eQuator.co.id – Hampir semua orang punya nomor favorit. Entah itu diaplikasikan di pelat mobil, nomor hape, nomor punggung jersey olahraga, atau yang lain. Dan seharusnya semua ada ceritanya. Kalau tidak…
Sejumlah teman saya, yang memang sangat cinta negara kita ini dan telah berbuat banyak untuk sesama, mengaku suka nomor 17. Alasannya sederhana. Karena Indonesia merdeka pada 17 Agustus.
Dulu, sampai SD, ini juga nomor favorit saya. Waktu ikut sekolah sepak bola (SSB) Indonesia Muda di Surabaya dulu, saya pakai nomor 17. Bukan, bukan karena 17 Agustus. Melainkan karena pemain Persebaya favorit saya dulu, Yusuf Ekodono, mengenakan nomor tersebut.
Nomor itu juga saya pakai di tim masa kecil saya dulu. Bersama teman-teman satu kompleks, kami dulu punya tim sepak bola yang lumayan terorganisasi.
Seragam kami adalah kaus putih gratisan barang promosi. Ada merek di depan, lalu di belakangnya kami cat pakai Pylox sesuai nomor favorit masing-masing. Mereknya tidak penting, karena yang penting seperti punya sponsor di dada depan.
Setiap akhir pekan, kami menantang tim kompleks lain/kampung lain untuk bertanding. Ada tukang becak yang selalu jadi “official transportation” kami. Tugasnya mengangkut gawang buatan, yang kami bikin sendiri hasil memotong ranjang kayu “nganggur” milik keluarga teman (dia lantas dimarahi, karena ternyata itu ranjang kayu jati yang mahal).
Jadi, kami punya traveling crew. Pemainnya naik sepeda, gawangnya (kalau lapangan lawan tidak punya gawang) diangkut naik becak. Ada teman kami, kiper cadangan nomor tiga, tugasnya juga menyiapkan minuman dan logistik lain. Seru ya, kayaknya anak zaman sekarang sudah tidak lagi merasakan yang seperti ini…
Anyway, kembali ke nomor favorit. Ternyata, angka 17 juga identik dengan keluarga. Ayah saya mengaku tidak tahu pasti tanggal saat dia lahir, tapi di KTP dan paspornya tertulis “17 Agustus”. Katanya sih hari pastinya tidak jauh dari itu, dan tanggal itu dipilih karena gampang untuk diingat.
Cerita beliau, tanggal aslinya ditulis di belakang lemari. Tapi, karena keluarganya dulu sangat kismin, lemari terpaksa dijual untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Hilanglah catatan resmi tanggal kelahirannya…
Eh, ketika saya berkeluarga, ternyata ayah mertua saya juga lahir pada 17 Agustus. Dan ini benar-benar asli lahir 17 Agustus.
Jadi, di Happy Wednesday edisi hari ini (17 Agustus 2016), sambil merayakan kemerdekaan Republik Indonesia, saya juga mengucapkan selamat ulang tahun kepada ayah plus mertua (Selamat ya, jangan lupa traktiran, hehehe…).
Saya lantas terus menyukai nomor 17 itu sampai akhirnya sekolah ke Amerika dan mengenal basket. Saya jadi ngefans pada bintang NBA Jason Kidd, yang waktu itu sempat terkenal dengan nomor punggung 5 (walau sempat pakai nomor 32 dan 2).
Praktis, sejak saat itu sampai sekarang, nomor 5 adalah nomor olahraga saya. Waktu ikut tim sepak bola kantor (Jawa Pos punya tim bernama Askring alias Asal Keringetan), nomor saya nomor 5 walau posisinya striker. Kalau main basket, nomornya ya 5.
Kalau ikut event sepeda yang kami organize sendiri, nomor 5 adalah milik saya. Maaf, yang lain tidak boleh menggunakannya. Wkwkwkwk…
Selain 17 dan 5, ada satu lagi kombinasi angka yang mungkin identik dengan saya. Hehehe… Kombinasi angka itu adalah 666.
Maklum, dulu waktu kuliah, saya ini tergolong nge-punk. Rambut warna-warni sesuka hati. Kadang blondie, kadang ungu, kadang ijo, kadang merah, kadang biru, juga pernah di-bleach berkali-kali supaya jadi putih keperakan (dan menimbulkan kerontokan).
Kombinasinya lensa kontak yang warna-warni pula. Plus anting di telinga kiri.
Kalau kuliah, suka pakai celana jins bolong-bolong. Bolong di lutut, di saku, bahkan di belakang (waktu pulang ke Indonesia sampai ditambal kain hitam oleh ibu).
Yang didengarkan pun lagu-lagu aliran keras. Band favorit saya –sampai sekarang– adalah TOOL.
Karena angka 666 identik dengan sisi jahat (wkwkwkwk), ya saya suka sekali kombinasi itu. Pelat nomor mobil saya sejak kuliah sampai sekarang selalu memakai angka ’’666’’.
Terus terang, angka itu sempat bikin urusan kencan ruwet. Waktu masih single dulu, pernah ada teman cewek yang menolak keras naik mobil saya gara-gara nomornya 666. Kebetulan, dia termasuk yang rajin ke gereja.
Bahwa sekarang saya pakai terus 666, sebenarnya ya tidak ada lagi kaitannya dengan kepercayaan atau aliran tertentu. Ya hanya melanjutkan tradisi bahwa saya dari dulu pakai angka 666. Suka-suka saya aja. Emangnya gak boleh? Wkwkwkwk…
Oh ya, sedikit pesan untuk orang tua yang anaknya punya gaya “metal” seperti saya dulu. Jangan khawatir. Buktinya, saya sekarang baik-baik saja. Itu hanya fase. Tolong jangan dilarang atau dimarahi. Biarkan dia terbentur sendiri dengan kenyataan. Wkwkwkwk…
Ke depannya, mungkin akan ada lagi angka favorit baru. Hidup kan gak bisa diprediksi bakal bagaimana. Siapa tahu ada kejadian tertentu, dan muncul angka yang tiba-tiba jadi angka favorit baru.
Nah, apa angka/nomor favorit Anda? Mumpung hari ini liburan, coba dipikir lagi nomor-nomor yang jadi kesukaan Anda, lalu mengenang lagi cerita-cerita mengapa itu jadi nomor yang berkesan.
Siapa tahu muncul angka 33, karena punya 33 mantan pacar. Atau 9, karena punya 9 istri. Dan lain sebagainya. Kalau Anda punya angka favorit, dan tidak ada alasan tertentu mengapa Anda menyukai angka itu, hmmm, mungkin ada yang tidak beres, hahaha…
Kalau hari ini tidak ada kegiatan khusus, dan Anda bengong melongo seharian… Memikirkan angka favorit memang juga tidak produktif, tapi bisa lebih menyenangkan daripada sekadar bengong. Merdeka! (*)