eQuator.co.id – Sebagai rasa syukur atas hasil panen padi setiap tahunnya, masyarakat Dayak Kalis, Desa Nanga Danau, Kecamatan Kalis, menyelenggarakan upacara adat Gawak (gawai) Dayak Kalis Sengkelan Benih. Dalam bahasa Kalis disebut sebagai ‘Mamariang Banyiak’.
Prosesi adat Mamariang Banyiak ini dilakukan bertahap. Mulai dari menombak babi oleh undangan. Kemudian, tamu diminta memotong empang sebelum memasuki Balai Adat tempat gawai. Upacara ini sakral. Merupakan ungkapan syukur kepada Alatala (Tuhan) dengan harapan hasil panen menjadi bekal kehidupan keluarga tahun berikutnya. Bisa dinikmati dengan suka cita, dijauhkan dari duka cita. Sekaligus, berdoa kepada penguasa alam agar benih yang akan ditanam tahun ini tumbuh subur dan hasilnya melimpah ruah.
Bagi Suku Kalis, ketika hendak membuka lahan untuk berladang ada tahapan upacara adat yang wajib dilakukan. Pertama, kerja tebas-tebang harus berpatokan pada mimpi dan suara burung, atau melihat binatang tertentu. Jika ada keanehan, misal melihat atau mendengar suara burung yang tak lazim, maka pemilik ladang membuat upacara adat selamatan keluarga atau Tolak Bala yang biasanya digelar setiap bulan Juni.
Setelah tebas-tebang dan bakar ladang selesai, pemilik ladang mengadakan upacara adat lagi yakni melabuh benih. Upacara adat ini mendoakan supaya benih yang ditanam subur, penguasa tanah tempat benih yang ditanam tidak murka kepada pemilik ladang.
Kemudian, ketika padi tumbuh dan mulai berbunga, pekerjaan membersihkan gulma dilakukan. Pemilik ladang pun menggelar ritual adat lagi supaya padi yang sedang berbunga menjadi buah yang baik, dijauhkan dari hama penyakit.
Pemilik ladang meminta kepada leluhur, Sang Pencipta Langit dan Bumi, dengan menyelenggarakan upacara adat Mangangkalong atau ritual kepada Tuhan. Semboyan Suku Kalis : Atalata sampeayu sampulo kunyanik (Tuhan pencipta, penjaga dan pemelihara alam semesta, yang menciptakan langit dan bumi, yang menciptakan, menjaga, memberikan kehidupan kepada manusia, sampai manusia meninggal akan kembali kepada-Nya). Dengan upacara tersebut diharapkan benih yang ditanam bisa bertumbuh baik hingga panen.
Saat hendak melakukan panen, masyarakat kembali menggelar upacara adat agar hasilnya banyak. Semua warga menyiapkan tempat padi di rumah masing-masing. Kediaman pun disengkelan atau didoakan untuk menghindari hal yang tidak baik di dalam rumah.
Setelah padi dipanen keseluruhan, barulah digelar Mamariang Banyiak, Gawai Dayak ucapan syukur. Disela-sela Mamariang Banyiak, Sabtu (28/5), Kepala Desa (Kades) Nanga Danau, Albertus Asun mengungkapkan, acara tersebut dilaksanakan secara terpusat di tingkat desa sejak tiga tahun lalu. Dijelaskannya, gawai tersebut bukan hanya untuk perolehan hasil panen saja, tapi syukuran atas karunia Tuhan untuk sisi kehidupan lain dalam setahun.
“Gawai ini merupakan suatu ucapan syukur kepada Tuhan, dimana kita telah dikaruniai kesehatan selama satu tahun. Harapan kita kepada masyarakat Kalis semuanya berpartisipasi dalam penyelenggaraan gawai,” ungkap Asun.
Lanjut dia, momentum gawai ini juga menjadi evaluasi atas hasil panen yang didapat. Sehingga kedepan pengelolaan ladang menjadi lebih baik. Untuk tahun ini, menurut Asun, hasil panen cukup memuaskan meski sedikit terkendala serangan hama.
“Tapi produksi masih stabil. Selain itu, pengaruh panas tahun tahun lalu, ketika berlangsungnya musim tanam. Kalau hasil panen masyarakat idealnya per-keluarga itu bisa mencapai 1,5 ton gabah,” bebernya.
Desa Nanga Danau dihuni 144 Kepala Keluarga (KK) dengan 539 jiwa. Ditambahkan Asun, gawai juga menjadi ajang pemersatu Suku Kalis dalam melestarikan adat budaya. “Sebab hampir tergerus oleh zaman, maka warisan leluhur kita seperti Mamariang Banyiak harus dipertahankan. Kami selaku perangkat desa berupaya dan selalu mendukung,” tegasnya.
Ia menginginkan gawai Dayak Kalis diselenggarakan bergiliran di setiap desa, karena masyarakat cukup antusias saat menyambutnya. “Dari tahun ke tahun masyarakat sudah cukup terbuka menyambut gawai, mulai persiapan hingga hari gawai ini semua kompak. Maka kami berharap dukungan dari pemerintah kabupaten. Masyarakat Kalis ingin maju, sejalan dengan suku-suku lain di Kapuas Hulu,” pinta Asun.
Anggota DPRD Kapuas Hulu, Fabianus Kasim menyampaikan bahwa gawai merupakan tradisi, sekaligus simbol suku Dayak yang diwariskan para leluhur. Senada dengan Asun, ia berharap gawai Dayak Kalis dilaksanakan terintegrasi sehingga seluruh Suku Kalis bisa berkumpul dan menjadikan gawai meriah.
“Saya ingin di Kapuas Hulu ini seperti daerah lain. Kita buatkan event gawai ini lebih bermakna, misal dengan perlombaan Bujang-Dara, kemudian menimang, menganyam manik-manik, dan perlombaan tradisional lainnya,” tutur Kasim.
Putra asli Suku Kalis ini juga sependapat bahwa gawai Dayak Kalis diselenggarakan secara bergilir dan berjenjang dari desa hingga kecamatan. Maka, ia meminta pengurus adat, ketemenggungan di Kalis, segera menyusun rencana kerja untuk persiapan pelaksanaan gawai tahun berikutnya.
“Bagaimana kita membuat tata upacara adat gawai menjadi sesuatu yang sakral dan bermakna, bukan hanya formalitas. Gawai dayak ini harus kita kemas dengan baik, isi dengan kegiatan seni dan budaya,” pintanya.
Menurut Legislator Partai Hanura ini, gawai memang identik dengan bidang pertanian. Maka, dinas di Pemkab Kapuas Hulu yang bersangkutan perlu diundang untuk memberi arahan tentang sistem pertanian kedepan. Juga membantu alat pertanian, termasuk alat pembasmi hama penyakit padi.
Ia siap menyambung lidah masyarakat dengan dinas terkait demi pembinaan seni budaya Suku Kalis. Misalnya pembuatan sanggar serta menghidupkan kembali kerajinan tangan para penganyam.
“Seperti anyaman takin dan kerajinan tangan manik-manik. Tujuannya supaya budaya kita tidak punah. Generasi muda harus belajar dengan tetua kita yang terampil dalam menganyam,” tutup Kasim, ditemani Camat Empanang Bambang dan Kepala UPPD Kapuas Hulu Sunardi Sabang yang merupakan putra asli Suku Kalis. (***)
Andreas, Putussibau