Wardah Ibni Putri

Oleh: Dahlan Iskan

DUA BOYS WARDAH. Dua anak Nurhayati yang mengembangkan Wardah. Disway Photo

eQuator.co.id – “Terbalik pak Dahlan,” ujar Bu Nurhayati saat kirim pesan pendek melalui whatsapp ke saya. Saya sendiri belum buka disway sepagi itu.

“Yang lebih kreatif itu yang kuliah di elektro. Yang lebih disiplin itu yang kuliah di kimia,” kata pemilik perusahaan kosmetik Wardah itu.

Saya termakan logika. Yang diucapkan pertama ternyata tidak harus yang sulung. Maka menjadi tidak relevan lagi mempertanyakan ini: hubungan jurusan dengan kreativitas.

Lalu kenapa anak laki Bu Nurhayati yang kuliah di kimia ITB itu lebih disiplin? Sehingga manajemennya lebih baik?

“Dia seperti bapaknya,” kata Bu Nurhayati. “Suami saya orangnya seperti itu,” tambahnya.

Lalu kenapa yang kuliah di elektro ITB itu dinilai lebih kreatif? Lalu lebih berhasil? Dan ketika diserahi tanggung jawab bidang marketing Wardah di Indonesia barat lebih berhasil?

“Ia seperti ibunya,” kata Bu Nurhayati. Saya pun ikut tersenyum.

Ada koreksi lainnya: ternyata merk Putri  masih dipertahankan. Bukan diganti Wardah.

Ini juga agak tidak biasa. Untuk apa mempertahankan merk Putri? Yang setelah ada Wardah seperti tidak berarti?

“Karena belum ada yang ngurus saja pak,” katanya.

“Kalau sudah ditemukan SDM yang tepat akan bisa besar,” kata Bu Nurhayati. Wow!

Biasanya pengusaha memang tidak sepenuhnya rasional. Suka mempertahankan merk lama sebagai kenangan. Atau jimat. Atau romantisme: sekecil apa pun Putri. Tidak akan ada Wardah kalau tidak dimulai dari Putri.

Tapi Putri ternyata masih tetap akan jadi andalan. Akan dikembangkan lagi.

Itulah kreasi pertama Bu Nurhayati. Yang hanya dimaksudkan untuk memasok salon-salon kecantikan. Seperti Wella. Tempat pertamanya bekerja dulu.

Lalu Putri sempat agak berkembang. Setelah memproduksi obat keriting rambut. Dan creambath. Yang hanya dipasarkan ke salon.

Tapi bisa juga ‘kasus mempertahankan Putri’ seperti itu dimaksudkan sebagai payung cadangan. Kalau ada apa-apa dengan Wardah. Masih ada Putri.

Tapi yang seperti itu biasanya hanya baik kalau Putri berada di perseroan terbatas (PT) yang terpisah.”Apakah seperti itu?” tanya saya.

Ternyata juga tidak. “PT nya masih jadi satu dengan Wardah,” jawab Bu Nurhayati.

Pantas Putri seperti anak tiri. Kata saya dalam hati. Saya pun yakin ini: kalau suatu saat Putri ikut maju pastilah saat itu sudah menjadi satu PT tersendiri. Punya direksi sendiri.

Saya senang Bu Nurhayati kirim pesan yang lain lagi. Masih punya mimpi berikutnya: menciptakan 1.000 pengusaha baru. Melalui Wardah. Segera. Dalam lima tahun ke depan.

Lalu ada perkembangan baru. Lahirnya UU halal.

Wardah akan diuntungkan lagi. Dengan lahirnya UU itu. Akan banyak kosmetik asing yang datang ke Wardah. Untuk memproduksikan bahan kosmetik halal mereka.

“Kalau yang begitu saya akan terima,” ujar Bu Nurhayati. Merk asing menyerahkan resepnya. Pabrik Wardah yang membuatkannya.

Dengan demikian Wardah membantu mereka dengan produk halal. Juga mendapat bisnis.

Setiap kali tulisan tentang Wardah terbit di disway, Bu Nurhayati memang chat ke saya. Sebelum matahari terbit.

Semula, saya kira, beliau belum tahu disway. “Sering viral kok”, ujar beliau. “Terakhir tentang profesor bersandar jepit itu,” tambahnya. “Yang menemukan inkubator gratis itu.”

Tentang Wardah ini pun, katanya, viralnya bukan main. “Saya sudah merasa kalau Pak Dahlan mau menulis. Kok sampai tanya soal sandal,” ujar Bu Nurhayati. “Pak Dahlan itu kalau lihat orang dari atas sampai sandal,” tulisnya dalam whatsapp.

“Suami saya juga penggemar disway,” katanya.

Saya memang tidak mengatakan akan menulis. Saat banyak bertanya itu. Juga tidak memberi info setelah itu.

Itu sebenarnya salah. Saat wawancara wartawan harus mengatakan bahwa ia/dia adalah wartawan.

Saya lupa apakah Bu Nurhayati tahu/tidak kalau saya wartawan. Saya merasa ia tahu. Kalau ternyata tidak, saya minta maaf.

Saya sendiri juga bingung: saya ini masih wartawan atau bukan. (dis)