Sahabat-sahabat Brigadir Petrus Bakus terkejut bukan kepalang mendengar ia memotong-motong anaknya. Selama sekolah, anggota Satuan Intelkam Polres Melawi itu lebih dikenal karena kecerdasan, kesetiakawanan yang kuat, dan sifatnya yang periang.
Ocsya Ade CP, Pontianak
Seorang sahabat masa sekolah Bakus, Epifianus Mere, bercerita banyak kepada Rakyat Kalbar di warung kopi Jalan Putri Candramidi (Podomoro), Pontianak Kota, Sabtu (27/2). Wajah Epi tampak kusam, tampak jelas duka plus syok campur aduk jadi satu.
Sesekali mengelap keringat di wajahnya, Epi berkisah tentang keseharian Bakus selama tiga tahun mereka satu sekolah. Yang Epi tahu, Bakus lulusan salah satu SD di Landak, tanpa mengetahui asal usul keluarganya.
Mereka ditakdirkan bertemu dan menjadi sahabat selama tiga tahun di SMP Santo Aloysius Gonzaga, Singkawang Timur. Saat itu, Epi dan Bakus tinggal di Wisma Timonong, Nyarumkop. Wisma itu mereka sebut asrama.
“Mulai masuk SMP tahun 2001, selama tiga tahun kami bersama sehingga saya tahu betul keseharian dia masa itu,” cerita Epi.
Ia menyebut sosok Bakus sebagai siswa yang aktif di sekolah maupun asrama. Pria berperawakan besar ini bahkan tidak pernah melihat Bakus tanpa kegiatan. Karena Bakus pernah menjadi pemimpin di kelas dan aktif di OSIS.
“Sedikit pun saya tidak pernah lihat dia diam, menyendiri, atau melamun,” ujarnya.
Bakus juga dikenal cerdas di kelas. Itulah salah satu sebab Epi bisa sangat dekat dengan Bakus. Hitung-hitung, bisa konsultasi pelajaran yang kala itu disebut paling susah. Tak lain tak bukan Matematika dan Fisika.
“Saya dekat dengan dia, karena sering konsultasi pelajaran. Dia anaknya periang dan pintar, juara satu,” tutur warga Jalan Panca Bakti, Pontianak Utara, ini.
Banyak sisi positif yang ditunjukkan Bakus pada masa itu. Sudahlah cerdas, aktif, tak pilih-pilih dalam berteman, pun memiliki rasa kesetiakawanan dan agak-agak heroik. Tak hanya sekali Epi dibela oleh Bakus ketika ia di–bully (dikerjai) teman sebayanya.
“Saya sering di–bully, mungkin karena saya berkulit hitam, beda sendiri kan,” jelasnya.
Meskipun bagi Epi di-bully itu hal biasa, namun Bakus tetap memberi pelajaran kepada para pem-bully tersebut. “Waktu itu pas main sepakbola. Saya anggap itu gurauan biasa, tapi dia tetap bela saya. Dia terlihat tidak senang, kenapa saya tidak melawan,” kisah Epi.
Intinya, Bakus yang loyal kala itu tidak mau lihat teman-temannya tersakiti oleh yang lain. Walaupun itu sebatas candaan.
Dari semua sisi positif Bakus yang diceritakan Epi, tersimpan satu sifat yang mungkin masih terdapat dalam diri Bakus hingga kini. Bakus mudah tersinggung atau marah.
“Memang dia agak temperamen. Ribut dengan teman sih tidak sering, tapi ada lah. Ya, mungkin kenakalan anak selayaknya usia itu,” ungkapnya.
Persahabatan Epi dan Bakus bagaikan kepompong. Mereka berdua saling membangun diri satu sama lain, berbagi cerita, dan melengkapi kekurangan. Meskipun hanya saat kelas dua mereka sekelas, namun selama di asrama mereka selalu bersama.
Ketika tiga tahun pendidikan itu berlalu, mereka pun terpisah oleh jarak dan waktu. Epi hanya memiliki satu kenangan, yakni selembar foto mereka berdua berukuran 3R. Foto tersebut pun dibawa Epi sore itu.
“Selesai SMP tahun 2004, saya tidak tahu dia lanjut SMA mana, lost contact sama dia. Pernah ketemu di Taman Alun-alun Kapuas (Pontianak) pada 2007 lalu. Itupun hanya say hello saja, tidak ada percakapan mendalam,” paparnya.
Hingga sekarang, mereka tak pernah bercakap, baik di telepon maupun sosial media. Di grup alumni SMP pun tak ada nama Bakus.
Hebohnya kasus mutilasi yang dilakukan Bakus kepada dua anaknya membuat Epi luar biasa kaget. Pria kelahiran Manggarai 7 April 1989 ini awalnya tak percaya sahabat masa kecilnya itu membunuh.
“Jujur saya dan teman-teman lainnya kaget. Awalnya saya tidak tahu kalau pelakunya itu Bakus. Baru yakin setelah memastikan fotonya di sosial media karena ada tanda lahir di wajahnya yang saya ingat betul,” tukas karyawan salah satu bank di Pontianak itu.
Seperti diketahui, Brigadir Petrus Bakus tega memutilasi kedua anak kandungnya, Fab (4) dan Amo (3). Pun hendak membunuh istrinya, Windri Hairin Yanti. Ia melakukan itu lantaran mendapat bisikan yang disebutnya sebagai persembahan, perintah dari Tuhan.
Alhasil, sebagai penjelasan yang lebih masuk akal, setakat ini polisi masih menduga Bakus mengidap Schizophrenia. Sesuai keterangan saksi, pada usia empat tahun Bakus sering mengalami kejadian seperti kerasukan dan badan kedinginan.
Hanya saja, Epi kurang yakin dengan penjelasan tersebut. “Nah itu dia, berbanding terbalik dengan yang saya rasakan jaman sekolah dulu. Di ajaran kami, tidak ada persembahan seperti itu. Tapi memang, setelah berpisah, saya juga tidak tahu kondisinya,” ucapnya.
Lanjut Epi, selama berteman dengan Bakus, ia tak pernah menyaksikan Bakus kerasukan atau bertingkah aneh. Untuk kerohanian Bakus pun diketahui Epi biasa-biasa saja, tak ada masalah.
“Dia memang tak pernah bercerita masalah pribadi mendalam, misalnya mengikuti ajaran tertentu. Selama itu (sekolah,red) tidak pernah. Makanya, sampai detik ini, saya tak habis pikir kok dia bisa melakukan perbuatan itu. Apalagi dia seorang anggota Polri,” lirihnya.
Epi benar-benar prihatin dengan horor yang terjadi di Asrama Polres Melawi itu. Ia berharap kasus ini terungkap sesuai faktanya. “Untuk masyarakat, janganlah begitu dalam memberikan (menyebarkan,red) informasi. Termasuk tolonglah jangan menyebar foto-foto kejadian di media sosial. Satu sisi Bakus memang tersangka, tapi pikirkan perasaan keluarganya,” pintanya.
Bersama teman-teman seangkatan, Epi akan berkumpul untuk menjenguk Bakus jika diberi kesempatan. “Saya juga kangen dengan teman-teman. Berharap bisa ketemu semua pada bulan Juli ini. Karena kebetulan ada acara Ultah sekolah,” tutup dia. (*)