Ketika membaca buku The Secrets yang ditulis Rhonda Byrne, mengenai cara mengaktifkan kekuatan positif dari hati dan pikiran, saya baru menyadari betapa besar manfaatnya positive thinking and positive feeling bagi seorang pendidik. Ternyata, efeknya luar biasa besar bagi pendidik, siswa bahkan lingkungan sekitar.
Sebagai pendidik, mari kita merenungkan; Bagaimanakah cara kita memandang siswa ketika berinteraksi di kelas? Apakah memandang polah mereka secara positif atau negatif? Apakah pernah memandang seorang anak yang tidak berani bertanya, pasif, tidak berani mencoba meskipun sudah dimotivasi berulangkali, sebagai seorang anak yang penakut?
Ataukah pernah mengucapkan kata (maaf) “bodoh”, “goblok”, ataupun “tolol” pada anak yang tidak sanggup mengerjakan tugas yang diberikan dengan baik, bahkan tidak mengerjakan sama sekali, atau mungkin setelah dijelaskan berulang-ulangkali tidak pernah paham, sampai ia mengatakan paham namun pada saat ulangan jawabannya salah semua?
Apakah hal tersebut pernah atau sering dilakukan pada anak didik kita? Tahukah apa dampak jika terus berulang melakukan hal-hal di atas atau hal-hal negatif lainnya pada anak didik kita?
Pendidik dituntut untuk lebih peka terhadap cara pandang yang positif, karena akan berpengaruh positif pula pada anak didik. Harus menampakkan secara jelas kepada anak didik bahwa mereka dipercaya. Seorang pendidik harus percaya dan yakin semua anak didiknya memiliki kemampuan dan memiliki motivasi untuk sukses. Buatlah mereka merasa dipercayai.
Pendidik harus berusaha mengalirkan energi positif pikiran dan perasaan melalui perlakuan, pelayanan dan ucapan kita, yang selalu memberikan motivasi dan kekuatan pada mereka untuk berani bertindak, tanpa membuat mereka merasa tersisih.
Ada suatu peristiwa yang pernah terjadi di suatu Satuan Pendidikan, sebut saja nama anak ini Momo, duduk di Kelas III Sekolah Dasar (SD). Momo seorang anak yang belum lancar membaca di kelasnya. Dia selalu membandingkan dirinya dengan teman-temannya yang sudah lancar membaca.
Momo merasa tidak percaya diri, lantaran baru bisa mengeja, dengan suara yang sangat pelan, karena malu dan ketakutan. Momo pun mulai merasa semakin berkecil hati, ketika dia ditanya mengenai isi bacaan tadi, dia tidak tahu.
Bahkan rasa pesimisnya semakin menjadi-jadi ketika sang guru memiliki pemikiran dan perasaan negatif pada Momo, meski sang guru tidak mengucapkan kata-kata kasar padanya. Secara naluriah, Momo merasakan aliran energi negatif sang guru, ketika sang guru selalu meletakkan Momo di urutan paling akhir ketika membaca.
Hal itu membuat Momo semakin berkesimpulan, dia adalah siswa yang paling bodoh di kelasnya, karena sang guru selalu meletakkan dia sebagai urutan terakhir ketika ada tugas membaca di kelas.
Ada cerita lain yang saya kutip dari buku “Menjadi Guru Inspiratif” yang ditulis Sri Rahayu. Sebut saja kali ini sang tokoh adalah ibu guru Arini. Ia adalah guru baru di salah satu SMP. Saat pertama kali bertugas dia dipanggil kepala sekolah dan diberi tugas mengajar Kelas VIII,
Sang Kepala Sekolah berkata: “Anda akan mengajar di kelas yang luar biasa, anak-anaknya cerdas, aktif dan memiliki banyak potensi. Saya percaya Anda pasti berhasil mengantar mereka menjadi siswa yang sukses kelak”.
Namun apa yang dilihatnya? Dia mengajar di kelas yang siswa-siswanya jauh dari kategori berperilaku baik atau berkarakter, dan penuh dengan nuansa negatif. Beberapa bulan dia mengajar di kelas itu, belum juga berhasil menguasai kelas. Namun ia tetap memegang teguh ucapan kepala sekolah, bahwa dia diberi kelas yang luar biasa dengan anak-anak yang cerdas di dalamnya.
Jika ia belum bisa menguasai kelas, bukan berarti anak-anak itu adalah anak-anak yang bandel dan tidak bisa diatur. Tetapi dirinyalah yang harus terus belajar dan menguasai berbagai metode, dan dia yakin dia pasti bisa.
Pada akhirnya, memasuki Semester Kedua, perjuangannya membuahkan hasil. Siswa-siswanya mengikuti berbagai kegiatan belajar dengan antusias dan penuh kesadaran serta semangat tinggi. Siswa-siswa itu pun mulai menunjukkan potensi kecerdasan dirinya, baik dalam bidang bahasa, matematika, sosial, olahraga maupun seni.
Hingga pada akhir tahun pelajaran, kepala sekolah memberikan ucapan selamat kepadanya sebagai guru pertama yang mampu menguasai kelas tersebut. Bahkan kini ia dianggap siswa-siswanya sebagai guru yang sangat inspiratif. Padahal menurut Kepala Sekolah, dua guru sebelumnya kewalahan menghadapi siswa-siswa yang mereka anggap perusak dan tidak memiliki minat dalam mengikuti pelajaran.
Dari dua kejadian di atas, dapat kita lihat betapa dahsyatnya kekuatan positif dari hati dan pikiran. Sehingga mampu memberikan pengaruh yang positif pada siswa. Jika energi negatif yang lebih banyak disalurkan, hal negatif pula yang akan muncul. Demikian pula sebaliknya.
Hal tersebut dapat kita peroleh selama kita memberikan mereka kepercayaan penuh, meyakinkan bahwa mereka bisa, tidak pernah berkata kasar atau berkata-kata negatif, membimbing dan mendidik mereka dengan hati yang sabar dan senang.
Karena itu, untuk menjadi guru yang inspiratif, tidak hanya berkompeten di bidang akademik, mampu mengajar di depan kelas, membuat soal dan menentukan kelulusan.
Guru inspiratif adalah guru yang memiliki kepribadian menarik, memberikan energi positif pada siswanya untuk mengembangkan setiap potensi dalam diri siswa, menjalin suasana interaksi yang menyenangkan. Sehingga kehadirannya menjadi mitra belajar bagi para siswanya.
So, mulai saat ini, bangun positive thinking and positive feeling dalam diri kita masing-masing. Kemudian menularkannya pada setiap anak didik, agar mereka menjadi pribadi-pribadi yang selain berkompeten, juga selalu berpikir dan bertindak positif.
Anggota Klub Kapuas Menulis dan Pengajar di SD Negeri 34 Borang, Kabupaten Sanggau