Lesbian Gay Biseksual dan Transgender (LGBT) jadi ancaman serius. Di seluruh Indonesia, sesuai data Kemenkes pada 2012, ada 1.095.970 pria yang hidup dengan perilaku seks sesama pria. Kini, populasi kaum gay diperkirakan tiga persen dari total populasi atau sekitar 7.000.000 orang. Belum lagi dengan lesbian. Bagaimana mencegah penularan LGBT sejak dalam keluarga?
eQuator.co.id – SELAIN dilarang agama, perilaku seks sesama lelaki memiliki faktor resiko 44 kali lipat terinfeksi HIV karena berhubungan anal. Sedangkan berdasarkan penelitian di Asia, prevalensi HIV dari hubungan sesama jenis sekitar 18,7 kali lebih tinggi daripada seks normal antara pria dan wanita.
Sementara itu, menjamurnya LGBT juga akan menjadi penghambat bonus demografi yang akan dihadapi negeri ini pada 2030. Karena LGBT menjadi ancaman buat ketahanan nasional karena tidak akan bisa membuat negeri ini menjadi produktif di masa mendatang.
Dalam medis, LGBT disebut akibat pengaruh hormon yang tak seimbang. Tapi, pola asuh dalam keluarga juga menjadi penyebabnya. Maka dari itu, edukasi seks jadi salah satu upaya mengenalkan anak soal gender. Edukasi ini bisa dimulai sejak usia tiga tahun.
Psikolog Ayunda Ramadhani mengatakan, edukasi ini bisa dimulai dengan memisahkan tempat tidur anak laki-laki dan perempuan. Kemudian memakaikan baju sesuai usia dan gendernya. Sekaligus memberi pemahaman bahwa dia adalah anak laki-laki atau anak perempuan. Juga mengenalkan permainan sesuai gendernya.
“Termasuk, anak laki-laki punya penis. Kemudian, perempuan punya vagina. Harus dijaga jangan sampai terlihat orang lain,” jelas alumnus Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) itu, Minggu (18/3).
Dengan begitu, anak bisa mengidentifikasi gendernya dengan baik. Sebab, ada banyak kasus pelaku LGBT akibat pola asuh. Seperti kerap didandani tidak sesuai gendernya dan sebagainya. Di sisi lain, Ayunda menjelaskan, berdasarkan beberapa teori walaupun tidak bisa dipastikan dan hanya dapat dianalisa perkasus, pelaku LGBT terbentuk karena pola asuh yang terlalu dominan.
Entah itu dari ayah atau dari ibu yang terlalu melindungi. Misalnya ada anak laki-laki yang figur ayahnya terlalu dominan, maka ada kecenderungan mencari figur laki-laki yang mampu memberikan perlindungan. Pun begitu sebaliknya, meski ada faktor gen atau hormon, dalam beberapa kasus yang dia tangani, kebanyakan perilaku LGBT disebabkan pola asuh.
Nah, ketika mereka dewasa, mereka akan menjalani relasi asmara. Ketika menjalin hubungan, mereka cenderung memiliki hubungan yang eksklusif. Sehingga ada kecenderungan untuk berlaku posesif terhadap pasangannya. Sehingga, beberapa perilaku ekstrem pun bisa terjadi. Meskipun, hal ini juga berpeluang terjadi dalam relasi heteroseksual.
“Namun, perlu ada pemeriksaan lebih lanjut mengenai kemungkinan adanya kecenderungan kepribadian anti sosial/psikopat,” cetusnya. Dengan kondisi masyarakat saat ini, khususnya di Indonesia yang belum menerima perilaku LGBT, maka para pelakunya memiliki tekanan sosial.
Sehingga rentan depresi hingga bunuh diri. Konsekuensi ketika mengaku dirinya LGBT, tidak hanya pengucilan dari masyarakat. Tetapi, juga keluarganya. Walhasil, depresi pun kerap dirasakan para pelaku seks menyimpang tersebut. Sedangkan, kelompok LGBT juga kurang power untuk memerangi tekanan sosial karena mereka minoritas.
Ayunda menambahkan, orientasi seksual bukanlah penyakit. Maka dari itu, istilah sembuh kurang relevan dengan kondisi LGBT. “Orientasi seksual ini bukanlah penyakit. Tapi, merupakan pilihan seseorang, selama dia bahagia dengan pilihannya, maka kita tidak berhak mencampuri,” tegasnya.
Dia menambahkan, kecuali ketika memang si pelaku ada keinginan untuk kembali ke orientasi yang normal secara sosial. Maka bisa dilakukan konseling. Maka dari itu, untuk meminimalisasi masalah ketika dewasa akibat orientasi seksual, Ayunda menyebut pola asuh sejak dini jadi kunci.
“Anak sangat perlu pola asuh yang efektif baik dari ayah maupun ibu. Dengan kecanggihan teknologi saat ini, akan sangat baik jika para ortu mulai membaca atau mengikuti web-seminar tentang pengasuhan anak ataupun ikut seminar parenting,” pungkasnya. (JawaPos.com/JPG)