eQuator.co.id – MELAWI-RK. Bupati Melawi Panji, membuka kegiatan seminar 1000 Hari Pertama Kehidupan (HPK) untuk mencegah stunting, Kamis (20/6) di Gedung Serbaguna Kabupaten Melawi.
Kegitan yang dihadiri Forkopinda, sejumlah kepala SKPD tersebut juga dihadiri perwakilan Dinkes Provinsi Kalbar, TP-PKK Melawi, GOW Melawi, camat, kepala puskesmas dan sejumlah tokoh.
Buoati Panji dalam kesempatan itu mengatakan, menyambut baik kegiatan ini. Apalagi mengingat saat ini Indonesia sedang menghadapi tantangan utama dalam pengendalian penyakit, yakni adanya transisi epidemiologi. Hal ini menyebabkan munculnya beban ganda di Indonesia terkait pengendalian penyakit menular yang belum selesai, sedangkan di sisi lain, kasus penyakit tidak menular semakin meningkat.
“Pada saat ini Pemerintah Kabupaten Melawi sedang berupaya untuk mewujudkan Melawi menjadi kabupaten sehat. Karena kesehatan merupakan modal utama dalam suatu pembangunan untuk dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat di Melawi,” ungkapnya.
Panji mengatakan, status gizi dan kesehatan ibu dan anak merupakan penentu kualitas sumber daya manusia. Status gizi dan kesehatan ibu pada masa pra-hamil, saat kehamilannya, dan saat menyusui merupakan periode yang sangat kritis atau yang dikenal dengan 1000 HPK.
Walaupun remaja puteri secara eksplisit tidak disebutkan dalam 1000 HPK, namun status gizi remaja puteri atau pranikah memiliki kontribusi pada kesehatan dan keselamatan kehamilan serta kelahiran, apabila remaja puteri menjadi seorang ibu.
“Periode 1000 hari pertama kehidupan ini merupakan periode yang sensitif, karena akibat yang ditimbulkan oleh masalah gizi pada periode tersebut. Dalam jangka pendek adalah terganggunya perkembangan otak, kecerdasan, gangguan fisik dan gangguan metabolisme dalam tubuh. Sedangkan dalam jangka panjang, akibat buruk yang dapat ditimbulkan adalah terjadinya stunting, yang kemudian rentan menyebabkan penyakit tidak menular,” jelasnya.
Seperti diketahui, kata Panji, bahwa sumber daya manusia yang berkualitas sangat dibutuhkan untuk mampu bersaing baik dengan bangsa lain mengingat persaingan global semakin wajib diperhitungkan.
Dengan kualitas kemampuan individu yang rendah akan berdampak pada minimnya produktivitas dan daya saing anak-anak bangsa sebagai sumber daya yang diandalkan, sehingga akan berpengaruh terhadap minimnya penghasilan dan pergerakan ekonomi di sekitarnya.
“Harapan saya tentunya hal seperti ini tidak akan terjadi di Melawi yang kita cintai ini. Masyarakat Melawi harus sehat, cerdas, dan kreatif sehingga kita bersama-sama bersatu membangun melawi untuk maju dan sejahtera,” ucapnya.
Menurut Panji, masalah gizi merupakan masalah yang kompleks, tidak semata-mata karena kurangnya asupan makanan. Di Indonesia banyak faktor yang menjadi penyebab masalah gizi, baik secara langsung maupun tidak langsung, yang penanganannya memerlukan dukungan lintas sektor khususnya ketahanan pangan, kesehatan, infrastruktur, pendidikan, pemberdayaan ekonomi masyarakat dan sejumlah faktor lain secara bersinergi. Hal ini perlu mendapat perhatian serius dari kita semua.
“Kesehatan bukan hanya menjadi tanggung jawab instansi Dinas Kesehatan saja, tapi merupakan tanggung jawab pemerintah bersama seluruh masyarakat di Kabupaten Melawi,” paparnya.
Panji membeberkan, hasil riset kesehatan dasar pada tahun 2017, bahwa angka stunting di Kabupaten Melawi mencapai 51 persen, sedangkan pada tahun 2018 mencapai 37 persen.
Berdasarkan elektroik pencatatan pelaporan gizi berbasis masyarakat, pada tahun 2018, balita yang berstatus gizi pendek sebanyak 19,19 persen. Dengan demikian diharapkan seluruh institusi dan masyarakat di Melawi dapat bersama-sama mendukung kegiatan dalam menurunkan angka stunting di Kabupaten Melawi
Apalagi dampak dari stunting dapat menurunkan sumber daya manusia yang berkualitas sehingga tidak dapat berdaya saing untuk terwujudnya tujuan pembangunan nasional. “Dengan ini kita lihat sekilas penggerakan pelaksanaan kegiatan dalam upaya pencegahan dan penanggulangan stunting di Melawi’” ujarnya.
Stunting adalah kondisi gagal tumbuh pada anak balita akibat dari kekurangan gizi kronis sehingga anak terlalu pendek untuk usianya. Kekurangan gizi kronis terjadi sejak bayi dalam kandungan dan pada masa awal setelah anak lahir tetapi stunting baru nampak setelah anak berusia dua tahun.
“Bukan semata pada ukuran fisik pendek, tetapi lebih pada konsep bahwa proses terjadinya hambatan pertumbuhan dan perkembangan organ lainnya, termasuk otak. Artinya seorang anak yang menderita stunting, kemungkinan besar juga telah mengalami hambatan pertumbuhan dan perkembangan organ lainnya,” paparnya.
Dalam upaya meningkatkan kualitas pelayanan gizi, kata Panji, dilakukan intervensi spesifik dengan pendekatan continuum of care yang dimulai dari sejak masa pra hamil, pada saat hamil, bersalin dan nifas, pada masa bayi, balita, hingga remaja.
Mencermati kontribusi intervensi sensitif yang terbukti berperan besar terhadap penanggulangan masalah gizi, bupati mengimbau agar upaya perbaikan gizi di sektor kesehatan selalu didukung oleh sektor non kesehatan.
“OPD tingkat Kabupaten Melawi diperlukan dalam pengintegrasian program pencegahan terjadinya stunting. Misalnya adanya rencana aksi daerah pangan dan gizi. Pada tingkat kecamatan perlu mengkoordinasikan semua sasaran ibu dan anak untuk hadir pada setiap kegiatan posyandu di seluruh desa di wilayah kecamatan. Dan para kepala desa untuk dapat mengintruksikan semua ibu hamil dan suami, bayi dan balita untuk hadir di kegiatan posyandu kader menerapkan hasil pelatihan tentang promosi kesehatan ibu bagi kader posyandu,” katanya.
“Maka dengan ini pelaksanaan kegiatan intervensi stunting menjadi tugas bersama dan dilaksanakan secara berkesinambungan oleh stakeholder terkait di bidang kesehatan maupun lintas sektor. pendekatan intervensi stunting perlu dilaksanakan secara holistic integrative dan dimonitor secara berkala,” imbuhnya. (Ira)