Takut Hate Berbalas Hate

Oleh: AZRUL ANANDA

eQuator.co.id – Minggu ini saya di Orlando bersama keluarga. Jadwal liburan untuk bersenang-senang dengan anak-anak. Alangkah berkecamuknya perasaan…

Hampir setiap tahun ke Amerika sejak 1993, saya belum pernah ke Orlando. Sudah ke puluhan negara bagian (dari total 50), tapi belum pernah ke negara bagian Florida.

Mumpung sedang di pantai timur, dan pas masa liburan anak-anak, Orlando saya lingkari di peta sejak beberapa bulan lalu. Setelah ambil kuliah pendek di Boston dan meliput Grand Prix Kanada di Montreal, saya akan mengajak keluarga jalan-jalan ke Florida.

Rencana lima hari di kawasan Orlando, bingung juga mengatur jadwal untuk anak-anak. Tiga hari di Disneyworld, karena ada empat theme park di bawa naungan Disney di sana (yang di California hanya dua). Lalu sehari di Universal Studios, memaksakan dua theme park di bawah bendera itu dalam satu hari.

Lalu satu hari di Kennedy Space Center, tempat peluncuran pesawat ulang alik yang selama tujuh hari seminggu dibuka untuk umum. Hanya sekitar satu jam naik mobil dari Orlando, di sana anak-anak bisa belajar tentang program luar angkasa dan bertemu astronot beneran.

Maaf, tidak sempat ke Sea World. Tidak sempat ke Legoland. Tidak sempat ke banyak tempat wisata lain di radius satu jam dari Orlando. Benar kata teman-teman saya yang pernah membawa keluarga ke Orlando: Seminggu tidak cukup. Mungkin, inilah kawasan yang seharusnya paling “happy” di muka bumi. Los Angeles kalah…

Dijadwalkan tiba di Orlando Senin lalu (13/6), betapa tergugahnya perasaan mengikuti perkembangan berita di sana. Pertama, penembakan terhadap penyanyi The Voice/bintang YouTube Christina Grimmie. Oleh seseorang yang tidak jelas motifnya.

Sehari kemudian, kasus penembakan di sebuah kelab malam dengan korban terbanyak dalam sejarah Amerika, yang hingga tulisan ini dibuat mengakibatkan tewasnya 49 orang (50 termasuk sang penembak).

Tidak, jadwal liburan tidak akan saya ubah. Kami tetap ke Orlando. Toh kami juga tidak menginap di downtown Orlando, melainkan di Lake Buena Vista tempat kebanyakan tempat hiburan keluarga berada.

Mendarat, saya mencari koran di bandara, tapi semua sold out. Harus cari nanti di hotel. Tapi layar televisi di berbagai sudut tampak memutar berita perkembangan kasus tersebut.

Berita di online boleh terus mengalir, tapi konfirmasi dan reliability, dan yang seharusnya paling bisa dipercaya, tetaplah channel tradisional seperti media cetak atau televisi. Apalagi ini di Amerika, di mana media-media dituntut lebih berkualitas karena pembaca/pemirsanya juga lebih kritis dan berwawasan.

Selama beberapa hari ke depan, saya tetap akan fokus bersama anak-anak saya, karena seminggu ke depan memang sudah dijadwalkan jadi “milik” mereka. Kapan lagi bisa seru-seruan bersama mereka.

Tapi sebagai orang media, satu kompartemen kepala akan selalu mengikuti perkembangan penembakan ini (sedikit lagi mengikuti perkembangan final NBA).

Yang bikin kurang sreg, saya sebenarnya ingin menulis sesuatu yang benar-benar happy pada hari Wednesday ini. Buyar sudah.

Susah juga menjelaskan kepada anak-anak saya –yang masih di bawah sepuluh tahun semua– tentang apa yang terjadi. “Yang nembak orang jahat ya Ayah? Kenapa ayah?”, tanya yang paling besar.

Siapa yang tidak sedih mengetahui ada kasus seperti ini. Dan saya semakin sedih karena lagi-lagi melibatkan seseorang yang mengklaim beragama Islam. Di bulan Ramadan lagi.

Mungkin karena sudah terbiasa dengan aksi teror yang dilakukan orang-orang yang mengklaim beragama Islam, dan mungkin karena pemahaman tentang Islam juga sudah jauh lebih baik di Amerika, perkembangan berita di sini terkesan sangat bijak.

Kejahatan ini lebih banyak dibicarakan sebagai “hate crime”. Kejahatan karena kebencian. Dan itu bisa dari berbagai agama, kepercayaan, dan ras.

Waktu pertama mendapat informasi pelakunya mengklaim Islam, saya sempat khawatir dengan aksi retaliation (pembalasan). Benar saja, Selasa pagi (Selasa Sore WIB kemarin) di televisi muncul berita sebuah Islamic Center di kawasan Orlando jadi korban vandalisme. Ada orang yang mencoretkan tulisan “Stop The Hate”.

Tentu saja, berita itu ikut mengecam aksi pembalasan ini. Sambil menjelaskan bagaimana Islamic Center tersebut sedang dalam proses membangun sebuah masjid.

Saya jadi ingat sebuah cerita yang ditampilkan di Smithsonian Museum of American History di Washington DC. Dalam ruangan yang menceritakan kisah sukses bisnis, ada satu sudut yang bercerita tentang perjuangan orang dalam meraih kehidupan lebih baik di Amerika.

Ceritanya tentang seorang imigran asal India yang selama 20 tahun lebih bekerja keras sebagai sopir taksi di New York. Setelah mengumpulkan cukup uang, dia lantas membuka sebuah SPBU, dan siap hidup lebih maju sebagai pengusaha.

Tragisnya, dia jadi korban penembakan “hate crime” hanya dalam hitungan hari setelah tragedi World Trade Center di New York tahun 2001. Dia adalah korban “hate salah sasaran”. Karena dia bukan orang Islam.

Karena hate bukan hanya bisa menimbulkan korban jiwa. Hate bisa berbalas hate, dan itu bisa tidak berbuntut.

Di Orlando saat ini, “kampanye” yang banyak disuarakan adalah bagaimana bersatu menjadikan masyarakat lebih saling mentoleransi dan lebih saling mencintai (love, lawan kata dari hate). Dan ini kekuatan masyarakat yang modern. Masyarakat yang tidak panik, amok, menghadapi tantangan kebersamaan.

Sebagai penutup, saya ingin mengutip salah satu tokoh favorit saya. Seorang Jedi Master bernama Yoda. Bahwa kebencian adalah hasil dari rasa takut dan marah, dan kebencian hanya menghasilkan kesengsaraan.

“Fear is the path to the dark side. Fear leads to anger. Anger leads to hate. Hate leads to suffering”.

Semoga dunia semakin bersama dan semakin saling mencintai di Bulan Ramadan ini. Happy Wednesday! (*)