Waterfront, Memindahkan Muka Kota ke Sungai

Pembangunan Harus Merangkul Tantangan Alam

SEMINAR. Suasana seminar Hari Air Dunia ke XXVl di Lantai 3 Gedung Rektorat Untan Pontianak, Kamis (22/3). Maulidi Murni-RK
SEMINAR. Suasana seminar Hari Air Dunia ke XXVl di Lantai 3 Gedung Rektorat Untan Pontianak, Kamis (22/3). Maulidi Murni-RK

eQuator.co.idPONTIANAK-RK. Pada prinsipnya semua pembangunan harus merangkul tantangan alam. Sehingga ketika terjadi bencana alam tidak masalah atau dapat terselesaikan dengan baik.
“Kalau dulukan rumah di Pontianak itukan rumah panggung, sehingga tak terkena bencana banjir saat air laut pasang dan hujan turun. Jika masyarakat membuat rumah panggung maka tak masalah di Pontianak,” terang Guru Besar Fakultas Teknik Universitas Diponegoro (Undip), Prof. Imam Buchori saat mengisi seminar Hari Air Dunia ke XXVl dengan tema ‘Lestarikan Alam untuk Air’ di Lantai 3 gedung Rektorat Untan Pontianak, Kamis (22/3).

Waktu dulu adanya parit-parit, orang bergerak tidak harus melalui darat. Tapi juga bisa melalui air dengan perahu. “Itu juga merupakan upaya dalam merangkul alam,” ucapnya.
Jika melihat negara-negara Eropa, masyarakatnya sangat peduli untuk merangkul alam. Salah satu contohnya adalah Amsterdam yang berada di bawah permukaan laut. Ketika membangun perumahan, mereka memiliki tempat-tempat yang dibuat secara khusus untuk menampung air. “Kemudian juga ada model kanal-kanal, mereka menunjukan model sebagai kota air,” jelasnya.

Berbeda dengan Semarang. Dirinya yang merupakan orang Semarang ini mengatakan, rencana  tata ruang di sana belum telalu akomodatif untuk merangkul hal-hal itu. Untuk di Kota Pontianak yang pembangunan semakin cepat, kalau tata ruangnya harus akomodatif terhadap bencana. “Identifikasi bencana itu apa saja, kira-kira kemungkinan terburuk itu apa. Apakah Pontianak saat ini sudah merangkul hal itu, ancaman yang ada harus dilihat dalam tata ruangnya untuk mengantisipasinya,” tutup Imam Buchori.

Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Pontianak, Amirullah, sepakat dengan Imam Buchori. Bahwa manusia harus bersahabat dengan alam. Pemkot juga berharap partisipasi masyarakat mematuhi aturan tidak membangun di atas parit.
“Selain dari sisi aturan, perbaikan dan pembangunan, masyarakat juga sangat penting. Jadi sama-sama kita jaga kota kita ini, apalagi di Desember-Januari itu puncaknya curah hujan, saat bersamaan itu juga waktu pasang surut terjadi pasang air laut yang tinggi,” terangnya.

Menurutnya, pembangunan kota selepas Indonesia terjadi pergeseran. Orientasi pembangunan adalah ke darat. Akibatnya di seluruh Indonesia banyak kanal ditutup. “Jadi kita istilahnya reorientasi mengembalikan lagi ke daerah sungai,” pungkasnya.

Seperti sekarang yang dilakukan Pemkot dengan membangun water front city. Memindahkan muka kota ke sungai. “Kita makin sadar bahwa sungai penting dan ke depan transportasi air akan hidup,” lugasnya.

Dalam tahun ini kata dia, Pemkot akan mengusulkan enam saluran tersier ke pemerintah pusat untuk dinormalisasi. Salah satu tujuannya, menjamin sirkulasi dan koneksivitas agar air mengalir lebih lancar. Enam saluran yang akan diperbaiki itu merupakan saluran utama di Kota Pontianak. “Mulai dari Sungai Raya Dalam, Parit H Husein, Bansir, Tokaya, Sungai Jawi, Sungai Beliung. Itu merupakan salah satu upaya agar mengurangi genangan,” ungkapnya.

Genangan yang ada di Kota Pontianak ini kata dia memang fenomena yang harus disikapi dengan cara kearifan lokal. Diantaranya, dengan cara membangun rumah dengan kontruksi rumah panggung. “Artinya kita menerima kondisi alam itu dengan sisi pemerintah dan masyarakat,” serunya.

“Masyarakat harus sepenuhnya terlibat, tidak menggantungkan sepenuhnya pada pemerintah karena kita sama-sama tinggal dan menjaga kota Pontianak yang kita cintai agar makin lama makin nyaman ditinggali,” sambung Amirullah.

 

Laporan: Maulidi Murni

Editor: Arman Hairiadi