310 Kursi Sidang Paripurna Perdana 2019 Kosong

eQuator.co.id – JAKARTA-RK. DPR mengawali kinerja 2019 dengan pembukaan masa sidang lanjutan 2018-2019. Meski bertajuk tahun baru, kebiasaan para anggota dewan tidak hadir dalam sidang paripurna pertama masih berulang. Lebih banyak anggota dewan yang absen dibanding yang hadir dalam ruang paripurna kemarin (7/1).

Berdasar daftar hadir yang dibacakan Wakil Ketua DPR Fadli Zon, 250 anggota dewan hadir, 48 anggota menyampaikan izin, dan sisanya tanpa alasan. Dalam arti lain, dengan total 560 anggota dewan, terdapat 310 anggota yang tidak terlihat di paripurna pembukaan masa sidang.

Jika kehadirannya diperinci, 43 dari 109 anggota FPDIP, 40 dari 91 anggota FPG, 31 dari 73 Fraksi Gerindra, 25 dari 61 FPD, dan 22 dari 48 anggota FPAN. Selanjutnya, 18 dari 47 anggota FPKB, 27 dari 40 anggota FPKS, 21 dari 39 anggota FPPP, 15 dari 36 anggota Fraksi Nasdem, dan 8 dari 16 anggota Fraksi Hanura.

Ketua DPR Bambang Soesatyo dalam pidato pembukaan masa sidang kembali mengingatkan target penuntasan legislasi DPR. Saat ini terdapat 33 RUU yang sudah masuk pembahasan tingkat I antara DPR dan pemerintah. ’’Dari 33 RUU itu, kami targetkan 5 RUU bisa disahkan menjadi UU,’’ katanya.

Bamsoet berharap lima RUU yang bisa disahkan adalah RUU Perkoperasian, Revisi UU 5/1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, RUU Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah, RUU Kebidanan, serta terakhir RUU Ekonomi Kreatif. ’’Pimpinan dewan mengharapkan komitmen dan kerja keras dari seluruh pimpinan serta anggota alat kelengkapan dewan bersama dengan pemerintah menyelesaikan RUU,’’ katanya.

Bamsoet juga mengingatkan bahwa kinerja dewan yang paling banyak disorot rakyat adalah bidang legislasi. Pimpinan dewan sendiri akan selalu mencari solusi jika dalam pembahasan RUU terdapat hambatan dan kendala, baik yang datang dari anggota, fraksi-fraksi, maupun pemerintah. Pimpinan dewan akan mengawal dengan saksama setiap pembahasan RUU agar kualitasnya tetap terjaga meski dikejar target penyelesaian.

’’Kami sama sekali tidak menghendaki, hanya karena ingin mengejar target, masalah kualitas pembahasan RUU lalu kami abaikan. Sedikit banyaknya judicial review ke Mahkamah Konstitusi merupakan tolok ukur dari kualitas undang-undang yang dihasilkan DPR dan pemerintah,’’ katanya. (Jawa Pos/JPG)