eQuator.co.id – Berbeda dari abangnya, Syaka Raihan menyambut antusias kala ayahnya, Bambang Sahputra, mengajak mendaki gunung. Bocah 11 tahun itu berhasil mencapai puncak Indrapura di Gunung Kerinci, satu dari tujuh gunung tertinggi se-Indonesia, tahun lalu. Dalam waktu dekat, ia ingin mendaki Gunung Latimojong di Sulawesi.
WENNY C PRIHANDINA, Batam
Syaka Raihan. Bocah itu masih asik bermain-main dengan biawak yang ia tangkap di Taman Tangga Seribu Habibie, akhir pekan lalu. Ayahnya duduk membelakanginya, bermain-main dengan laptop. Sementara sang ibu tengah mengobrol bersama pemilik warung kelontong di sana.
Ia mengulur tali yang melilit badan si biawak supaya binatang itu leluasa memanjat pohon. Ketika binatang itu sudah semakin tinggi, ia menahan tali; meminta binatang itu turun. Lalu ia menggulung kembali tali tambang berwarna hijau itu.
Raihan, begitu ia biasa dipanggil, mengaitkan talinya di sebuah tiang kayu. Ia lalu menghampiri ayahnya. Mengikuti sejenak perbincangan yang ayahnya lakukan dengan sejumlah teman yang ia temui di sana.
“Dia ini suka binatang,” kata sang ayah, Bambang Sahputra.
“Nggak ada takut-takutnya, dia, sama binatang,” timpal sang ibu, Kristina Yulia.
Di rumah, ia memiliki binatang peliharaan: sepasang burung merpati. Tapi, “Tinggal satu aja, sekarang. Tinggal yang jantan,” katanya.
Wajahnya penuh harap ketika obrolan beralih ke biawak tangkapan tadi. Ia melirik ayahnya sesaat. Lalu beralih ke ibunya. Tapi tidak ada jawaban dari keduanya. Artinya, binatang itu tidak boleh dibawa pulang.
“Suka juga sama kucing tapi sama Umi tidak boleh pelihara,” ujarnya.
Hobi bermain dengan binatang, sebenarnya, bukanlah hobi utamanya. Ketika ditanya soal hobi, bocah kelahiran Batam, 21 September 2005 itu langsung menjawab, “Daki dan panjat.” Padahal, tidak ada satupun teman sekolahnya di SD Al Azhar yang memiliki hobi serupa.
Hobi itu warisan dari sang ayah dan, mungkin, dari sang ibu juga. Pasangan itu pernah aktif sebagai pecinta alam ketika duduk di bangku kuliah. Aktivitas pecinta alam sang ayah bahkan masih berlanjut hingga saat ini. Bambang Sahputra menjadi satu dari 12 penggagas berdirinya Komunitas Pecinta Alam Kepulauan Riau (PARI). Bersama komunitas itu, Bambang melompat dari satu pulau ke pulau lainnya.
“Kami punya target pendataan 100 pulau untuk Batam,” kata pria yang akrab dengan sebutan Bams Nektar itu.
Meski berada di Batam yang memang tidak memiliki gunung, kecintaan Bambang terhadap gunung tidak pudar. Ia masih merawat mimpi mampu mendaki tujuh gunung tertinggi di Indonesia atau istilahnya The Seven Summits Indonesia. Sejauh ini, ia baru sampai di tiga puncak tertinggi. Yakni, Puncak Indrapura milik Gunung Kerinci – Sumatera (3.800 mdpl), Puncak Rinjani – Bali dan NTB (3.726 mdpl), dan Puncak Mahameru di Gunung Semeru – Jawa (3.676 mdpl).
Ketika melihat anak-anaknya tumbuh, ia pun berpikir untuk menularkan mimpi itu. Ia mengajak Athari Zaki, putra sulungnya, dan Raihan, anak keduanya, mendaki Gunung Marapi di Sumatera Barat, bulan Desember tiga tahun yang lalu. Ia ingin mengukur kemampuan kedua anak pertamanya itu. Dua anak lainnya masih terlampau kecil.
Di ketinggian 2.500 mdpl, gejalanya terlihat. Athari Zaki, putra sulung, mulai limbung. Kepalanya pusing dan muntah-muntah. Sementara sang adik, Raihan, masih stabil.
Pengukuran itu masih berlanjut. Ia kembali mengajak keduanya mendaki Gunung Tujuh di Jambi, tak lama setelah itu. Gunung itu setinggi 2.100 mdpl. Keduanya berhasil mencapai puncak.
Namun, prestasi mencapai puncak itu tak lantas membuat Zaki berniat mendaki gunung kembali. Ini berkebalikan dengan Raihan. Raihan justru semangat ketika Bambang mengabari hendak mendaki gunung.
“‘Ikuuuuut.’ Dia langsung semangat gitu,” ujar Bambang.
Dua minggu sebelum waktu keberangkatan, Bambang akan mengajak Raihan berlatih fisik. Latihan itu berupa lari dan jalan-jalan kecil di Taman Gajahmada, Sekupang. Setiap hari, Raihan wajib mengelilingi taman empat kali dengan joging dan dua kali dengan jalan.
Manfaat latihan itu akan terasa ketika di gunung. Raihan, kata Bambang, tak pernah mengeluh ketika mendaki gunung. Ketika ia merasa lelah, ia hanya bilang lelah. Mereka pun akan beristirahat selama lima menit.
“Minum saja. Udah gitu jalan lagi,” kata Raihan.
Di gunung, Raihan biasa bermalam. Kadang tidur di dalam tenda. Kadang kala hanya beralaskan selimut tidur (sleeping bag). Namun, bukannya kapok, bocah bertubuh ramping ini justru menyukainya.
“Lebih enak tidur di gunung daripada di rumah,” ujarnya.
Ia akan menyantap mie instan cup ketika lapar. Atau nasi lauk ikan teri bekal dari ibu di rumah. Minumnya, hanya air putih. Baju yang ia kenakan hanya satu lapis. Ditambah jaket satu lapis juga. Ia menggeleng ketika ditanya, dingin atau tidak di atas puncak sana.
Bocah kelas IV SD itu mengaku mulai menyukai aktivitas mendaki gunung. Katanya, mendaki mampu menguatkan kakinya. Kalau kaki kuat, ia akan mampu memanjat dinding – hobinya yang lain.
Hobi itu sesungguhnya sudah menuai prestasi. Raihan mulai menekuni dunia panjat dinding sejak tahun 2013. Ia pernah mendapat medali perak dalam Pekan Olah Raga tingkat Kota Batam (Porkot) di tahun pertamanya itu. Setahun kemudian, ia menyabet medali perak dalam Pekan Olah Raga tingkat Wilayah (Porwil) Kepulauan Riau. Serta medali perunggu dalam Open Climbing Nasional di Karimun, di tahun yang sama.
“Ia sudah menjadi atlet panjat untuk Kepri,” tutur Bambang lagi.
Melihat semangat putra keduanya, Bambang pun makin bersemangat merajut mimpi untuk anaknya. Ia berniat mengajak anaknya mendaki The Seven Summits Indonesia. Dalam liburan sekolah, Mei nanti, ia berencana mendaki Gunung Latimojong di Sulawesi. Lalu berlanjut hingga Puncak Jaya di Papua.
“Awalnya, saya memotivasinya untuk bisa melihat kawah gunung. Sekarang, karena sudah jadi hobi, tanpa motivasi pun dia sudah mau sampai puncak,” pungkas Bambang. ***