoro pada 1825-1830. Achmad mendapat informasi itu dari Kiai Fathoni, takmir pertama di Masjid Langgar Agung.
Waktu itu, Alquran pertama kali ditemukan di dalam laci mimbar masjid. ”Makam penulis Alquran, Mbah Aziz, ada di Soroniten, Kalikajar, Wonosobo. Di sa Alquran itu ditulis menggunakan lidi aren. Meski usianya sudah ratusan tahun, namun tulisan dari tinta hitam masih terlihat jelas.
Achmad menduga tinta untuk menulis Alquran itu itu tidak sembarangan. Sebab, hampir tidak ada tinta yang memudar. ”Kalau bukan orang ampuh tidak bisa menulis sampai 30 juz seperti ini,” katanya.
Hanya saja, kertasnya sudah ada yang robek di beberapa bagian. Pengasuh Pondok Pesantren Nurul Falah Menoreh Salaman itu menjelaskan, pada bagian awal lembaran Alquran peninggalan era Diponegoro tersebut ada hiasan bercorak batik warna-warni.
Sedangkan pada lembaran berikutnya tidak ada hiasannya. Yang ada adalah kertas bertuliskan ayat-ayat suci Alquran.
Namun, corak batik terlihat lagi pada tengah-tengah halaman. ”Selain ditemui corak batik, pada halaman tengah Alquran ini terdapat Surat Kahfi. Bagian ini yang paling utuh dibandingkan dengan halaman lain,” ungkapnya.
Pemerintah pun memberi perhatian khusus pada Alquran itu. Achmad menuturkan, suatu ketika pernah ada utusan dari Dinas Pariwisata Jawa Tengah dan Jogjakarta yang akan mengambil kitab tersebut.
Namun, Achmad tetap mempertahankannya agar tak berpindah tangan. ”Saya yakin, dengan adanya Alquran di sini masyarakat bisa tahu dan mendapat berkah. Dengan demikian masyarakat Salaman bisa belajar Alquran,” ujarnya.
Kini, Achmad menyimpan Alquran itu di lemari khusus berisi berbagai kitab. Terkadang, dia membukanya saat ada orang yang hendak melakukan penelitian terkait riwayat Pangeran Diponegoro.
na juga ada masjid peninggalan beliau yang sempat hancur. Namun kini sudah direnovasi,” katanya.
Selain Alquran, masih ada juga benda dan tempat bersejarah peninggalan era Diponegoro. Misalnya, musala yang sempat digunakan Diponegoro untuk bersemadi. ”Ada pula batu bekas tempat duduk, keris, dan lainnya,” ujarnya.
Menurut Achmad, keluarga besar Pangeran Diponegoro pun berterima kasih karena peninggalan berharga tokoh yang punya nama kecil Raden Mas Antawirya itu masih dirawat. Pada 1990, ada cicit Pangeran Diponegoro yang bernama Raden Ayu Hayati Diponegoro yang berkunjung ke Salaman demi melihat peninggalan pendahulunya.
Saat itu usia Hayati sudah 80 tahun. ”Cicit Diponegoro itu ke sini menyampaikan terima kasih karena sudah mengurus peninggalan Diponegoro,” katanya. (Radar Jogja /JPG)

ADI DAYA PERDANA, Mungkid