eQuator.co.id – Lepas magrib, Adi, anak sahabat saya: Bang Uncu Natsir, datang ke kantor saya di Tebet. Reporter stasiun televisi di Amerika Serikat itu baru selesai mewawancarai mantan narapidana yang masuk bui saat masih kanak-kanak.
Dari beberapa orang yang diwawancarai, ada satu remaja, yang menurut Adi, sangat menarik. Sebut saja Satria. Ia mengusai ilmu barista dan memasak resep Nusantara. Dengan bekal itu, Satria akhirnya diterima sebagai karyawan di sebuah café. Ia menjadi barista dan chef.
Namun, akhir-akhir ini dia merasa tidak nyaman. Masa lalunya itu, selalu menjadi batu sandungan, untuk berkarir seperti kawan-kawan kerjanya. Akhirnya Satria membulatkan tekat: Desember ini, ia akan berhenti bekerja.
Selanjutnya mau kemana? ‘’Januari nanti dia ingin memulai lembaran baru,’’ kata Adi yang baru lulus dari Universitas Indonesia itu.
Rencananya, Satria akan memulai usaha sendiri. Membuka kedai kopi kecil-kecilan. Yang bisa dioperasikan satu orang: dia sendiri. ‘’Karena modalnya terbatas, Satria akan buka warung kopi di trotoar. Apa bisa dibantu pasokan kopinya?’’ kata Adi, sembari pamitan.
Seperti kebetulan saja. Tiba-tiba saya teringat pertemuan dengan Pak Azis, pemilik minimarket Kitamart, di kawasan Cipayung, Cilangkap, Jakarta Timur, Senin siang.
Pak Azis yang asli Madura itu menawari saya membuka warung kopi di emper minimarket yang berada di samping ‘’masjid hijau’’ yang besar itu. ‘’Tidak perlu bayar sewa. Kita kerjasama,’’ kata Pak Azis.
Emper minimarket itu bisa menampung 5 kios. Sudah ada tiga yang terisi. Dua masih kosong. Di salah satu kios kosong itu, ada sebuah gerobak. Dulu dipakai untuk berdagang minuman seperti kopi, coklat dan jus buah. ‘’Pedagangnya pulang kampung. Gerobaknya akan dijual Rp 600 ribu,’’ kata Pak Azis.
Saya tidak segera menjawab tawaran Pak Azis. Terus terang, saya belum siap membuka warung kopi di situ. Kecuali, ada orang yang bisa mengelola. Seketika, saya ingat Satria. ‘’Coba tawari, maukah dia membuka warung Kopi Taubat di Cipayung?’’ kata saya.
‘’Hah? Warung Kopi Taubat?’’ kata Adi dengan nada terkejut.
Banyak remaja ‘’alumni’’ lembaga pemasyarakat anak, yang kurang beruntung selepas menjalani pidana. Karena lingkungannya belum bisa menerima mereka sepenuhnya. Yang frustasi, kata Adi, akhirnya kembali ke dunianya yang lama.
Sayangnya, handphone Satria sedang off. Tapi saya berharap, Satria bersedia membuka usaha di sana. Termasuk usulan nama warung kopinya. (jto)
*admin disway.id, redaktur tamu eQuator.co.id