eQuator.co.id – Mandi U Shi di Mempawah belum lama ini menyisakan kepedihan bagi keluarga Chui Sio Thiam. Pria 44 tahun yang karib disapa A Siau ini harus kehilangan nyawanya ketika berenang tengah hari di salah satu aliran Sungai Mempawah. Kisah-kisah mistis sungai tersebut pun kembali jadi pembicaraan publik setempat.
Siang itu, Kamis (9/6), A Siau bersama sejawatnya berniat melakukan ritus warga Tionghoa itu di sungai Dusun Bemban, Desa Sejegi, Mempawah Timur. Sebenarnya, tak ada yang aneh, sungai mana pun bisa digunakan untuk mandi. Hanya saja, di tempat yang dipilih A Siau tak pernah dilakukan ritual tersebut. Kebanyakan mandi di seputaran sungai pinggir pasar Kota Mempawah.
A Siau memilih mandi U Shi di Dusun Bemban karena tak jauh dari wilayah tambak apung budidaya ikan mas miliknya. Kebetulan, berada di Muara Habib Husein, sebutan warga setempat, yang memang tak jauh dari makam seorang tokoh penyiar Islam masa Kerajaan Opu Daeng Manambon. Tokoh Islam itu Habib Husein Alkadrie, ayah dari pendiri Kota Pontianak, Sultan Syarif Abdurrahman Alkadrie.
Semula, warga biasa saja. Hampir tak ada yang mempedulikan aktivitas A Siau dan rekannya. Suasana kampung menjadi riuh bertabur aroma maut ketika masyarakat mendengar ada orang yang tenggelam. Ya, A Siau dikabarkan hilang. Dusun tak padat hunian itu sontak ramai dipenuhi puluhan hingga ratusan pasang mata yang ingin mengetahui kejadian hilangnya A Siau. Berita tersebar dari mulut ke mulut hingga sosial media.
Kepolisian Sektor Mempawah Timur langsung melakukan pencarian A Siau, dibantu Badan Lingkungan Hidup dan Penanggulangan Bencana Daerah Kabupaten Mempawah. Masyarakat dengan sampan seadanya turut mencari.
Dituturkan kakak A Siau, Aliong, sekitar tengah hari ia masih sempat ke toko milik korban. “Dia ajak pergi ke keramba milik dia dan mau mandi di situ,” ungkapnya.
Namun, pria berusia 55 tahun itu enggan ikut mandi. Saat itu, arus sungai, dikatakannya, lumayan deras. Air dari hulu sungai Mempawah sedang turun ke hilir. “Abang mau mandi tidak?” ujar Aliong menirukan ajakan A Siau.
Tak lama kemudian, di seberang sungai, terdengar teriakan minta tolong. Datang dari sejawat A Siau, A Sang, yang sudah lebih dulu berenang mengarungi sungai hingga ke seberang yang hanya dipenuhi pohon nipah. A Siau lantas mengambil sampan. Ia mengayuh cepat untuk menyeberangi sungai, berniat menolong temannya itu.
“Dia langsung ambil pakaian, langsung turun pakai sampan,” tutur Aliong.
Niat menolong berbuah celaka. Entah kenapa, A Sang menjadi gugup, A Siau juga. Sehingga, sampan yang dinaiki mereka jadi oleng. “Saya melihat keduanya panik di tengah sungai, dari mulai sampan oleng hingga tenggelam, saya mencoba berenang untuk mengejar,” tutur saksi mata lainnya yang masih kerabat A Siau, A Shui. Dia sempat meneriaki keduanya untuk ikut arus agar bisa menepi pelan-pelan.
Tapi, kondisi mereka sudah tak tertolong. Aliran air di sana sering muncul pusaran karena pertemuan arus yang bertemu persis di muara sungai tersebut. Sampan tersebut pun tersedot pusaran air.
“Tiba-tiba sampannya berputar hingga menukik ke sungai, A Siau dan A Sang tenggelam bersama sampan,” papar A Shui, wajahnya gelisah seolah kejadian tersebut trauma baginya.
Tak lama berselang, tiba-tiba sampan itu timbul bersama sosok A Sang yang lemah tak berdaya. “Saya langsung berenang mengejar A Sang dan merangkulnya, tenggelam timbul saya merangkul dia,” lugas A Shui. Ia berharap A Siau juga muncul, namun hingga matahari menohok ke Barat ia tak kunjung ditemukan.
Pencarian berlanjut dari siang hingga sore, terus ke malam harinya. Tak lelah polisi dan BNPB Mempawah bersama masyarakat menyisir sungai. Dengan senter kepala dan senter tangan, mereka menyoroti hingga radius 1 kilometer dari tempat hilangnya A Siau. Hasilnya masih nol.
Keesokan harinya, Jumat (10/6), proses mencari A Siau dilanjutkan. Relawan terus bertambah, bersama-sama menyusuri pinggiran sungai berharap menemukan A Siau.
Mencari dengan kasat mata tak dirasa cukup. Metode alam gaib dengan berbagai ritual yang dilakukan oleh beberapa ‘orang pintar (paranormal)’ pun dimulai. Pembacaan mantra, menghanyutkan sesajen, hingga loya (‘orang pintar Tionghoa’) pun dilakukan. Mereka mencoba berkomunikasi dengan ‘penghuni’ sekitar.
“Saya mendengar dari hasil ritual-ritual yang berkomunikasi dengan penunggu (‘penghuni’) sekitar, korban masih di sekitar tempat ia tenggelam, namun tersangkut kayu sehingga tak bisa timbul,” ujar Haza, salah seorang warga yang terus memantau pencarian A Siau, Jumat (10/6) malam.
Imbuh pria gempal ini, “Kita mengetahui ada salah satu ‘orang pintar’ yang biasa kami panggil dengan sebutan Pak Long juga turut membantu”.
Sebelum malam itu, di siang harinya, Pak Long yang konon sempat mengunjungi Bukit Rama, dimana Makam Opu Daeng Manambon berada, melakukan ritual yang tak diketahui seperti apa prosesinya. Usai kunjungan tersebut, Pak Long menuju tempat tenggelamnya A Siau dan komat-kamit membaca mantra. Juga menaruh suatu barang ke dalam air sungai.
“Saya dapat kabar Pak Long bilang korban akan timbul pada hari ini, sebelum jam 12 malam, tapi tidak menyebutkan persis jamnya,” lugas Haza.
Lepas waktu Isya, tim pencarian yang bertambah kekuatannya, meminta bantuan Basarnas Kota Pontianak, terus memantau sungai selebar lebih kurang 50 meter tersebut. Upaya mencari digencarkan ditambah tabuhan gong yang ditaruh di atas salah satu perahu karet. Bunyi itu memecah kesunyian malam di tengah sungai. Satu ritual yang diyakini bisa ‘memanggil’ korban.
Akhirnya, sekitar pukul 21.30, teriakan lantang terdengar dari tim di salah satu perahu karet Basarnas. Sosok A Siau ditemukan dengan posisi miring mengambang. Sekujur tubuhnya sudah membengkak dan menimbulkan aroma tak sedap.
“Saya ikut dengan perahu tim Basarnas, baru satu jam lamanya kami mencari, terlihat dari sorot senter saya seperti kepala dan saya berteriak itulah dia,” ujar Punadi, relawan yang turut serta perahu karet Basarnas.
Sesampainya di tepian sungai, ratusan warga sudah memadati dermaga kecil di dekat lokasi penemuan. Mereka penasaran ingin melihat langsung jasad A Siau. Namun, Basarnas telah membungkusnya rapat-rapat di kantong mayat. Jenazah itu langsung dibawa menggunakan ambulans ke RS Rubini Mempawah untuk diotopsi.
SUNGAI ADAT
Dari penuturan sejumlah warga yang ditemui Rakyat Kalbar, Sungai Mempawah memang penuh sejarah plus cerita-cerita mistis dari masa ke masa. Familiar dengan sebutan sungai adat.
“Sejarahnya panjang dan tentunya memiliki cerita sakral dan misteri ketika berpatokan dengan adanya kejayaan jaman dahulu seperti Kerajaan Opu Daeng Manambon,” ungkap Hamidi MS, warga Kelurahan Kampung Tengah, Kecamatan Mempawah Timur. Sejak cilik, ia telah menetap di sana.
Cerita mistis tentang sejumlah aliran sungai itu masih diyakini oleh banyak masyarakat setempat, khususnya yang tinggal di pesisir aliran Sungai Mempawah. Sebab, pernah dijumpai keganjilan-keganjilan.
“Mulai dari muara Sungai Mempawah hingga ke Sebukit, ada tiga tempat yang pernah terdapat cerita di luar logika manusia. Seperti di Lubuk Jin, Tikungan Pekong, dan Muara Habib Husein (dekat lokasi A Siau tenggelam,red),” tuturnya.
Kemudian, kurun 1970-an hingga 1990-an, tersimpan cerita kelam yang menjadi misteri ketika masyarakat merayakan tradisi Robo-Robo. Dalam perayaan tersebut, warga jarang menggunakan jalur darat. Lebih memilih menggunakan perahu atau motor air menuju Sebukit Rama, makam Opu Daeng Manambon. Kala itu, kerap terjadi insiden perahu berisikan masyarakat yang merayakan tradisi robo-robo tenggelam di wilayah Lubuk Jin. Hampir semua penumpang perahu tak selamat.
Kejadian aneh juga kerap menyelimuti kehidupan masyarakat di sana. Seperti munculnya penampakan buaya kuning, ular raksasa berdiameter sebesar drum yang orang setempat menyebutnya puake (sosok jin atau mahkluk halus). Walaupun diakui tak semua orang bisa melihatnya.
“Dulu, di tahun 2002-2003, kita bersama salah satu stasiun TV pernah menguak misteri hingga didapatlah tiga tempat angker itu. Mulai dari Ratu Buaya yang dipanggil oleh ‘orang pintar’, itu bukan isapan jempol belaka, namun sudah kami buktikan. Dan juga terlihat sosok ular di Sebukit Rama, dan bahkan sosok singa pernah kami lihat,” ujar Hamidi yang parasnya tak lagi muda itu.
Namun seiring berkembangnya zaman dan berkembangnya pola pikir masyarakat di daerah-daerah tersebut, kisah-kisah mistis ini mulai ikut tergerus. Dan, di lokasi-lokasi tertentu yang dulunya jarang sekali dijumpai pemukiman warga, saat ini banyak rumah-rumah telah didirikan. Aliran Sungai Mempawah pun sudah menjadi pundi-pundi rupiah warga, mulai dari nelayan hingga pembudidaya ikan mas dan nila yang kian bertambah dari tahun ke tahun.(*)
Ari Sandy, Mempawah