Komunitas Komik Bungkul (KKB) aktif melahirkan cerita komik. Kualitas gambar tidak kalah dengan manga Jepang. Boleh saja berharap kebangkitan dunia komik tanah air kepada mereka.
Selembar kertas A4 putih itu dalam waktu tidak lebih dari sejam sudah penuh dengan gambar komik. Komikusnya, Hendra Eka Prasetya, terlihat serius menggambar adegan demi adegan demi proyek komik terbarunya. Pria 27 tahun itu memang menggarap proyek komik keduanya, Noto Pustoko chapter #2.
Plotnya sangat Indonesia. Yakni, tentang seorang pendekar yang mengumpulkan ahli silat Nusantara demi tujuan mulia. Merebut kembali satu kitab ilmu silat langka yang jatuh ke tangan pendekar berwatak jahat. ’’Ini adalah edisi kedua. Yang pertama sudah terbit,’’ ucapnya.
Dengan nada bangga, Hendra mengatakan bahwa Noto Pustoko chapter #1terjual seratus eksemplar. Proyek itu tidak dikerjakannya sendirian. ’’Sayanggarap bareng Cak Danar,’’ ucapnya seraya menunjuk seorang pria di sampingnya.
Yang dimaksud adalah Danar Dwi Putra, seorang komikus kebanggaan KKB. Sebab, dia adalah pemenang Kejuaraan Komik Indonesia 2014. Komiknya yang berjudul Pintu Keluar mampu meraih simpati para juri karena gambaran tokoh begitu nyata dan ada nilai ke-Indonesia-an di dalamnya. ’’Ini yang membedakan komik bikinan kami dengan komik manga ataupun Amerika. Selalu ada unsur Indonesia di dalamnya,’’ jelas Danar.
Dia beserta anggota KKB memang punya visi, yakni menciptakan komik dengan karakter dan kekhasan Nusantara. Bisa kebudayaan, tetenger kota, atau apa pun yang menjadi kekhasan kota itu. Harapannya, para pencinta komik tidak hanya bisa menikmati suguhan jalan cerita ataupun gambaran tokoh yang menarik. Tetapi, juga ada kebanggaan menjadi orang Indonesia.
’’Contohnya di dalam komik buatan Choir Firansyah ini, Surabaya di masa depan digambarkan dengan begitu bagus dan detail. Dan, di situ Choir tetap memperlihatkan simbol Surabaya,’’ ungkap Danar sembari menunjukkan salah satu gambar tentang keadaan satu kota di masa depan yang terdapat patung sura dan baya.
Danar secara gamblang menggarisbawahi bahwa komik hasil karya KKB Surabaya itu tidak selalu bertema cinta dan petualangan. Ada unsur sejarah Indonesia, permainan tradisional, dan segala sesuatu yang selalu dikaitkan dengan budaya Indonesia. ’’Kami ingin menunjukkan jati diri bangsa ini lewat komik,’’ tegasnya.
Dunia komik Indonesia memang tenggelam dalam serbuan komik Amerika dan Jepang. Misalnya, Kungfu Boy karya Takeshi Maekawa, Candy-Candy, danSailor Moon. Hingga kini lebih dari seribu judul manga beredar di Indonesia.
Padahal, dulu komikus Indonesia menjadi tuan rumah di negeri sendiri. Mulai Hasmi yang menciptakan Gundala, RA Kosasih yang membuat dua komik legendaris (Mahabharata dan Ramayana), hingga komik yang menasional buatan Hans Jaladara, Panji Tengkorak. Komik tersebut dibuat pada 1960-an dan di-remake pada 1996.
Setelah itu, komik-komik Indonesia seakan menjadi nomor 2 di negeri sendiri meski secara kualitas dan plot cerita sebenarnya tak kalah. Situasi itulah yang mendorong sejumlah komikus mendirikan KKB Surabaya pada 31 Juli 2013. Hingga saat ini, jumlah anggotanya sekitar 300 orang. Namun, yang aktif bertemu dalam gathering sebulan sekali hanya 30-an orang. “Yang lain intens berkomunikasi di grup Facebook,” jelas Danar. (jpg)
Bagian II
Tak Harus Pandai Menggambar
Pertemuan selalu diadakan di Taman Bungkul. Selain lokasinya nyaman, Taman Bungkul berada di pusat kota dengan akses yang begitu mudah dijangkau. Itu juga alasan anggota menamai kelompok mereka Komunitas Komik Bungkul Surabaya.
Membutuhkan apresiasi dari siapa saja dan dari mana saja membuat sifat keanggotaan komunitas tersebut sangat cair. Tidak ada syarat tertentu. Siapa saja boleh mendaftar menjadi anggota. Tak peduli umur, jenis kelamin, dan bisa menggambar atau tidak. Syaratnya cuma peduli dan mau bekerja sama untuk memproduksi komik. “Siapa bilang bagi yang mau bergabung harus bisa menggambar? Tidak ada syarat itu,” ujar Dhony Teguh Prasetya.
Pria 27 tahun tersebut mengatakan, anggota komunitasnya itu mempunyai latar belakang berbeda. “Ada yang anak sastra, IT, dan musik. Mereka membantu kami yang jago nggambar untuk menyusun satu jalan cerita hingga naik cetak,” ujar pria yang bekerja di salah satu perusahaan pensil warna itu. “Keharusan komunitas kami hanyalah berkarya. Tidak peduli bagus atau tidak karena bisa diperbaiki sambil jalan.” jelas Dhony.
Kewajiban mengeluarkan karya tersebut memang diyakini Dhony menjadi salah satu jembatan penghubung untuk membangkitkan budaya menggambar dan membaca komik hasil karya anak negeri. Menurut dia, sudah cukup membaca komik buatan orang lain. Lebih baik menghasilkan komik sendiri, mencetak sendiri, dan menunjukkannya ke masyarakat luas. ’’Nikmati tanggapannya sebagai upaya perbaikan. Lek gak ngono (kalau tidak begitu, Red), kapan orang bisa mengapresiasi komik dalam negeri,’’ tambahnya.
Banyak anggota KKB Surabaya yang karyanya masuk penerbit nasional dan dicetak luas. Tetapi, tidak sedikit pula yang memilih jalur indie karena merasa lebih bebas berekspresi. Tidak dikejar plot yang digariskan penerbit.
Salah seorang yang memilih berkarya secara indie adalah Ratna Sari Hidayati. Padahal, perempuan 26 tahun yang berprofesi sebagai guru itu sudah menerima banyak tawaran dari penerbit untuk mencetak secara masal karyanya. “Cerita saya kan berlatar belakang sejarah. Mereka terlalu banyak permintaan untuk menghapus atau mengubah jalan cerita, saya tidak mau,” ungkap perempuan berjilbab itu.
Hasil karya KKB Surabaya sebenarnya sudah lebih dari sekadar enak dibaca. Goresannya tergolong sangat detail dan berciri realis. Jalan Darmo, Kebun Binatang Surabaya, dan Tugu Pahlawan yang tergambar begitu indah dengan rangkaian cerita menarik dihasilkan anggota komunitas tersebut. Para komikus KKB Surabaya itu ingin karya mereka bisa diterima secara nasional, bahkan internasional. ’’Kami ingin membesarkan Surabaya dengan cara kami,’’ tutur Hendra ketika ditanya mimpi terbesar KKB Surabaya. (jpg)