Tentu. Saya mencari restoran ini. Milik anak Indonesia kaya raya ini. Yang follower instagramnya hampir 100 ribu ini. Yang di New York pun digelari sosialita itu.
Wayan.
Nama restoran itu tertulis kecil di atas pintunya: di Jalan Spring St. Di lower Manhattan. Tidak jauh dari kawasan Soho.
Wayan hanya buka malam hari. Mulai jam 17.30.
“Pernah makan di restauran Indonesia?” tanya saya.
“Belum,” katanya.
Ia pernah ke Bali. Sekali. Pun tidak merasakan masakan Indonesia.
Ia sudah 30 tahun tinggal di New York. Sudah warga negara Amerika. Aslinya Nanchang, Provinsi Jiangxi. Lulusan Zhejiang University. Jurusannya teknologi lensa. Tapi bisnisnya di New York ini di bidang keuangan.
Saya selalu diantar ke mana-mana. Setiap kali ke New York. Kali ini saya yang minta padanya: untuk diantar ke Wayan.
Dari jam bukanya saja saya tahu: ini restoran fine dining. Yang tiap menunya biasanya disajikan dalam porsi yang sangat sedikit. Khas untuk orang yang lebih mementingkan jaga badan. Daripada jaga dompet.
Begitu duduk kami diberitahu: ini masakan Indonesia. Bisa memesan menu yang pedas. Pelayan itu gadis kulit putih. Dengan rambut blonde dikeriting kecil-kecil. Atau keriting asli?
Saya lihat banyak yang makan di Wayan. Yang Indonesia rasanya hanya saya sendiri. Selebihnya kulit putih. Atau seperti dari Amerika Latin.
“Saya dari Indonesia. Kalian dari mana?”
“Arizona,” kata pria kulit putih itu. Yang antre bersama wanita yang kelihatannya istrinya. “Ini pertama kali mencoba masakan Indonesia,” tambah si wanita.
Ruang depan penuh. Bagian tengahnya berupa bar. Juga penuh. Saya di ruang belakang yang lebih besar. Hanya satu meja yang kosong.
Kami memesan tiga jenis menu: gado-gado, cumi goreng kering dan kue kepiting.
Pelayan itu seperti heran. “Porsinya kecil-kecil lho,” katanya.
Saya tahu artinya. Harus memesan lagi. Saya tambah dua menu: terong balado dan sashimi.
“Tidak pesan nasi goreng? Sangat khas Indonesia,” tanyanya.
Saya menggeleng. “Saya bisa bikin nasi goreng yang mungkin lebih enak,” kata saya dalam hati.
Betul.
Porsinya kecil-kecil. Gado-gadonya didominasi avocado. Baru sekali ini saya makan gado-gado avocado.
Rasanya? Baiknya Anda memesan sendiri.
Terong baladonya sangat balado. Porsinya satu terong kecil dibelah dua.
Sedang cumi gorengnya mirip dengan yang biasa ada di Indonesia.
Tentu Indonesia tidak mengenal sashimi. Justru itu saya memesannya. Rasanya: saya tidak bisa merasakan. Entah masakan mana itu. Bukan sashimi Jepang sama sekali. Juga bukan ikan mentah bumbu minyak.
Juru masak Wayan memang bukan orang Indonesia. Ia orang Perancis. Yang menjadi partner anak konglomerat Indonesia itu.
Nama anak itu tentu Anda masih ingat: Ezra William. Yang pernah ditulis South China Morning Post sebagai anak Kuncoro. Pemilik grup Ace Hardware. Teman baik saya. Yang ternyata bukan anaknya (Baca:Wayan di New York).
Kini sudah ada empat restoran Indonesia di seluruh New York. Satu di Manhattan. Yang lainnya di Queen dan Brooklyn.
Tentu saya ingin menikmati makan malam ini bersama Anda. Karena itu saya foto dulu daftar menunya. Saya foto juga makanannya. Silakan menikmatinya.
Gratis.
Saya yang bayar.
Gado-gado itu Rp 200.000.
Terong balado Rp 150.000.
Cumi goreng kering Rp 190.000.
Kue kepiting Rp 190.000.
Sashimi Rp 240.000.
Tentu saya tidak memesan makanan yang harganya hampir satu juta. Misalnya coconut crusted daging sapi muda cincang itu. Kebetulan saya sangat mengurangi daging belakangan ini.
Total Rp 1,2 juta. Setelah tambah pajak.
Belum termasuk tipnya Rp 300 ribu.
Mahal?
Masih lebih murah dari makan siang saya tadi: di Ichiran. Yang hanya menyajikan mie Jepang. Yang susunan meja makannya mengingatkan saya pada peternakan ayam. Berderet hanya menghadap tempat makanan.
Saya yang jadi ayamnya. (Dahlan Iskan)