eQuator – Jakarta-RK. Kalangan Istana dinilai tidak adil dalam menanggapi isi rekaman pembicaraan antara Ketua DPR RI Setya Novanto, Presiden Direktur PT Freeport Indonesia Maroef Sjamsoeddin dan pengusaha M. Riza Chalid.
Terbukti, Sekretaris Kabinet Pramono Anung sudah mewanti-wanti bahwa rekaman pembicaraan tersebut, ada memang bersifat fakta namun ada tidak, yang ia sebut bersifat hiperbola.
“Hiperbolanya Pramono Anung jelas menggambarkan selera dan kepentingan politiknya sendiri. Yang cocok sama kepentingannya disebut benar, yang tak cocok disebutnya hiperbola. Kalau begini keadaannya susah mengharapkan hukum dan keadilan akan tegak di negara ini,” ungkap pakar hukum tata negara, Prof Yusril Ihza Mahendra dalam pesan singkatnya (Jumat, 4/12).
Apalagi, mantan Menteri Hukum dan HAM ini mempertanyakan langkah Kejaksaan Agung yang terburu-buru menyita telepon genggam yang digunakan Maroef Sjamsoeddin sebagai alat perekam tersebut.
“Kejagung juga buru-buru ‘menyita’ HP MS (Maroef Sjamsoeddin), konon untuk kepentingan penyelidikan? Ke arah mana penyelidikan Kejagung? Apakah dimaksud akan ‘menyeret’ seseorang atau sekelompok orang dan ‘melindungi’ nama-nama lainnya?” tanya Yusril.
“Kenyataan ini sangat serius. Apalagi akhir-akhir ini Kejagung terus ditimpa rumors tidak sedap. Yakni ‘bias’ dalam melakukan langkah penegakan hukum karena terlalu banyak kepentingan politik dan bisnis dari para politisi dan pengusaha di balik layar,” tandas Ketua Umum Partai Bulan Bintang ini. (Rmol).